MK tidak mempunyai
mekanisme pengawasan internal secara mapan.
Jika pun ada, dinilainya, wewenang itu ada pada Majelis Kehormatan Hakim (MKH), tetapi sifatnya lebih kepada pengawasan represif, karena majelis ini baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim.
MK juga tidak mau
diawasi oleh lembaga pengawas eksternal. Ketika pengujian UU Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial (KY), MK membatalkan fungsi pengawasan KY,
termasuk pengawasan terhadap MK.
Seperti yang diketahui,
putusan MK pada pokoknya ada tiga macam. Pertama,
menyatakan bahwa pencakupan hakim agung dalam arti hakim di dalam UU Komisi
Yudisial sudah benar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, pencakupan hakim konstitusi dalam
arti hakim yang dapat diawasi oleh KY tidaklah benar dan bertentangan dengan
UUD 1945. Ketiga, beberapa pasal yang
terkait dengan materi dan cara pengawsan hampir seluruhnya dinyatakan batal
oleh MK sehingga praktis sejak saat itu KY tidak bisa melakukan pengawasan
sebagaimana yang digariskan oleh UU No.22 Tahun 2004.
Alasan kedua, yang dikemukakan oleh MK, bahwa
ketentuan pengawasan yang ada dalam UU KY bersifat rancu dan tidak sejalan
dengan ketentuan – ketentuan yang telah ada dalam ketentuan UU lain, juga dapat
dipersoalkan. MK tidak menunjuk secara langsung yang mana dari isi UU KY itu
bertentangan dengan UUD 1945. Apa yang ditujukan oleh MK adalah kerancuan UU KY
dengan UU lain.
Kalau benar ini alasannya, maka putusan MK itu
melampaui batas alias tidak benar. Sebab, pembenturan isi satu UU dengan UU lan
itu tidak dapat diselesaikan atau diputus dengan judicial review. Judicial
review oleh MK itu hanya dapat dilakukan jika ada pertentangan antara isi
UU dengan UUD. Kalau pertentangan yang terjadi adalah antara satu UU dengan UU
lainnya maka penyelesaiannya haruslah melalui legislative review , bukan dengan judicial review.
Yang menjadi
permasalahan disi adalah tentang kata “hakim” yang dimaksud dalam kewenangan
yang dimiliki oleh KY, dimana MK menytakan bahwa hakim yang dimaksud bukanlah
Hakim Konstitusi sehinga MK tidak dapat diawasi oleh KY serta ketentuan dalam
UU KY bersifat inkonstitusional. Sejak putusan itu MK menjadi lembaga yang
sangat kuat (powerfull), dan seiring dengan berpindahnya penyelesaian sengketa
pemilihan kepala daerah (pilkada) dari Mahkamah Agung (MA) ke MK, maka lembaga
peradilan konstitusi itu menjadi semakin powerfull.