January 2014 - Feel in Bali

Thursday, January 16, 2014

January 16, 2014

Perbedaan antara memorandum of understanding (mou) dengan kontrak

Perbedaan antara memorandum of understanding (mou) dengan kontrak


Istilah perjanjian atau kontrak diatur dalam Buku III KUHPerdata mengenai perikatan yaitu dalam pasal 1313 yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.Selain itu ketentuan yang terkait dengan permasalahan diatas adalah pasal 1320 mengenai syarat sahnya perjanjian dan pasal 1338 mengenai asas kebebasan berkontrak. Bila dilihat dari isinya ketiga pasal tersebut dapat menjadi dasar terbentuknya berbagai macam dan bentuk perjanjian atau kontrak dalam berbagai bidang kehidupan
selama tidak melanggar peraturan yang berlaku.
Dalam hubungan antara lembaga pada saat ini dikenal bentuk-bentuk perjanjian kerjasama baik dalam bentuk kontrak ataupun dalam bentuk Memorandum of Understanding. Dari kedua bentuk perjanjian kerjasama tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Kontrak dapat diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus dan dapat dibuat dalam bentuk otentik ataupun di bawah tangan. Yang membedakannya adalah kekuatan pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari, dalam kontrak memuat hal-hal yang diperjanjikan secara terperinci dan jelas serta tegas termasuk memuat sanksi bagi para pihak jika melakukan wanprestasi baik sengaja ataupun tidak disengaja. Jangka waktu kontrak dapat ditentukan sendiri oleh para pihak sehinnga dapat
ditentukan secara tegas mengenai kapan waktu berakhirnya ataupun tidak. BPK selaku lembaga, sering memuat perjanjian dalam bentuk kontrak dengan pihak ketiga seperti perjajian pengadaan barang dan jasa serta perjanjian / kontrak jasa konstruksi. Hal ini tepat, karena perjanjian-perjanjian tersebut menyangkut hal-hal yang sifatnya materiil, sehingga jika dibuat dalam bentuk kontrak akan menjadi jelas pertanggungjawabannya.

Pada saat ini pihak-pihak yang melakukan kerja sama sering kali menuangkannya dalam bentuk MoU. MoU sendiri berarti dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. MoU biasanya dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan , dimana isinya ringkas, bahkan sering kali satu halaman saja. Biasanya MoU bersifat pendahuluan saja yang kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian pokok yang mengatur secara rinci / teknis mengenai hal-hal yang diperjanjikan (akan tetapi hal tersebut bukan merupakan keharusan).
MoU mempunyai jangka waktu yang pasti dan dapat diperpanjang atas persetujuan kedua belah pihak, mengenai kekuatan mengikat dari Mou karena MoU hanya merupakan suatu ikatan moral saja, maka tidak ada pengikatan juridis di antara para pihak, sehingga tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak, akan tetapi para pihak dapat menindaklanjuti/melaksankan Mou dalam bentuk kontrak supaya mempunyai kekuatan hukum mengikat. Seperti telah disebutkan bahwa BPK sering kali membuat MoU dengan pihak lain khususnya dengan lembaga / instansi lainnya, hal ini dapat dibenarkan karena biasanya MoU tersebut isinya mengenai hal-hal yang sifatnya non materiil sehingga bila ada salah satu pihak yang melanggar atau melakukan wanprestasi tidak menimbulkan kerugian materiil bagi BPK.




January 16, 2014

Beberapa Asas Yang Terdapat Dalam Hukum Pidana

Beberapa Asas Yang Terdapat Dalam Hukum Pidana
Beberapa asas yang terdapat dalam hukum pidana yaitu :


A. Asas Legalitas

Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi kepadanya. Syarat tersebut bersumber pada asas legalitas.

Pada hakekatnya, bahwa azas legalitas yang menhendaki adanya suatu peraturan pidana dalam perundang-undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan dengan tidak mengurangi berlakunya hukum adat pidana, yang menetapkan suatu perbuatan itu sebagai suatu tindak pidana.

Asas Legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang, juga disyaratkan agar acara pidana dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam undang-undang. Hal ini dicantumkan dalam pasal 3 KUHP (pasal 1 ), pasangan dari pasal 1 ayat 1 KUHP.

Pasal 1 KUHP menjelaskan kepada kita bahwa :

  • Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang 
  • Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu dari perbuatan itu ; dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. 

Asas legalitas dapat dijumpai dalam sumber-sumber hukum internasional, seperti :

  1. Deklarasi Universal hak-hak asasi manusia 1948, pasal II ayat 2.
  2. Perjanjian Eropa untuk melindungi hak manusia dan kebebasan asasi 1950 (perjanjian New York) pasal 15 ayat 1. 

Asas Legalitas mengandung tiga perngertian, Yaitu :

  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang 
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)
  3. Aturan-aturan pidana tidak berlaku surut. 

Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana, undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental.

An selm von feverbach, seorang sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Sehubungan dua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa latin :

  • Nulla Poena Sine Lege :Tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undag-undang
  • Nulla poena sine crimine : Tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana
  • Nullum crimen sine poena legali : Tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. 

Dasar perumusan asas legalitas itu sebagai realisasi dari teorinya yang dikenal dengan nama “ Theorie Van Psychologische Zwang ” yang menganjurkan agar dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan, bukan saja tentang macam pidana yang dicantumkan.
Selanjutnya berkenaan dengan asas legalitas ini, Roeslan Saleh Mengatakan bahwa asas legalitas mempunyai tiga dimensi :
a. Dimensi politik hukum
b. Dimensi politik kriminal
c. Dimensi politik organisasi

B. Asas Nasionalitas

Asas Nasionalitas terbagi menjadi dua :

1. Asas Nasionalitas Aktif

Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada.
Asas ini menentukan, bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu Negara disandarkan pada kewarganegaraan Nasionalitas seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dan tidak pada tempatnya dimana perbutan dilakukan.
Ini berarti, bahwa undang-undang hukum pidana hanya dapat diperlakukan terhadap seseorang warga Negara yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dalam pada itu tidak menjadi persoalan dimana perbuatan itu dilakukannya diluar Negara asalnya, undang-undang hukum pidana itu tetap berlaku pada dirinya.
Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP yang berbunyi :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan republik Indonesia berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan diluar wilayah indonesia ”.

2. Asas Nasionalitas Pasif

Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu Negara (Juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-pebuatan yang dialkuan diluar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan Negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan Negara itu.
Asas ini tercantum dala pasal 4 ayat 1,2 dan 4 KUHP, kemudian diperluas dengan undang-undang Nomor 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1995 tentang tindak pidana ekonomi.
Disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individu orang Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di wilayah Negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap Negara untuk menegakkan hukum di wilayah sendiri.
Berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu Negara menurut asas ini disandarkan kepada kepentingan hukum (Rechtbelang) menurut Simons : Rechtgoed yang dilanggarnya. Dengan demikian apabila kepentingan hukum dari suatu Negara yang menganut asas ini dilanggar oleh seseorang, baik oleh warga Negara ataupun oleh orang asing dan pelanggaran yang dilakukukan baik diluar maupun didalam Negara yang menganut asas tadi, Undang-undang hak pidana Negara itu dapat diperlakukan terhadap di pelanggar tadi.

C. Asas Territorialitas atau Wilayah

Pertama-tama kita lihat bahwa hukum piadana suatu Negara berlaku diwilayah Negara itu sendiri, ini merupakan yang paling pokok dan juga asas yang paling tua. Logis kalau ketentuan-ketentuan hukum suatu Negara berlaku diwilayahnya sendiri.
Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayahnya Negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua Negara menganut asas ini, termasuk Indonesia.
Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan. Pasal 2 KUHP mengandung asas territorialitas, yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke Strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana didalam wilayah Indonesia. Asas territorialitas berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi didalam wilayah Negara. Yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga Negara maupun orang asing.


KESIMPULAN

Dalam hukum Pidana terkandung asas-asas menurut tempat dan waktu. Dan diantara asas-asas tersebut yaitu, asas legalitas, dan nasionalitas dan territorialitas.
1. Asas Legalitas
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan.
2. Asas Nasionalitas
a. Nasionalitas Aktif
Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik hukum pidana Indonesia, mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada.
b. Nasionalitas Pasif
Asas yang menentukan bahawa hukum pidana suatu Negara berlaku terhadap perbuatan-perbutan yang dilakukan di luar negeri.
3. Asas Territorialitas
perundang-undangan huukum pidana bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara, yang dilakukan setiap orang, baik sebagai warga Negara Walaupun orang asing.

2. Peniadaan Hukum

Alasan penghapus pidana ( strafuitsluitingsground ) diartikan sebagai keadaan khusus yang jika dipenuhi menyebabkan pidana, meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi , tidak dapat dijatuhkan. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin mapun yurisprudensi. Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan dalam :

1. Alasan penghapus pidana umum
Adalah alasan penghapus pidana yang berlaku umum untuk setiap tindak pidana dan disebut dalam pasal 44, 48 - 51 KUHP

2. Alasan penghapus pidana khusus
Adalah alasan penghapus pidana yang berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu. Misalnya pasal 122, 221 ayat (2), 261, 310, dan 367 ayat (1) KUHP.

Sesuai dengan ajaran daad-dader strafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :

a) Alasan pembenar ( rechtvaardigingsgrond ) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana ( strafbaarfeit ) yang dikenal dengan istilah actus reus di Negara Anglo saxon.

b) Alasan pemaaf ( schuldduitsluitingsgrond ) yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban ( toerekeningsvatbaarheid ) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon.

Selain dikenal adanya dasar penghapus pidana dalam undang-undang maka dikenal pula dasar penghapus pidana diluar Undang-undang. Seperti Misalnya hak mendidik dari orang tua , izin dari orang yang dirugikan (persetujuan) , hak jabatan dari dokter, penghapus pidana putative , peniadaan sifat melawan hukum dalam Arti Materiil maupun tiada kesalahan dalam arti materiil ( Afwezigheid Van Alle Schuld).


3. Poging
Di dalam hukum pidana ada di kenal dengan “Percobaan” atau dalam kata asingnya disebut “Poging”. Percobaan adalah suatu perbuatan yang timbul karena adanya niat sebagaimana telah tampak pada saat permulaan perbuatan, akan tetapi perbuatan tersebut tidak sampai selesai olah karena adanya halangan yang datang dari luar kehendak pembuat.
Ada 3 (tiga) macam unsur yang membuat suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu percobaan yaitu:
1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan
2. Niat tersebut telah dimulai dilaksanakan
3. Perbuatan yang dilaksanakan tersebut tidak selesai karena adanya gangguan dari luar diri si pembuat.
Percobaan atau Poging dapat kita lihat di KUHP pada pasal 53, akan tetapi undang-undang tidak memberikan batas-batas tertentu mengenai arti percobaan itu, hanya mengemukakan ketntuan mengenai syarat-syarat agar percobaan menuju ke arah kejahatan itu dapat dihukum.
Menurut Pasal 53 KUHP , agar percobaan melakukan kejahatan (pelanggaran tidak) dapat dihukum, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Apabila maksud untuk melakukan kejahatan itu sudah nyata
- Tindakan untuk melakukan kejahatan itu sudah dimulai
- Perbuatan tersebut cenderung menuju kearah kejahatan itu tidak terlaksana, karena pengaruh keadaan yang timbul kemudian, tetapi bukan karena kehendak si pelaku itu sendiri..

Di dalam Pasal 53 (2) KUHP menyebutkan bahwa maksimum utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya dalam hal percobaan, ini menjelaskan bahwa dicantumkannya Pasal 53 dalam suatu peristiwa pidana tujuannya adalah untuk memperingan hukuman. Jadi karena adanya pengurangan ancaman hukumannya dengan sepertiga itulah akhirnya percobaan disebut juga sebagai unsur memperingan hukuman.Percobaan dapat dikatakan sebagai peringan hukuman karena tindak kejahatan telah dilakukan atau telah dimulai akan tetapi perbuatan tersebut tidak terselesaikan karena adanya halangan yang datangnya bukan dari diri si pelaku.
Bahwa dengan dimulainya suatu tindak pidana berarti bahwa pelanggaran atas ketentuan-ketentuan pidana telah dimulai pula. Contohnya saja pelanggaran terhadap pencurian sebagaimana dimaksud dalam pasal 362 KUHP yang memberi ancaman 5(lima) tahun maximum, namun karena perbuatan pencurian tersebut belum selesai dilaksanakan, sehingga dipergunakanlah sebagai alasan untuk mengurangi ancaman maximum itu dengan sepertiganya menjadi kurang lebih 3,4 (tiga tahun empat bulan)



Tuesday, January 14, 2014

January 14, 2014

Tindak Pidana

Tindak Pidana
Menurut Moeljatno tindak pidana merupakan suatu tingkah laku/ perbuatan melawan hukum dan diancam dengan pidana yang akibatnya dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu keadaan yang tidak patut/ tidak boleh dilakukan. Dalam pengertian Moeljatno di sini beliau memisahkan antara pertanggungjawaban pidana dengan tindak pidana, bisa dibilang mempunyai pengertian yang dualistis. Pengertian Moeljatno ini diikuti oleh penerjemah KUHP BPHN Departemen Kehakiman sebagai pengertian umum tindak pidana.

Jadi menurut Meljatno kalau saya kembangkan tindak pidana itu merupakan suatu tindak perbuatan yang melawan hukum yang diancam pidana dan akibatnya dirasakan oleh masyarakat pada umumnya sebagai perbuatan yang salah/ tidak patut dilakukan oleh orang yang bersangkutan karena dapat merugikan salah satu pihak ataupun banyak pihak. Disini masyarakat sangat berpengaruh dalam perumusan pengertian tindak pidana karena pada dasarnya hukum merupakan suatu gejala masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehingga masyarakat memegang penuh apa yang seharusnya ditentukan oleh hukum. Misalnya saja seorang ayah yang memukul anaknya dengan tujuan untuk mendidik bukan merupakan suatu tindak pidana dikarenakan masyarakat menganggap itu suatu kebenaran karena tujuannya mendidik, jika itu ditinjau dari segi perundang-undangan saja, tentu perbuatan demikian merupakan suatu tindak pidana, akan tetapi karena masyarakat mengagap suatu kebenaran maka perbuatan tersebut tidak lagi menjadi tindak pidana.

January 14, 2014

Analisa pasal 63(2) dan 103 KUHP

Analisa pasal 63(2) dan 103 KUHP


Pasal 63 (2) KUHP berbunyi :

“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”

Ini berarti dalam suatu tindak pidana berlaku asas lex spesialis derogat lex generalis yang berarti aturan pidana yang khusus mengenyampingkan aturan pidana yang umum. Ini berarti apabila ada perbuatan pidana yang dalam pengaturannya masuk dalam pengaturan khusus maka aturan-aturan yang umum harus dikesampingkan. Kita ambil contohnya jika ada satu perbuatan yang masuk dalam ranah korupsi (penyuapan) misalnya maka yang dipakai  bukan lagi pasal 209 dan 210 KUHP mengenai penyuapan akan tetapi undang-undang yang lebih khusus yaitu undang-undang tindak pidana korupsi.

Pasal 103 KUHP berbunyi :

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”

Ini berarti asas-asas umum dalam KUHP (ketentuan-ketentuan umum dalam KUHP buku I) berlaku juga dalam Undang-undang khusus dalam hukum pidana kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang khusus tersebut. Setiap Undang-Undang khusus dalam hukum pidana berlaku asas-asas yang ada dalam KUHP (buku I). Undang-Undang yang khusus ini biasanya dipelajari dalam tindak pidana khusus yang hanya mencakup aturan perundang-undangan yang khusus saja dalam hukum pidana. Misal UU tentang Tipikor, dan masih banyak lagi.

January 14, 2014

Ringkasan tentang delik aduan

Ringkasan tentang delik aduan

Delik aduan merupakan suatu delik yang hanya boleh dituntut oleh penuntut umum apabila terdapat pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan akan suatu perbuatan tindak pidana (delik aduan). Jadi apabila tidak ada pengaduan dari pihak yang terkait, atau delik aduan itu dicabut kembali oleh orang yang bersangkutan dalam jangka waktu tertentu maka wewenang dari penuntut umum otomatis akan gugur, walaupun itu sebenarnya merupakan tindak pidana (delik aduan).
Yang termasuk delik aduan ada 2 yaitu delik aduan absolut dan relatif

a.    Delik aduan absolut
Yaitu suatu delik yang disebabkan dari sifat kejahatan itu sendiri, maka dari itu delik ini hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Seperti : pasal 284 KUHP (perzinahan), pasal 287 KUHP, 293 KUHP (perbuatan cabul), pasal 310-319 KUHP (penghinaan) kecuali pasal 316 (penghinaan terhadap seorang pejabat), pasal 320 dan 321 KUHP (penghinaan terhadap orang yang telah meninggal dunia), pasal 322 dan 323 KUHP (membuka rahasia), pasal 332 KUHP (melarikan wanita), pasal 335 ayat (1) butir 2 KUHP (pengancaman terhadap kebebasan individu), pasal 369 KUHP (pengancaman pencemaran nama baik), dan pasal 485 KUHP (delik pers).

b.    Delik aduan relatif
Yaitu suatu delik yang pada dasarnya delik biasa akan tetapi oleh karena adanya hubungan keluarga yang dekat sekali antara orang yang dirugikan dengan si pelaku atau si pembantu delik itu, maka delik itu menjadi delik aduan, dalam arti penuntut umum hanya boleh menuntut jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan.
Seperti : pasal 367 ayat (2) KUHP (pencurian dalam keluarga), pasal 376 KUHP (penggelapan dalam keluarga), pasal 394 KUHP (penipuan dalam keluarga), pasal 411 KUHP (perusakan barang dalam keluarga)

January 14, 2014

Perbedaan kejahatan dengan pelanggaran

Perbedaan kejahatan dengan pelanggaran


Menurut Moeljatno Terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet (undang-undang) yang menentukan demikian. Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan cenderung lebih berat ancaman pidananya daripada pelanggaran.
Bisa dikatakan bahwa perbedaan antara pelanggaran dengan kejahatan adalah:

- Pelanggaran
orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).

- Kejahatan
meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP).

Menurut Moeljatno Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yaitu :

  • Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja.
  • Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kelapaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
  • Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (Pasal 54 KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP).
  • Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
  • Dalam hal pembarengan (concurcus) pada pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. kumulasi pidana yang enyeng lebih mudah daripada pidana berat


January 14, 2014

Analisa tentang penyusunan rumusan tindak pidana yang menyebutkan unsurnya saja, unsur dan kualifikasinya, kualifikasinya saja

Analisa tentang penyusunan rumusan tindak pidana yang menyebutkan unsurnya saja, unsur dan kualifikasinya, kualifikasinya saja
Buat analisa tentang penyusunan rumusan tindak pidana yang menyebutkan
a. unsurnya saja
b. unsur dan kualifikasinya
c. kualifikasinya saja

Perumusan tindak pidana merupakan suatu cara dalam pengaturannya di KUHP untuk dapat mengetahui dengan jelas perbuatan apa saja yang dilarang atau diharuskan itu, dalam hal ini berhubungan dengan tindak pidana. perumusan tindak pidana ada 3 cara yaitu perumusan unsur-unsurnya saja, unsur + kualifikasinya, dan kualifikasinya saja.

a.    Perumusan yang hanya menentukan unsur-unsurnya saja
Merupakan suatu perumusan tindak pidana yang hanya menyebutkan unsur-unsur pidananya saja tanpa menyebutkan nama yuridis/ kualifikasinya. Bisa dibilang perumusan ini hanya menyebutkan arti serta pemidaan dari suatu perbuatan pidana tanpa menyebutkan nama daripada perbuatan itu. Nama dari perbuatan itu diserahkan kepada doktrin atau orang banyak yang menamakan perbuatan itu.  Seperti contoh pasalnya yaitu pada pasal 209 yang isinya :

“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. � barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. � barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.”

Dalam pasal di atas tidak disebutkan nama dari perbuatan yang diancam pidana itu tetapi hanya menyebutkan pengertian/ unsur serta pemidanaannya saja. Dalam pasal di atas salah satu unsurnya menyebutkan “barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”. Sedangkan pemidaannya disebutkan diatasnya “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Jelas dilihat tidak ada perumusan nama dari perbuatan tersebut dan selanjutnya perbuatan yang terdapat dalam pasal 209 tersebut oleh orang dinamakan “penyuapan aktif”.
Contoh lainnya terdapat pada pasal 418, 419, 420 KUHP (orang menamakan “penyuapan pasif”); pasal 167 KUHP (orang menamakan “usik rumah”); pasal 379a KUHP (orang menamakan “penggelapan”)

b.    Perumusan yang hanya menentukan kualifikasinya saja
Perumusan ini kebalikan dari perumusan sebelumnya. Jika pada perumusan sebelumnya perumusannya terbatas pada unsur-unsur/ pengertian/ pemidanaannya saja tanpa menyebutkan nama yuridis/ kualifikasi dari perbuatan itu maka perumusan ini hanya menyebutkan nama yuridis/ kualifikasinya saja tanpa menyebutkan unsur-unsurnya. Seperti dalam contoh pasal 351 KUHP yang dalam KUHP disebut penganiayaan :

“(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.”

Dalam pasal di atas tidak disebutkan secara jelas apa pengertian/ unsur-unsur dari penganiayaan itu akan tetapi hanya disebutkan pemidanaan serta nama yuridisnya saja. Sedangkan pengertiannya diserahkan kepada para ahli dalam arti diserahkan pada doktrin-doktrin atau ilmu hukum pidana dan praktek peradilan. Seperti penganiayaan di atas menurut doktrin penganiayaan berarti, perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain.
Contoh yang lain terdapat pada pasal 184 KUHP (perkelahian tanding), pasal 297 KUHP (perdagangan wanita),

c.    Perumusan yang menentukan kualifikasi serta unsur-unsurnya
Perumusan ini merupakan gabungan dari kedua perumusan yang telah disebutkan keduanya. Yaitu perumusannya meliputi nama yuridis serta unsur-unsur/ pengertian dari perbuatan yang diancam pidana itu. Jadi semua perumusannya disebutkan dalam KUHP. Kalau menurut saya perumusan ini biasa dipakai pada perbuatan yang merupakan tindak pidana umum sehingga dapat jelas pengaturannya bagi masyarakat pada umumnya. Seperti yang terdapat pada pasal 362 KUHP tentang pencurian

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Pasal di atas dalam KUHP selain disebutkan nama yuridisnya yaitu “pencurian” juga disebutkan pengertian/ unsur-unsurnya di bawahnya (pada pasal 362).
Contoh yang lainnya yaitu pasal 338 KUHP(pembunuhan), pasal 372 KUHP (penggelapan), pasal 378 KUHP (penipuan), pasal 480 KUHP (penadahan).

Tuesday, January 7, 2014

January 07, 2014

Dokumen Perjalanan

Dokumen Perjalanan

Dokumen Perjalanan (menurut Oka A. Yoeti) adalah surat keterangan yang dipergunakan selama dalam perjalanan yang menerangkan orang yang namanya tercantum dalam surat keterangan tersebut, baik kebangsaannya, jabatannya, identitasnya, keterangan khusus sehubungan dengan perjalanan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berwenang untuk masing-masing document tersebut. Dokomen perjalanan ini terdiri atas Dokumen perjalanan RI yang dibagi menjadi Paspor dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, Visa, Izin Keimigrasian dan Dokumen Lain.
1) Dokumen perjalanan RI yang biasa dikenal dengan nama Surat Perjalanan RI, yang disingkat dengan SPRI adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI yang memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan ke luar atau masuk wilayah Negara RI.
SPRI terdiri atas Paspor Biasa, Paspor Diplomatic, Paspor Dinas, Paspor Haji, Paspor untuk Orang Asing, Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk WNI, Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Orang Asing, Surat Perjalanan Laksana Paspor Dinas.
Paspor Biasa diberikan kepada WNI yang akan melakukan perjalanan ke luar atau masuk wilayah Negara RI. WNI yang dimaksud ini diberikan kepada WNI yang bertempat tinggal di dalam ataupun di luar wilayah kedaulatan RI. Paspor biasa ini berlaku paling 5 tahun sejak tanggal dikeluarkan. Paspor biasa tidak dapat diperpanjang lagi, jika masa berlakunya berakhir dan apabila masih diperlukan harus mengajukan permintaan baru.
Paspor Diplomatik diberikan kepada pegawai negeri, Pejabat Negara tertentu, atau WNI tertentu yang akan melakukan perjalanan ke luar wilayah Negara RI untuk melaksanakan tugas diplomatic. Paspor Diplomatik juga diberikan kepad istri atau suami dan anak-anak. Pemberian paspor ini bertujuan dalam rangka mengikuti tugas dan penempatan diri bagi mereka-mereka yang melakukan tugas Diplomatik. Untuk jenis paspor ini berlaku paling lama 5 tahun sejak tanggal dikeluarkan. Paspor diplomatic tidak dapat diperpanjang lagi, jika berlakunya berakhir dan apabila masih diperlukan harus mengajukan permintaan baru.
Paspor diplomatik merupakan dokumen resmi milik negara, apabila masa tugas sebagai diplomat  berakhir atau masa berlakunya berakhir, maka pemegang paspor harus menyerahkan kembali kapada Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk.
Paspor dinas diberikan kepada Pegawai Negeri, Pejabat negara tertentu, atau WNI tertentu yang akan melakukan perjalanan ke luar wilayah Negara RI dalam rangka penempatan atau perjalanan dinas yang tidak bersifat diplomatik. Tugas yang tidak bersifat diplomatik adalah tugas tertentu yang diberikan oleh Pemeintah RI yang diberikan kepada mereka-mereka diluar wilayah RI untuk jangka waktu tertentu. Paspor ini berlaku paling lama 5 tahun sejak tanggal dikeluarkan dan tidak dapat diperpanjang lagi apabila masa berlakunya habis dan apabila masih diperlukan arus mengajukan permintaan baru.
Paspor Haji merupakan paspor yang diberikan kepada WNI yang berada diwilayah RI yang akan melaksanakan ibadah Haji dan paspor jenis ini hanya berlaku setahun salama musim haji. Maksudnya satu kali menunaikan ibadah haji. Jenis paspor ini tidak dapat diperpanjang lagi dan apabila ingin menunaikan ibadah aji lagi, harus mengajukan permintaan baru.
Paspor untuk Orang Asing, paspor yang diberikan kepada orang asing yang bertempat tinggal di wilayah negara RI dan akan melakukan perjalanan ke luar wilayah Negara RI. Paspor ini hanya diberikan kepada orang asing yang mempunyai izin tunggal tetap,tidak mempunyai surat perjanjian yang sah dari negaranya ataupun negara lain, dalam jangka waktu yang dianggap layak tidak dapat memperoleh Surat Perjalanan  yang sah dari negaranya atau negara lain, tidak terkena tindakan pencegahan. Paspor ini juga dikenal dengan istilah Certificate of Identity yang berlaku secara internasional. Paspor ini berlaku untuk satu kali melakukan perjalanan keluar dan masuk wilayah Negara RI dan berlaku paling lama 2 tahun dan tidak bisa diperpanjang lagi , jika masa berlakunya sudah habis dan apabila diberlakukan harus mengajukan permintaan baru.
Selain jenis-jenis paspor diatas, dalam keadaan tertentu, kepada WNI baik yang ada di wilayah RI maupun diluar Wilayah RI dapat diberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor sebagai pengganti paspor biasa. Keadaan tertentu ini bisa dilihat dari 2 hal:
1. Diwilayah negara RI, antara lain:
Apabila kehabisan blangko Paspor Biasa
Apabila dalam keadaan mendesak, misalnya sakit ,atau;
Sebagai realisasi perjanjian Khusus Indonesia dengan negara tetangga
2. Diluar wilayah negara RI
Untuk pemulangan ke Indonesia;
Apabila kehabisan belangko persediaan paspor biasa;
Apabila keilangan paspor biasa;
Surat Perjalanan Laksana Paspor ini berlaku untuk perjalanan keluar atau masuk wilayah Negara RI dan berlaku paling lama 3 tahun.
Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Orang Asing, surat ini diberikan kepada orang asing yang berada :
a. Diwilayah negara RI yang tidak mempunyai Surat Perjalanan yang sah dari negaranya atau negara lain yang :
1) Atas kehendak sendiri keluar wilayah negara RI sepanjang orang asing yang bersangkutan tidak terkena pencegahan.
2) Dikenakan tindakan deportasi.
b. Diluar wilayah RI yang tidak mempunyai Surat Perjalanan yang sah dari negaranya atau negara lain untuk masuk ke wilayah negara RI sepanjjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
SPLP untuk orang asing diberikan apabila yang bersangkutan memiliki:
Izin untuk masuk kembali ke negara tempat berwenang dari instansi berwenang;
Tiket yang berangkat dan tiket untuk kembali; dan
Penjamin di Indonesia.
Untuk orang asing yang berada di wilayah RI berlaku 1 kali melakukan perjalanan ke luar wilayah RI dan paling lama berlaku 1 tahun, untuk SPLP untuk Orang Asing  yang berada di luar wilayah RI berlaku untuk satu kali perjalanan masuk ke wilayah RI dan berlaku paling lama 1 tahun.
Surat Perjalanan Laksana Paspor Dinas, diberikan kepada WNI yang keluar dan untuk masuk kembali ke dalam wilayah RI dalam rangka melaksanankan tugas pemerintah yang tidak memerlukan paspor dinas; atau kehilangan paspor dinas di luar wilayah RI. SPLP dinas berlaku untuk satu kali perjalanan dan berlaku 1 tahun.
2) Visa merupakan izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan RI atau tempat lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah RI yang memuat persetujuan bagi orang asing untuk masuk dan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia (pasal 1 angka 7 UU No. 9/ 1992)
Visa diberikan kepada orang asing yang maksud dan tujuan kedatangannya di Indonesia bermanfaat secara tidak akan menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan nasional (pasal 6 ayat (2) UU No. 9/1992)
Dikecualikan dari kewajiban memiliki visa adalah:
Orang asing warga negara dari negara yang berdasarkan Keputusan Presiden tidak diwajibkan memiliki Visa.
Orang asing yang memiliki Izin Masuk Kembali
Kapten atau nahkoda dan awak yang bertugas pada alat angkut yang berlabuh atau mendarat di Bandar udara di wilayah Indonesia;
Penumpang transit di pelabuhan atau Bandar udara di wilayah Indonesia sepanjang tidak keluar dari tempat transit yang berada di tempat pemeriksaan imigrasi (pasal 7 UU No. 9/1992)
Visa ini dapat digolongkan kedalam beberapa jenis, diantaranya Visa diplomatik, Visa Dinas, Visa Singga, Visa Kunjungan dan Visa Tinggal Terbatas.
Visa Diplomatik diperuntukan bagi mereka yang tugasnya bersifat diplomatik dan hanya dapat diberikan kepada pemegang Paspor Diplomatik.
Visa Dinas diperuntukan bagi mereka yang melaksanakan tugas resmi dari pemerintah asing yang bersangkutan atau diutus oleh organisai internasional tetapi tugas tersebut tidak bersifat diplomatik. Dan hanya diberikan pada pemegang Paspor Dinas.
Visa Singgah diperuntukan bagi mereka yang bermaksud singgah di wilayah Negara RI untuk meneruskan perjalanan ke negara lain atau kembali ke negara asal. Dalam keadaan tertentu (dalam keadaan mendesak antara lain untuk melaksanakan tugas pemerintahyang sifatnya mendadak atau menghadiri seminar, konferensi atau olah raga yang diadakan dalam rangka kerjasama antar pemerintah atau badan internasional) diberikan di tempat pemeriksaan imigrasi. Visa jenis ini diberikan untuk jangka singgah di wilayah RI dalam jangka waktu 14 hari terhitung dari tanggal diberikannya izin masuk di wilayah negara RI.
Visa Kunjungan diberikan kepada mereka yang bermaksud melakukan kunjungan dalam rangka tugas pemerintahan, pariwisata, kegiatan sosial budaya dan usaha. Diberikan paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal diberikannya izin masuk wilayah RI. Orang asing untuk tujuan tertentu dapat diberikan “Multipel Visa” visa kunjungan untuk beberapa kali melakukan kunjungan dari wilayah RI untuk melakukan kegiatan usaha.
Visa Tinggal Terbatas, diberika kepada mereka yang bermaksud untuk menanamkan modal, bekerja, malaksanakan tugas sebagai Rohaniawan, mengikuti pendidikan dan latihan atau melakukan penelitian ilmiah,mengabungkan diri kepada suami atau orang tua bagi istri dan anak-anak sah dari seorang WNI, menggabungkan diri dengan suami atau orang tua bagi istri dan anak-anak sah dari orang asing seperti yang dimaksud dalam angka 1 s/d 4, repatriasi yaitu pemulangan kembali ke tanah air bagi warga negar yang telah hidup menjadi warga negara asing. Diberikan kepada orang asing untuk tinggal di wilayah RI paling lama 1 tahunterhitung sejak tangal diberikannya izin masuk di wilayah RI.
Selain dokumen perjalanan RI dan visa masi ada lagi jenis dokumen perjalanan lainnya yaitu Izin Keimigrasian. Izin Keimigrasian merupakan bukti keberadaan yang sah bagi setiap orang asing di wilayah RI. Izin Keimigrasian terdiri dari :
i. Izin Singgah
ii. Izin Kunjungan
iii. Izin Tinggal Terbatas
iv. Izin Tinggal Tetap
Izin Singgah (Izin Transit) diberikan kepada orang asing yang memerlukan singgah di wilayah RI untuk meneruskan perjalanan ke negara lain atau kembali ke negara asal. Diberikan selama 14 hari terhitung dari tanggal diberikannya Izin Masuk.
Izin Kunjungan diberikan kepada orang asing dalam rangka kunjungan ke wilayah Ri dalam jangka waktu yang singkat untuk tugas pemerintahan, pariwisata, kegiatan sosial budaya dan usaha. Izin ini di berikan untuk jangka waktu 60 hari terhitung dari tanggal diberikannya izin masuk.
Izin ini dapat juga diperpanjang paling banyak lima kali berturut-turut, setiap kali perpanjangan untuk jangka waktu 30 hari dan untuk keperluan wisata jangka waktu 60 hari tidak dapat diperpanjang. Dapat juga dialihkan menjadi Izin Tinggal Terbatas, atas dasar permintaan yang bersangkutan dan sponsornya dengan syarat telah berada di wilayah negara RI sekurang-kurangnya 4 bulan berturut-turut terhitung dari tanggal diberikannya izin masuk.
Izin Tinggal Terbatas, diberikan kepada orang asing yang tinggal di wilayah Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas,  yaitu orang yang memegang visa tinggal terbatas dan anak yang lahir di Indonesia berumur dibawah 18 tahun dan belum kawin dari ibu WNI dan ayahnya tidak atau belum memiliki Izin Keimigrasian dapat diberikan Izin Tinggal terbatas, orang asing yang bekerja sebagai nahkoda, anak buah kapal yang bekerja di kapal atau alat apung atau sebagai tenaga ahli kapal atau alat apung yang langsung bekerja di perairan Indonesia, laut territorial atau pada instalasi landas kontingen atau pada Zona Ekonomi Ekslusif.  Diberikan paling lama 1 taun, dapat diperpanjang lima kali berturut-turut, setiap peranjangan untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Dapat dialihkan statusnya menjadi Izin Tinggal tetap atas dasar perminaan yang bersangkutan.
Izin Tinggal Tetap diberikan kepada orang asing untuk tinggal menetap di wilayah RI yaitu, orang asing yang telah diberikan Izin Keimigrasian berdasrkan UU, orang asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas yang statusnya dialihkan  menjadi Izin Tinggal Tetap. Izin ini diberikan dalam jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkannya izin tersebut, dan dapat diperpanjang 5 tahun sekali selama yang bersangkutan menetap di wilayah RI.
Izin Tinggal tidak diberikan kepada orang asing yang memperoleh izin untuk masuk ke wilayah RI yang tidak meiliki paspor negara tertentu.
Selain dokumen-dokumen tersebut diatas, ada pula jenis dokumen lain yang dipergunakan seperti Bebas Visa Kunjungan Singkat dan Visa kunjungan Saat Kedatangan.



Monday, January 6, 2014

January 06, 2014

Password Protect Folder Tanpa Software

Password Protect Folder Tanpa Software
Dalam tutorial ini saya akan menunjukkan trik yang menarik dan berguna untuk melindungi folder tanpa menggunakan software apapun dengan  menggunakan pemrograman batch file . Trik ini akan bekerja pada semua platform windows ( Win XP , Win 7 ) . Ikuti tutorial di bawah ini untuk mempelajari trik ini .
Cara Mengunci Folder ?

   1 . Buka Notepad dan Copy kode di bawah ini .


cls
@ECHO OFF
title coolhacking-tricks.blogspot.com
if EXIST "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}" goto UNLOCK
if NOT EXIST MyFolder goto MDMyFolder
:CONFIRM
echo Are you sure to lock this folder? (Y/N)
set/p "cho=>"
if %cho%==Y goto LOCK
if %cho%==y goto LOCK
if %cho%==n goto END
if %cho%==N goto END
echo Invalid choice.
goto CONFIRM
:LOCK
ren MyFolder "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}"
attrib +h +s "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}"
echo Folder locked
goto End
:UNLOCK
echo Enter password to Unlock Your Secure Folder
set/p "pass=>"
if NOT %pass%==
 coolhacks goto FAIL
attrib -h -s "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}"
ren "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}" MyFolder
echo Folder Unlocked successfully
goto End
:FAIL
echo Invalid password
goto end
:MDMyFolder
md MyFolder
echo MyFolder created successfully
goto End
:End

   2 . Simpan file notepad sebagai lock.bat ( . Bat )
   3 . Klik sekarang dua kali pada lock.bat dan folder baru akan dibuat dengan nama MyFolder
   4 . Menyalin semua data Anda yang ingin anda lindungi dalam folder baru
   5 . Sekarang klik dua kali pada lock.bat dan ketika perintah promp muncul Ketik Y dan tekan enter .
   6 . Sekarang MyFolder akan disembunyikan  ,jika ingin mengakses folder tersebut, klik dua kali pada lock.bat
   7 . Ini akan meminta password masukkan password Anda dan dilakukan . (Password default adalah coolhacks )


Cara Aman lanjut ?

Anda mungkin berpikir bahwa setiap orang dapat mengakses password dengan membuka file lock.bat di Notepad atau editor teks lainnya . Untuk membuatnya lebih aman menyembunyikan lock.bat di beberapa lokasi yang aman setelah mengikuti tutorial di atas Untuk mengakses file klik dua kali aman di lock.bat . Saya akan menyarankan menyalin berkas lock.bat ke flashdisk dan menyalin ke komputer Anda setiap kali Anda diperlukan untuk mengakses ke file Anda dilindungi .


January 06, 2014

MPR bukan lembaga tertinggi negara

MPR bukan lembaga tertinggi negara


Menurut UUD 1945 setelah amandemen tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. UUD 1945 hasil amandemen menciptakan lembaga-lembaga negara dalam hubungan fungsional yang horisontal, buka dalam hubungan strukural dan vertikal.
MPR yang sekarang ini tidak sama seperti MPR yang melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat sesuai dengan ketetuan yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang asli. penyebutan MPR sebagai lembaga tertinggi di masa lalu didasarkan pada bunyi penjelasan, bagian sistem pemerintahan Negara butir III, yang menggariskan bahwa "kekuasaaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat", yang kemudian dimasukan pula di dalam Ketetapan MPRs No. XX/MPRS/1966.
Sekarang ini MPR bukan lagi pelaksanaan kedaulatan rakyat karena pasal 1 ayat 2 sudah diamandeman dengan ketentuan baru yang berbunyi "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". kedudukan MPR sekarang ini bukan tertinggi lagi, tapi sejajar dengan lembaga negara alinnya seperti Presiden, DPR,MA,MK da BPK. Dengan demikian, meskipun MPR berwenang untuk mengubah UUD serta berwenang melakukan impeachment terhadap presiden, ia bukan lembaga tertinggi, sebab kewenangan ini hanya pemeberan fungsi sebagai bagian dari proses-proses di lembaga negara lainnya.


Sunday, January 5, 2014

January 05, 2014

Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD. 1945

Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD. 1945

A. PENDAHULUAN
Saat ini proses demokrasi di Indonesia telah memasuki tahap perkembangan yang sangat penting. Perkembangan tersebut ditandai dengan berbagai perubahan dan pembentukan institusi baru dalam system dan struktur kekuasaan Negara. Perkembangan ini merupakan hasil koreksi  terhadap cara dan system kekuasaan lama akibat tuntutan reformasi serta aspirasi keadilan yang berkembang dalam masyarakat, sekaligus sebagai upaya mendorongterwujudnya cita-cita Negara demokrasi, tegaknya hak asasi manusia dan hukum yang berkeadilan, serta pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Amandeman UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan reformasi dan telah menghasilkan perubahan-perubahan substansial bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara. Jika kita bandingkan dengan konstitusi RIS dan UUDS 1950, dalam UUD1945 sebelum amandemen tidak ditemukan istilah Lembaga Negara. Konstitusi RIS menggunakan istilah “Alat-alat kelengkapan Federal” dan UUDS 1950 menggunakan istilah “alat-alat kelengkapan Negara”.
Jika memeriksa dan menelusuri kembali seluruh hasil perubahan UUD 1945, terdapat lembaga-lembaga seperti MPR,DPR,DPD, Presiden dan Wakil Presiden, BPK, MA, MK dan KY. Selain itu disebutkan pula adanya pemerintaha daerah, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, komisi pemilihan umum, dan bank sentral,(keduanya dicetak dengan huruf kecil) dan Dewan Pertimbangan Presiden.
Diluar UUD, terdapat lembaga-lembaga yang biasa disebut komisi Negara atau lembga Negara pembantu yang dibentuk berdasarkan undang-undang atau peraturan lainnya.
Permasalahannya di Indonesia, keberadaan lembaga-lembaga Negara yang dibentuk dan diadakan itu masih belum diletakan dalam konsepsi ketatanegaraan yang lebih jelas menjamin keberadaan dan akuntabilitas mereka.
Jika melihat kembali rumusan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 sehubungan dengan kewenangan MK, penggunaan istilah lembaga Negara bisa mengundang berbagai peafsiran dalam melihat dan mengimplementasikannya. Itu disebabkan UUD 1945 tidak menegaskan hal tersebut.
Beberapa penafsiran yang muncul tentang lembaga Negara :

  1. Penafsiran Luas : mencakup semua lembaga Negara yang nama dan kewenangannya disebut/dicantumkan dalam UUD 1945.
  2. Penafsiran Moderat : hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal dengan sebagai lembaga tertinggi dan lembaga tinggi Negara.
  3. Penafsiran Sempit : hanya merujuk secara implicit pada ketentuan pasal 67 UU MKRI.


B. PERMASALAHAN
Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa ada banyak penefsiran dalam memaknai dan mengidentifikasikan lembaga Negara. Hal itu tentunya dapat berimplikasi pada penentuan lembaga Negara mana saja yang dapat menjadi pihak yang bersengketa di MK dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga Negara. Dengan merujuk pada pemeparan tersebut dapat dikemukakan pokok permasalahan diantaranya :

  1. Apa yang dimaksud dengan Lembaga Negara setelah perubahan UUD 1945 dan lembaga lembaga mana saja yang disebut sebagai lembaga Negara?
  2. Lembaga Negara mana sajakah yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan di MK?


C. KERANGKA TEORI

1. Negara
Bernegara menjadi kebutuhan dan karenanya menjadi keniscayaan dalam bermasyarakat. Beberapa pandangan tentang Negara diantaranya pandangan sosiologis, pandangan yuridis, pandangan yuridis sosiologis, pandangan organis serat pandangan kolektivis.
Dalam konteks Indonesia, tujuan Negara telah ditentukan dalam konstitusi bahwa tujuan Negara sebagaimana yang termaktub dalam Mukadimah UUD 1945 adalah memberika perlindungan kepada bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan berperan dalam menciptakan ketertiban dunia.
2. Lembaga Negara
Lembaga Negara ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Negara keberadaan organ-organ Negara in menjadi keniscayaan untuk mengisi dan menjalankan Negara. Pembentukan lembaga Negara akan selalu terkait dengan system penyelenggara Negara, yang didalamnya termuat antara lain fungsi dari setiap lembaga/organ yang dibentuk dan hubungan-hubungan yang dijalankan.
3. Kewenangan
Kewenangan adalah otoritas yang dimiliki oleh suatu lembagauntuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Menurut Robert Bierstedt, bahwa wewenang adalah Institusionalized power (kekuasaan yang dilembagakan). Kewenangan merupakan wujud nyata dari kekuasaan.  Kewenangan dalam konteks penyelenggaraan Negara terkait pula dengan paham kedaulatan.
4. Konstitusi
Konstitusi sudah menjadi kebutuhan setiap Negara. Hamper semua Negara dijalankan berdasarkan konstitusi. Konstitusi merupakan hukum dasar yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan Negara. Dalam konstitusi juga diatur menegenai poros-poros kekuasaan bekerja dan saling berhubungan serta hak-hak warga Negara.
5. Sengketa kewenangan
Konsekuensi logis yang ditimbulkan dari pilihan suatu system dengan menerapkan perinsip check and balances adalah timbulnya sengketa atau pertentangan antar organ kelembagaan Negara yang diletakkan secara sederajat dan saling control. Perbedaan interpretasi terhadap suatu ketentuan yang menjadi bingkai bagi penyelenggaraan Negara seringkali menyulut sengketa.


D. PEMBAHASAN
1) Apa yang dimaksud dengan Lembaga Negara setelah perubahan UUD 1945 dan lembaga lembaga mana saja yang disebut sebagai lembaga Negara

Dalam ketentuan UUD 1945 hasil amandemen sama sekali tidak terdapat ketentuan mengenai/ mengatur tentang definisi lembaga Negara sehingga banyak yang melakukan inisistif sendiri-sendiri dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan konsep lembaga Negara. Satu-satunya petunjuk adalah pasal 24 C ayat (1) yang menyebutkan salah satu kewenangan dari MK adalah untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan antarlembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Ketidakjelasan ketentuan UUD 1945 dalam mengatur lembaga Negara mengakibatkan munculnya banyak penafsiran. Ketidakjelasan itu dapat dilihat dari tidak adanya standart atau criteria suatu lembaga Negara bisa diatur atau tidak dalam konstitusi.
Hasil amandemen UUD 1945 memberikan pengaturan ada lembaga Negara yang disebutkan dengan jelas wewenangnya, ada yang secara umum disebutkan wewenangnya, ada yang tidak sama sekali. Selain itu ada juga lembaga yang disebutkan dengan huruf kecil dan menggunakan huruf besar. Sehingga hal ini menimbulkan banyak penafsiran. Salah satunya adalah pembagian lembaga Negara menjadi lembaga Negara utama dan lembaga Negara bantu. Lembaga Negara utama mengacu kepada paham trias politika yang memisahkan kekeuasaan menjadi 3 poros legislative, eksekutif dan yudisial. Dengan mengacu pada ketentuan ini maka lembega Negara yang dapat dikategorikan sebagai lembaga Negara utama adalah MPR,DPR,DPD,Presiden,MA,MK, sedangkan lembaga Negara yang lain termasuk lembaga Negara bantu.
Menurut Prof. Soemantri menafsirkan lembaga Negara berdasarkan hasil amandemen adalah BPK,DPR,DPD,MPR,Presiden dan Wakil Presiden, MA,MKdan KY. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran system kelembagaan Negara berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 dibagi menjadi tiga bidang/fungsi. Pertama, dalam bidang perundang-undangan. Kedua, berkaitan dengan pengawasan. Ketiga, berkaitan dengan pengangkatan hakim agung.
Berdasarkan analisis dan pertimbangan yang diberikan MK, yang membedakan antara “status Lembaga Negara(huruf capital) dan lembaga negara(huruf kecil) meski tidak dijelaskan apa perbedaan status tersebut. Berdasarkan pembahasan bisa diambil dua kategori besar lembaga Negara, yaitu Lembaga Negara(huruf capital) yang apabila kita kembali ke konsep Negara, fungsi Negara, dan alat-alat kelengkapan Negara, pengertian itu harus dipersempit menjadi lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan, dalam hal ini legislative, eksekutif dan yudisial. Selain itu ada lembaga negara dengan huruf kecil) yang merupakan lembaga Negara yang berfungsi sebagai pengawas jalannya pemerintahan. Bertitik yolak pada hal itu. Ada dua macam lembaga Negara: pertama, lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 bisa dibagi menjadi dua, yaitu Lembaga Negara (yang dicetak huruf capital pada huruf L dan N) dan lembaga negara dengan huruf kecil. Kedua, lembaga Negara yang dasar hukum pembentukannya selain UUD 1945 atau dengan kata lain “lembaga negara “ (huruf kecil) yang kewenangannya diberikan oleh peraturan lain diluar UUD 1945.

2) Lembaga Negara yang dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan di MK

Penentuan lembaga-lembaga yang dapat bersengketa di MK mengacu kepada ketentuan konstitusional sebagaimana yang telah digariskan oleh UUD 1945.
Untuk mengurai lembaga apa saja yang memperoleh kewenangan langsung dari UUD, perlu diuraika terlebih dahulu lembaga-lembaga atau fungsi-fungsi apa saja yang termakthub dalam UUD 1945. Sesuai dengan urutan penyebutannya di dalam UUD setidaknya ada 18 lembaga yang disebut diantaranya ; MPR,DPR,DPD,Presiden,Dewan Pertimbangan Presiden,kementerian negara, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten dan kota, komisi pemilihan umum, bank sentral, BPK,MA,MK,KY,TNI ,Polri,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota .
Dari ke 18 lembaga tersebut, dapat dipilah lagi menjadi tiga ; yaitu, pertama, lembaga Negara yang nama/bentuk dan kewenangannya diatur ole UUD. Kelompok ini paling tidak ada 15 lembaga, yaitu, MPR, Presiden, kementrian negara , pemerintah derah provinsi, pemerintah daerah kab/kota,DPRD Provinsi, DPRD Kab/kota, DPR,DPD, BPK,MA,KY,MK,TNI,Polri.
Kedua, lembaga yang bentuk/namanya tidak ditentukan oleh UUD, tapi wewenangnya diberikan oleh UUD. Ada dua lembaga; yaitu, Dewan pertimbangan Presiden dan KPU.
Ketiga, lembaga yag bentuk/nama serta wewenangnya tidak ditentukan oleh UUD yaitu; bank sentral.
Beragamnya penafsiran tersebut, yang berimplikasi pada ketidakjelasan lembaga mana saja yang dapat menjadi pihak di MK. Dapat disebutkan disini beberapa lembaga yang mengundang pertanyaan atau perdebatan apakah lembaga- lembaga ini termasuk kategori lembaga negara yang dapat bersengketa di MK yaitu : Dewan Pertimbangan Presiden, KPU, Pemerintah daerah, TNI, Dan Polri.

Dewan Pertimbangan Presiden
Belum jelasnya, bagaimana bentuk pertimbangan yang akan diberikan dan bentuk lembaga yang akan diberikan pertimbangan. Jika dewan yang dimaksud adalah sebuah lembaga permanen yang berdiri sendiri, dia dapat disebut lembaga negara dan kewenangannya diberika oleh UUD.

Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Perdebatannya adalah status KPU sebagai lembaga negara atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa KPU bukan lembaga negara karena bukan dibentuk oleh UUD. Namun pendapat ini dapat diperbandingkan dengan bank sentral. Dalam UUD bank sentral juga ditulis dengan huruf kecil dan dalam UU BI dinyatakan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen.

TNI dan POLRI
Keberadaan dan fungsi TNI dan POLRI disebut dalam UUD. Istilah yang digunakan adalah “tugas”. Konteks Pasal 30 UUD 1945 adalah meletakkan TNI dan POLRI sebagai alat negara, bukan alat dari penguasa yang sedang berkuasa. Karena TNI dan POLRI  menjadi alat negara, mereka tidak dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis sebab kebijakan strategis tersebut harus tunduk kepada otoritas politik.


E. KESIMPULAN
Seiring dengan perubahan kedudukan kedudukan dan hubungan lembaga-lembaga negara dan banyaknya lembaga baru yang dibentuk, pemaknaan terhadap lembaga negara juga mengalami perubahan. Hasil amandemen UUD 1945 tidak memiliki tolak ukur yang jelas untuk menempatkan keberadaan lembaga-lembaga negara di dalam UUD maupun di luar UUD. Sehingga menimbulakan berbagai macam penafsiran.


F. SARAN
Perlu pengkajian secara komprehensif dan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan, evektivitas, dan peran lembaga-lembaga negara, khususnya lembaga negara yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan diluar UUD.
Apa yang dimaksud dengan Lembaga Negara setelah perubahan UUD 1945 dan lembaga lembaga mana saja yang disebut sebagai lembaga Negara



January 05, 2014

Persyaratan Hakim Mahkamah Konstitusi

Persyaratan Hakim Mahkamah Konstitusi

Pasal 24C ayat 5, menyebutkan bahwa “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”.
Persyaratan pengangkatan Hakim Konstitusi yang diatur dalam Pasal 15 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(1) memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; adil; dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;
e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon hakim konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan menyerahkan:
a.      surat pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi;
b.      daftar riwayat hidup;
c.      menyerahkan fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan ijazah asli;
d.      laporan daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat pengesahan dari lembaga yang berwenang; dan
e.      nomor pokok wajib pajak (NPWP).


Perpu No. 1 Tahun 2013
Isi Perppu itu setidaknya merubah beberapa hal yang sudah diatur sebelumnya. Seperti syarat menjadi hakim konstitusi. Kini, untuk menjadi hakim konstitusi harus melepas jabatan dari partai politik minimal 7 tahun.

"Substansi pertama, untuk mendapatkan hakim MK yang baik, di percaya maka syarat hakim konstitus pasal 15 huruf 2 ayat i ditambahkan kalimat tidak menjadi anggota parpol paling singkat 7 tahun sebelum diajukan, Dalam seleksi pencalonan, juga Perppu mengatur lebih ketat. Dalam aturan UU terkait MK, dikatakan bahwa hakim MK diajukan oleh DPR, MA dan Presiden.

Namun, dalam Perppu tentang MK ini, sebelum disahkan maka diuji lagi oleh panel ahli.
Tercantum dalam pasal 19 UU MK, untuk itu sebelum ditetapkan Presiden, pengajuan hakim konstitusi oleh MA, DPR dan Presiden, terlebih dahulu dilakukan uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanan panel ahli yang dibentuk oleh KY," jelasnya.
Adapun panel ahli ini beranggotakan tujuh orang. Ketujuh orang tersebut diambil dari latar belakang yang berbeda-beda.
Beranggotakan tujuh orang. Satu orang diusulkan MA, satu orang di usulkan DPR, satu orang diusulkan pemerintah, dan 4 orang yang dipilih oleh KY berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyrakat, akademisi hukum maupun praktisi hukum.



January 05, 2014

Pengawasan Mahkamah Konstitusi

Pengawasan Mahkamah Konstitusi
MK tidak mempunyai mekanisme pengawasan internal secara mapan.

Jika pun ada, dinilainya, wewenang itu ada pada Majelis Kehormatan Hakim (MKH), tetapi sifatnya lebih kepada pengawasan represif, karena majelis ini baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim.
MK juga tidak mau diawasi oleh lembaga pengawas eksternal. Ketika pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), MK membatalkan fungsi pengawasan KY, termasuk pengawasan terhadap MK.
Seperti yang diketahui, putusan MK pada pokoknya ada tiga macam. Pertama, menyatakan bahwa pencakupan hakim agung dalam arti hakim di dalam UU Komisi Yudisial sudah benar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, pencakupan hakim konstitusi dalam arti hakim yang dapat diawasi oleh KY tidaklah benar dan bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, beberapa pasal yang terkait dengan materi dan cara pengawsan hampir seluruhnya dinyatakan batal oleh MK sehingga praktis sejak saat itu KY tidak bisa melakukan pengawasan sebagaimana yang digariskan oleh UU No.22 Tahun 2004.
Alasan kedua, yang dikemukakan oleh MK, bahwa ketentuan pengawasan yang ada dalam UU KY bersifat rancu dan tidak sejalan dengan ketentuan – ketentuan yang telah ada dalam ketentuan UU lain, juga dapat dipersoalkan. MK tidak menunjuk secara langsung yang mana dari isi UU KY itu bertentangan dengan UUD 1945. Apa yang ditujukan oleh MK adalah kerancuan UU KY dengan UU lain.
Kalau benar ini alasannya, maka putusan MK itu melampaui batas alias tidak benar. Sebab, pembenturan isi satu UU dengan UU lan itu tidak dapat diselesaikan atau diputus dengan judicial review. Judicial review oleh MK itu hanya dapat dilakukan jika ada pertentangan antara isi UU dengan UUD. Kalau pertentangan yang terjadi adalah antara satu UU dengan UU lainnya maka penyelesaiannya haruslah melalui legislative review , bukan dengan judicial review.
Yang menjadi permasalahan disi adalah tentang kata “hakim” yang dimaksud dalam kewenangan yang dimiliki oleh KY, dimana MK menytakan bahwa hakim yang dimaksud bukanlah Hakim Konstitusi sehinga MK tidak dapat diawasi oleh KY serta ketentuan dalam UU KY bersifat inkonstitusional. Sejak putusan itu MK menjadi lembaga yang sangat kuat (powerfull), dan seiring dengan berpindahnya penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dari Mahkamah Agung (MA) ke MK, maka lembaga peradilan konstitusi itu menjadi semakin powerfull.