A. Asas Legalitas
Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi kepadanya. Syarat tersebut bersumber pada asas legalitas.
Pada hakekatnya, bahwa azas legalitas yang menhendaki adanya suatu peraturan pidana dalam perundang-undang yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan dengan tidak mengurangi berlakunya hukum adat pidana, yang menetapkan suatu perbuatan itu sebagai suatu tindak pidana.
Asas Legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang, juga disyaratkan agar acara pidana dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam undang-undang. Hal ini dicantumkan dalam pasal 3 KUHP (pasal 1 ), pasangan dari pasal 1 ayat 1 KUHP.
Pasal 1 KUHP menjelaskan kepada kita bahwa :
- Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang
- Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu dari perbuatan itu ; dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan.
Asas legalitas dapat dijumpai dalam sumber-sumber hukum internasional, seperti :
- Deklarasi Universal hak-hak asasi manusia 1948, pasal II ayat 2.
- Perjanjian Eropa untuk melindungi hak manusia dan kebebasan asasi 1950 (perjanjian New York) pasal 15 ayat 1.
Asas Legalitas mengandung tiga perngertian, Yaitu :
- Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
- Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)
- Aturan-aturan pidana tidak berlaku surut.
Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana, undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental.
An selm von feverbach, seorang sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Sehubungan dua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa latin :
- Nulla Poena Sine Lege :Tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undag-undang
- Nulla poena sine crimine : Tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana
- Nullum crimen sine poena legali : Tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Dasar perumusan asas legalitas itu sebagai realisasi dari teorinya yang dikenal dengan nama “ Theorie Van Psychologische Zwang ” yang menganjurkan agar dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan, bukan saja tentang macam pidana yang dicantumkan.
Selanjutnya berkenaan dengan asas legalitas ini, Roeslan Saleh Mengatakan bahwa asas legalitas mempunyai tiga dimensi :
a. Dimensi politik hukum
b. Dimensi politik kriminal
c. Dimensi politik organisasi
B. Asas Nasionalitas
Asas Nasionalitas terbagi menjadi dua :
1. Asas Nasionalitas Aktif
Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada.
Asas ini menentukan, bahwa berlakunya undang-undang hukum pidana suatu Negara disandarkan pada kewarganegaraan Nasionalitas seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dan tidak pada tempatnya dimana perbutan dilakukan.
Ini berarti, bahwa undang-undang hukum pidana hanya dapat diperlakukan terhadap seseorang warga Negara yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dalam pada itu tidak menjadi persoalan dimana perbuatan itu dilakukannya diluar Negara asalnya, undang-undang hukum pidana itu tetap berlaku pada dirinya.
Inti asas ini tercantum dalam pasal 5 KUHP yang berbunyi :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan republik Indonesia berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan diluar wilayah indonesia ”.
2. Asas Nasionalitas Pasif
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu Negara (Juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-pebuatan yang dialkuan diluar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan Negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan Negara itu.
Asas ini tercantum dala pasal 4 ayat 1,2 dan 4 KUHP, kemudian diperluas dengan undang-undang Nomor 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan juga oleh pasal 3 undang-undang Nomor 7 (drt) tahun 1995 tentang tindak pidana ekonomi.
Disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individu orang Indonesia, tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia menjadi korban delik di wilayah Negara lain, yang dilakukan oleh orang asing, maka hukum pidana Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap Negara untuk menegakkan hukum di wilayah sendiri.
Berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu Negara menurut asas ini disandarkan kepada kepentingan hukum (Rechtbelang) menurut Simons : Rechtgoed yang dilanggarnya. Dengan demikian apabila kepentingan hukum dari suatu Negara yang menganut asas ini dilanggar oleh seseorang, baik oleh warga Negara ataupun oleh orang asing dan pelanggaran yang dilakukukan baik diluar maupun didalam Negara yang menganut asas tadi, Undang-undang hak pidana Negara itu dapat diperlakukan terhadap di pelanggar tadi.
C. Asas Territorialitas atau Wilayah
Pertama-tama kita lihat bahwa hukum piadana suatu Negara berlaku diwilayah Negara itu sendiri, ini merupakan yang paling pokok dan juga asas yang paling tua. Logis kalau ketentuan-ketentuan hukum suatu Negara berlaku diwilayahnya sendiri.
Asas wilayah ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayahnya Negara tempat berlakunya hukum pidana, tunduk pada hukum pidana itu. Dapat dikatakan semua Negara menganut asas ini, termasuk Indonesia.
Yang menjadi patokan ialah tempat atau wilayah sedangkan orangnya tidak dipersoalkan. Pasal 2 KUHP mengandung asas territorialitas, yang menyatakan aturan pidana (Wettelijke Strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana didalam wilayah Indonesia. Asas territorialitas berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi didalam wilayah Negara. Yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga Negara maupun orang asing.
KESIMPULAN
Dalam hukum Pidana terkandung asas-asas menurut tempat dan waktu. Dan diantara asas-asas tersebut yaitu, asas legalitas, dan nasionalitas dan territorialitas.
1. Asas Legalitas
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan.
2. Asas Nasionalitas
a. Nasionalitas Aktif
Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik hukum pidana Indonesia, mengikuti warga negaranya kemanapun ia berada.
b. Nasionalitas Pasif
Asas yang menentukan bahawa hukum pidana suatu Negara berlaku terhadap perbuatan-perbutan yang dilakukan di luar negeri.
3. Asas Territorialitas
perundang-undangan huukum pidana bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara, yang dilakukan setiap orang, baik sebagai warga Negara Walaupun orang asing.
2. Peniadaan Hukum
Alasan penghapus pidana ( strafuitsluitingsground ) diartikan sebagai keadaan khusus yang jika dipenuhi menyebabkan pidana, meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi , tidak dapat dijatuhkan. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin mapun yurisprudensi. Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan dalam :
1. Alasan penghapus pidana umum
Adalah alasan penghapus pidana yang berlaku umum untuk setiap tindak pidana dan disebut dalam pasal 44, 48 - 51 KUHP
2. Alasan penghapus pidana khusus
Adalah alasan penghapus pidana yang berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu. Misalnya pasal 122, 221 ayat (2), 261, 310, dan 367 ayat (1) KUHP.
Sesuai dengan ajaran daad-dader strafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :
a) Alasan pembenar ( rechtvaardigingsgrond ) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana ( strafbaarfeit ) yang dikenal dengan istilah actus reus di Negara Anglo saxon.
b) Alasan pemaaf ( schuldduitsluitingsgrond ) yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban ( toerekeningsvatbaarheid ) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon.
Selain dikenal adanya dasar penghapus pidana dalam undang-undang maka dikenal pula dasar penghapus pidana diluar Undang-undang. Seperti Misalnya hak mendidik dari orang tua , izin dari orang yang dirugikan (persetujuan) , hak jabatan dari dokter, penghapus pidana putative , peniadaan sifat melawan hukum dalam Arti Materiil maupun tiada kesalahan dalam arti materiil ( Afwezigheid Van Alle Schuld).
3. Poging
Di dalam hukum pidana ada di kenal dengan “Percobaan” atau dalam kata asingnya disebut “Poging”. Percobaan adalah suatu perbuatan yang timbul karena adanya niat sebagaimana telah tampak pada saat permulaan perbuatan, akan tetapi perbuatan tersebut tidak sampai selesai olah karena adanya halangan yang datang dari luar kehendak pembuat.
Ada 3 (tiga) macam unsur yang membuat suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu percobaan yaitu:
1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan
2. Niat tersebut telah dimulai dilaksanakan
3. Perbuatan yang dilaksanakan tersebut tidak selesai karena adanya gangguan dari luar diri si pembuat.
Percobaan atau Poging dapat kita lihat di KUHP pada pasal 53, akan tetapi undang-undang tidak memberikan batas-batas tertentu mengenai arti percobaan itu, hanya mengemukakan ketntuan mengenai syarat-syarat agar percobaan menuju ke arah kejahatan itu dapat dihukum.
Menurut Pasal 53 KUHP , agar percobaan melakukan kejahatan (pelanggaran tidak) dapat dihukum, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Apabila maksud untuk melakukan kejahatan itu sudah nyata
- Tindakan untuk melakukan kejahatan itu sudah dimulai
- Perbuatan tersebut cenderung menuju kearah kejahatan itu tidak terlaksana, karena pengaruh keadaan yang timbul kemudian, tetapi bukan karena kehendak si pelaku itu sendiri..
Di dalam Pasal 53 (2) KUHP menyebutkan bahwa maksimum utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya dalam hal percobaan, ini menjelaskan bahwa dicantumkannya Pasal 53 dalam suatu peristiwa pidana tujuannya adalah untuk memperingan hukuman. Jadi karena adanya pengurangan ancaman hukumannya dengan sepertiga itulah akhirnya percobaan disebut juga sebagai unsur memperingan hukuman.Percobaan dapat dikatakan sebagai peringan hukuman karena tindak kejahatan telah dilakukan atau telah dimulai akan tetapi perbuatan tersebut tidak terselesaikan karena adanya halangan yang datangnya bukan dari diri si pelaku.
Bahwa dengan dimulainya suatu tindak pidana berarti bahwa pelanggaran atas ketentuan-ketentuan pidana telah dimulai pula. Contohnya saja pelanggaran terhadap pencurian sebagaimana dimaksud dalam pasal 362 KUHP yang memberi ancaman 5(lima) tahun maximum, namun karena perbuatan pencurian tersebut belum selesai dilaksanakan, sehingga dipergunakanlah sebagai alasan untuk mengurangi ancaman maximum itu dengan sepertiganya menjadi kurang lebih 3,4 (tiga tahun empat bulan)