September 2014 - Feel in Bali

Sunday, September 28, 2014

September 28, 2014

Penjelasan tentang Teori Patrimonial

Penjelasan tentang Teori Patrimonial

Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang artinya hak milik. Karena raja mempunyai hak milik terhadap daerahnya, maka dari itu semua penduduk yang ada di daerahnya harus tunduk kepada raja. Contohnya pada abad pertengahan hk untuk memerintah dan menguasai timbul dari pemilikan tanah. Dalam kedan perang sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja menerima bantuan dari kaum bangsawan untuk mempertahankan negaranya dari musuh yang datang dari luar. Jika perang sudah berakhir dengan kemenangan sang raja, sebagai hadiah tanda jasa para bangsawan yang ikut membela dan membantunya mendapat sebidang tanah sebagai hadiah.
Dengan pemberiannya itu kepada para bangsawan, maka semua hak atas tanah itu berpindah kepada para bangsawan, seingga para bangsawan mendapatkan hak untuk memerintah (overheidsrechten) terhadap tanah yang ada diatas tanah itu. Di Indonesia keadaan-keadaan semacam ini dapat kita lihat pada tanah-tanah partikelir. Tanah ini ada pada zaman Raffes. Daendles menjual tanah-tanah tersebut pada orang-orang  partikelir dengan maksud  mendapatkan uang untuk membiayai angakatan perangnya. Jadi sama dengan keadaan zaman abad pertengahan di Eropa. Di Indonesia, pemerintah VOC memperjual belikan tanah Indonesia kepada orang-orang partikelir, sehingga hak atas tanah dari pemerintah VOC beralih kepada orang-orang partikelir yang menimbulkan tuan-tuan tanah. Tauan-tuan tanah juga memiliki hak untuk memerintah  terhadap penduduk yang ada di tanahnya, yang berupa hak-hak biasa. Hak-hak biasa itu terdiri atas :
1.      Hak untuk mengangkat kepala desa
2.      Hak untuk memungut pajak
3.      Hak untuk mengerahkan tenaga rakyat, misalnya membuat jembatan, jalan dsb.


Sumber : Latihan Ujian Hukum Tata Negara di Indonesia (drs.C.S.T. Kansil S.H dan Chistine S.T. Kansil,S.H., M.H.)


September 28, 2014

Perbedaan Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara

Perbedaan Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara

Ilmu negara menganggap negara sebagai objek penyelidikannya, meliputi pertumbuhan, sifat hakikat dan bentuk-bentuk negara. Hukum tata negara juga menganggap negara sebagai objeknya, terutama tentang hubungan antara alat-alat perlengkapan negara.
Dalam ilmu negara, pembehasannya menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat umum dengan menganggap negara sebagai genus (bentuk umum ) mengesampingkan /mengabaikan sifat-sifat khusus dari negara- negara.
Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara adalah Ilmu Negara membehasa teori-teori yang umum mengesampingkan sifat-sifat khusus negara sedangkan Hukum Tata Negara (positif) menyelidiki /membehas suatu system Hukum Tata Negara Indonesia, Hukum Tata Negara Inggris, Hukum Tata Negara Belanda dsb, dengan memperhatikan sifat-sitfat khusus dari negara-negara tersebut.
Hukum Tata Negara Menguraikan pertumbuhan, Perkembangan dan susunan suatu system alat-alat perlengkapan negara tertentu sedangkan Ilmu Negara mencurahkan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat menyeluruh yaitu berupa pengertian pokok atau sendi pokok.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ilmu Negara memberikan dasar-dasar teoritis kepada Hukum Tata Negara Positif. Dan Hukum Tata Negara merupakan kongkretisasi  dari teori-teori Ilmu negara atau dengan kata lain Hukum Tata Negara lebih bersifat praktis, sedangkan Ilmu Negara lebih bersifat teoritis.
Jadi, seseorang yang hendak mempelajari Hukum Tata Negara Positif harus mempelajari terlebih dahulu Ilmu Negara. Oleh karena itu Ilmu Negara dikatakan sebagai Ilmu Pengantar untuk mempelajari Hukum Tata Negara.


Sumber : Latihan Ujian Hukum Tata Negara di Indonesia (drs.C.S.T. Kansil S.H dan Chistine S.T. Kansil,S.H., M.H.)



September 28, 2014

Hal yang membuat hukum mempunyai kedudukan yang kuat

Hal yang membuat hukum mempunyai kedudukan yang kuat

Secara umum hukum akan jauh lebih kuat kedudukannya apabila tidak bertentangan dengan kebiasaan, kepercayaan atau tradisi daripada rakyat.
Masyarakat yang terdiri dari golongan yang beraneka ragam, mereka mungkin setuju ataupun tidak setuju dengan politik-politik yang dianut oleh suatu pemerintah tertentu, tetapi karena pemerintah tidak mengganggu keyakina mereka dan tidak pula menekan pendapat mereka, maka mereka masih dapat menyetujui jiwa daripada peraturan perundangan yang diadakan negara.



Sumber : Latihan Ujian Hukum Tata Negara di Indonesia (drs.C.S.T. Kansil S.H dan Chistine S.T. Kansil,S.H., M.H.)


Tuesday, September 23, 2014

September 23, 2014

Apakah perkawinan beda agama bisa dikatakan sah?

Apakah perkawinan beda agama bisa dikatakan sah?

Sebelum kita mengeinjak dalam pokok masalah alangkah baiknya saya menjabarkan tentang perkawinan beda agama antaralainpembahasannya yaitu:

A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:

1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.

Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.

Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.

Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.

Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.

Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.


B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.

Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.

Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.

II.2. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama

Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.

Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.

Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.

Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.

Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.

Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.

Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.

Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.

Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.

Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.

Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.

Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
 Jadi perkawinan beda agama tidak bisa dikatakan sah

II.3. Bagaimana cara sahnya perkawinan beda agama di Indonesia

Jika membahas tentang masalah tentang itu kita bisa meninjau di dalam pasal 56 UU. No. 1 Tahun 1974. Yaitu
(1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.
Jadi Warga Negara Indonesia  bisa dikatakan sah dengan perbedaan agama asalkan dia melangsungkan pernikahan di luar negeri seperti contoh Negara AUSTRALIA dan AMERIKA SERIKAT yang dimana Negara tersebut memperbolehkan perkawinan beda Agama, tetapi walaupun bisa dikatakan sah ketika mereka kembali ke Indonesia mereka harus bersetatus satu agama, jadi memang benar perkawinan beda agama selama UU ini berlaku dinyatakan TIDAK SAH SECARA HUKUM


Sunday, September 21, 2014

September 21, 2014

Peradilan Administrasi

Peradilan Administrasi

Kompetensi (kekuasaan) hakim administrasi

Yurisprudensi Indonesia tentang pembagian kompetensi antara hakim biasa dan hakim administrasi negara mengikuti yurisprudensi Belanda tentang pembagian semacam ini di negeri belanda. UUD memuat pasal 24 ayat 1 yang berbunyi : “kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan Kehakiman menurut Undang-Undang”. Apakah UUD tidak mengenal pengadilan administrasi negara dalam tangan badan-badan yang biasanya diserahi kekuasaan eksekutif ?
Mr. Wirjono Prodjodikoro membetangkan empat kemungkinan mengenai pembagian kompetensi antara hakim biasa dan hakm administrasi negara dihari kemudian oleh karena pasal 108 UUD membuka dua macam kemungkinan, maka diberikan kesempatan kepada Pembentuk undang-undang untuk menempuh salah satu dari empat jalan, yaitu ke-1 menentukan, bahwa segala perkara tatausaha pemerintahan secara peraturan umum diserahkan kepada pengadilan perdata, ke-2 menentukan bagi suatu macam soal sengketa tertentu, bahwa putusannya diserahkan kepada suatu badan pemutus, bukan pengadilan perdata, yang dibentuk secara istimewa. Jalan pertama pernah dicantumkan dalam suatu peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu dalam undang-undang RI tahun 1948 Nr 19 pasal 66. Tetapi undang-undang ini tidak pernah dijadikan berlaku. Sebenarnya, undang-undang mengenai peradilan administrasi yang baru ini hanya mengatur kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan tinggi tata usaha negara dan mahkamah agung dalam sistim organisasi dan acara pengadilan adminsitrasi negara, organisasi pengadilan tata usaha negara, dan hukum acara yang harus diperhatikan. Seluruh peradilan administrasi negara ditempatkan dibawah pengawasan mahkamah agung, sehingga di hari kemudian yurisprudensi hukum administrasi negara dapat mendekati penyelesaian pertama.

Perbuatan pemerintah yang tidak layak.
Diluar pengadilan tata usaha negara, maka negara, yaitu pemerintah yang bersangkutan, dapat juga digugat menurut hukum dimuka hakim biasa. Sejak akhir abad ke-19 tidak lagi diterima teori kedaulatan negara, yang hendak melihat negara sebagai sesuatu yang diatas hukum. Sekarang telah umum diterima azas yang mengatakan bahwa juga negarapun dibawah hukum. Azas tersebut, antara lain, akibat dari suatu teori yang terkenal dengan nama teori kedaulatan hukum, yang pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ini telah dibentangkan oleh beberapa ahli hukum terkena. Oleh karena hukum ada diatas segala organisasi, maka juga negarapun dapat digugat dimuka pengadilan biasa apabila telah melanggar peraturan hukum atau merugikan kepentingan salahsatu orang yang ada dibawah lingkungan kekuasaannya. Tetapi biarpun ada pengakuan hukum diatas negara, masih juga pemerintah tidak dapat digugat dengan begitu saja. Negara adalah organisasi yang mempunyai kedudukan istimewa, negara adalah organisasi yang mempertahankan dan menyelenggarakan kekuasaan tertinggi dalam masyarakat.
Dalam keputusan-keputusan yang disebut terakhir kelihatan suatu kecendrungan untuk mendasarkan segala pembelaan tindakan-tindakan pemerintah, atau membenarkan segala tindakan-tindakan pemerintah, atas kepentingan negara. Memang, dalam suatu negeri yang sedang berkembang, seperti Indonesia, dalam waktu pengalihan diperlukan suatu eksekutif saja unsur-unsur demokrasi tidak boleh dilupakan dan negara harus tetap berfungsi sebagai suatu negara hukum.  



September 21, 2014

Milik Negara dan Milik Publik

Milik Negara dan Milik Publik
Menurut Proudhon, yang termasuk kepunyaan privat ialah benda-benda kepunyaan negara, seperti tanah (sawah, kebon kopi,kebon karet), rumah dinas bagi pegawai, gedung perusahaan negara. Hukum yang mengatur kepunyaan privat ini sama sekali tidak berbeda dari hukum yang mengatur kepunyaan perdata biasa, yaitu hukum yang mengatur dalam Code Civil Perancis (yang di Indonesia tercantum dalam pasal-pasal KUHPerdata). Yang termasuk kepunyaan publik adalah segala benda yang disediakan (oleh pemerintah) untuk dipakai oleh (pergaulan) umum, seperti jalan umum, jembatan, pelabuhan, dsb. Menurut beberapa pengarang lain maka yang termasuk kepunyan publik ialah segala benda yang secara langsung dipakai untuk menyelenggarakan kepentingan umum, seperti gedung-gedung departemen, gedung-gedung pengadilan, gedung-gedung sekolah negeri. Tetapi kedudukan hukum dari kepunyaan publik itu sama sekali tidak dibawah hukum yang mengatur kepunyaan perdata biasa, melainkan kepunyaan publik itu diatur peraturan-peraturan hukum sendiri, benda-benda yang termasuk kepunyaan publik itu mempunyai suatu kedudukan hukum sendiri. Hukum yang mengatur kedudukan benda-benda tersebut bukanlah hukum yang mengatur “propriete”dalam code civil perancis, tetapi suatu hukum sendiri yang dapat disebut hukum “domiane public”. Tentang isi kedudukan hukum dari benda-benda yang termasuk kepunyaan publik itu, dikemukakan beberapa pendapat yang tidak sama.



Bali is a beautiful island and have a lot of unique culture. Your tour will be really fun, enjoyable and get Cheap Bali Tour Packages with number one service for your trip. Here you can choice your Bali private tour our Bali Tour package, Bali Traditional tours, Bali Spa, etc with cheap price, but good service with profesional, and friendly. Fear of tour travel agents who give bad service and making you lose money and effort? fear of bad, evil travel tour agent who will harm you?  CLICK HERE to Book It Now
September 21, 2014

Bentuk-Bentuk Perbuatan-Perbuatan Pemerintahan

Bentuk-Bentuk Perbuatan-Perbuatan Pemerintahan

Bermacam-macam perbuatan administrasi negara

Perbuatan administrasi negara dapat digolongkan menjadi 2 kategori yaitu : kategori perbuatan hukum (rechtshandelingen) dan kategori perbuatan yang bukan perbuatan hukum atau perbuatan tanpa akibat yang diatur oleh hukum (geen rechts tapi hanya feitelijke handelingen).
Berdasarkan sistemnya hukum itu dibagi dalam dua golongan yaitu : privat dan publik. Pernuatan hukum publik ada 2 macam yaitu :
1. perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling). Jadi menurut mereka tidak ada perjanjian (overeenkomst) yang diatur oleh hukum publik, perjanjian itu suatu perbuatan bersegi dua karena diadakan oleh 2 kehendak. Maka dari itu perjanjian dalam hukum publik tidak ada.karena dalam hubungan yang diatur oleh hukum publik hanya satu pihak saja yang secara sukarela dapat menentukan kehendaknya yaitu kehendak pemerintah.
Perbuatan Hukum disebut juga “Beschiking” dalam bahasa indonesia sering dipakai istilah “ketetapan”. Tujuannya menyeleanggrakan hubungan-hubungan dalam lingkungan alat negara (staatsorgaan) yang membuat ketetapan-ketetapan intern, maupun menyelanggarakan hubungan-hubungan antara alat negara yang membuatnya dengan seorang partikelir atau badan privat atau antara dua atau lebih alat negara ketetapan ekstern.
2. Perbuatan hukum publik yang bersegi dua ( tweezijdige publiekrechtelijke handeling). Tokoh-tokohnya : Van der Pot, Van Praag, Kranenburg-Vegting, Wiarda, Donner, yang menerima adanya perbuatan hukum publik bersegi 2, perjanjian menurut hukum publik. Contohna perjanjian kerja jangka pendek (korteverband contract).

Peraturan dan ketetapan, Dekrit presiden tertanggal 5 juli 1959, penetapan Presiden dan Ketetapan MPRS dan MPR.
Agar dapat menjalankan tugasnya meka disamping ketetapan itu, administrasi negara dapat membuat peraturan (uu dalam arti materiil). Menurut UUD, maka kekuasaan administrasi negara membuat peraturan pemerintah terdapat dalam kekuasaan pemerintah membuat peraturan pemerintah pengganti UU (pasal 22),  berdasarkan delegasi perundang-undangan kepada presiden (juga sebagai mandataris MPR), berdasarkan delegasi perundang-undangan dari uu kepada pemerintah. Dalam praktek AN, bagian terbesar dari kekuasaan membuat peraturan yang didelegasi kepada pemerintah itu diserahkan terus kepada ahli pemerintahan, yakni kepada kepala jawatan, kepala bagian, kepala direksi, bahkan kepada badan yang tidak termasuk kalangan administrasi negara (badan partikelir yang diberi kekuasaan memerintah) (delegasi istimewa). Agar dapat menjalankan tugasnya dengqan sebaik-baiknya, maka pemerintah melakukan dekonsentrasi dan desentralisasi.
Jika kita memperhatikan isi dekrit presiden 5 juli 1959 yaitu : menetapkan pembubaran badan konstituante; menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mulai dari tanggal penetapan tersebut. Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan DPAS (dewan pertimbangan agung sementara), akan dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Maka ternyatalah bahwa dekrit presiden 5 juli 1959 itu yang mneyelesaikan suatu hal konkrit yang telah diketahui terlebih dahulu oleh pembuatnya yang menjadi administrator tertinggi, adalah suat ketetapan Verwaltungsakt, pada tingkat tertinggi (jadi bukan peraturan), karena mamuat anasir-anasir suatu ambtelijke bestuurshandeling, waardoor eenzijdig en opzettelijk in een  bepaald gevsal een bestaande rechtsverhouding of rechtstoestand wordt vast gesteld of ccen nieuwe rechtsverhouding of rechtstoestand in het leven wordt geroepen dan wel het een of ander wordt geweigerd (definisi Donner). Dasar dikeluarkannya dekrit presiden 5 juli 1959 adalah keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa serta merintangi pembangunan semesta untukmencapai masyarakat yang adil dan makmur (normative Kraft de faktischen – Jellinek).
Untuk mengatur (melaksanakan) dalam garis-garis besar keadaan hukum (dan politik) yang dilahirkan oleh dekrit presiden 5 juli 1959, pada tahun yang sama diundangkan 7 penetapan presiden (penPres) yang bersifat peraturan, uu dalam artin materiil (jadi bukan ketetapan) dengan dasar hukumnya pasal 3 jo pasal IV aturan peralihan UUD.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan adalah ketetapan sah (voorwaarde voor de rechtsgeldigheld der beschikking)
Ketetapan dibagi dalam dua macam yaitu :
1. ketetapan sah (rechtsgeldige beschikking)
2. ketetapan tidak sah (niet-rechtsgeldige beschikking). Ketetapan yang tidak sah dapat berupa :


  • ketetapan yang batal karena hukum (nietig van rechtswege) merupakan akibat sesuatu perbuatan, untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada/dihapuskan tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibat itu.
  • ketetapan yang batal (nietig, juga : batal absolut,absoluut nietig), merupakan suatu akibat suatu perbuatan yang oleh hakim dibatalkan karena mengandung kekurangan.
  • ketetapan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar),meruapakan bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berwenang,pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut mengandung kekurangan.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan adalah ketetapan yang sah
Donner mengemukakan bahwa kekurangan dalam ketetapan dapat mengakibatkan bahwa :

  1. ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali
  2. berlakunya ketetapan itu dapat digugat dalam bandingan (beroep), pembatalan oleh jabatan (ambthasalve vernietiging) karena bertentangan dengan undang-undang, penarikan kembali ( interekking) oleh kekuasaan yang berwenang (competent) mengeluarkan ketetapan tersebut.
  3. dalam hal ketetapan tersebut sebelum dapat berlaku memerlukan persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi
  4. ketetapan diberi suatu tujuan lain daripada tujuan permulaannya (konversi,conversie)

Prof.Van der Pot menyebut4 syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan sah yaitu :

  1. ketetapan harus dibuat oleh alat (orgaan) yang berwenang (bevoegd) membuatnya.
  2. karena ketetapan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming)
  3. ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus  juga memperhatikan cara (procedure) membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
  4. isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.

Dalam pembentukan kehendak dari alat negara yang mengeluarkan suatu ketetapan, tidak boleh ada kekurangan yuridis ,kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak alat negara yang mengeluarkan suatu ketetapandapat disebabkan oleh karena :

  • salah kira (dwaling) berarti bilamana seseorang (subjek hukum) menghendaki suatu dan membuat suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu tapi kehendak tersebut didasrkan atas suatu bayangan (voorstelling) (tentang suatu hal) yang salah
  • paksaan (dwang)
  • tipuan (bedrog).

Salah kira terjadi bilamana seseorang (subyek hukum) menghendaki sesuatu dan mengadakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak itu didasarkan atas suatu bayangan (tentang suatu hal) yang salah. Bayangan yang salah itu mengenai pokok maksud pembuat – salah kira mengenai pokok maksud pembuat,atau mengenai (kedudukan atau kecakapan keahlian) seseorang (subyek hukum) – salah kira mngenai orang (subyek hukum), atau menenai hak orang lain – atau mengenai suatu hukum – atau mengenai kekuasaan sendiri. Dalam ilm hukum privat dibuat 3 teori untuk menyelesaikan akibat suatu perbuatan yang diadakan berdasarkan salah-kira tidak sungguh-sungguh, yaitu : teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan. Kami menyetujui teori kepercayaan tapi dengan mendekati teori kehendak.
Paksaan. Yang dimaksud disini adalah paksaan biasa bukan paksaan keras. Akibat daeri paksaan keras yaitu dapat menjadi batal mutlak karena pihak yang dipaksa sama sekali tidak ada suatu kehendak. Sedangkan akibat dari paksaan biasa adalah dapat dibatalkan karena pihak yang dipaksa ada suatu kehendak walaupun pembentukan kehendak itu dipengaruhi oleh suatu ancaman. Menurut ayat (2) pasal 1324 KUH Perdata, dalam pembatalan suatu perbuatan yang dilakukan dengan paksaan hakim harus memperhatikan umur, jenis kelamin, dan kedudukan sosial dari yang dipaksa.
Tipuan terjadi bilamana yang mengadakan perbuatan menggunakan beberapa muslihat sehingga pada pihak lain ditimbulkan suatu bayangan palsu tentang suatu hal. Agar ada tipuan diperlukan beberapa muslihat, karena satu bohong belum menjadi tipuan. Akibat dari perbuatan ini adalah dpat dibatalkan atau dibatalkan mutlak.
Pembatalan suatu ketetapan yang dibuat berdasarkan salah kira mengenai orang hanya dapat dituntut oleh orang yang mengalami kerugian. Namun pembatalan itu tetap harus dilakukan dalam suatu jangka tertentu, misalnya jangka satu bulan setelah ketetapan itu dibuat. Tidak setiap ketetapan yang dibuat berdasarkan salah kira mengenai pokok maksud pembuatannya adalah batal. Jadi yang disebabkan salah kira itu dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan hanya dalam hal salah kira tersebut betentangan dengan UU atau dengan kejadian-kejadian yang benar-benar ada (feiten).
Paksaan dapat menjadi sebab maka ketetapan dapat dibatalkan, paksaan keras dpat menjadi sebab maka ketetapan itu batal karena hukum. Dalam hal ada paksaan, maka dapat dikatakan bahwa pihak yang dipaksa masih ada kehendak, sedangkan dalam paksaan keras, maka dapat dikatakan bahwa pihak yang dipaksa tidak memiliki suatu kehendak.
Ketetapan yang digunakan dengan menggunakan muslihat.
Ketetapan hanya batal (atau diabatalkan) jika sifat tipuan begitu rupa sehingga dapat dikatakan bahwa dengan tidak menggunakan muslihat itu sudah tentu ketetapan tidak dibuat. Dalam hal ini ada kekurangan yang “essentieel”. Kekurangan yang disebabkan dengan tipuan itu dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan hanya dalam hal tipuan tersebut bertentangan dengan UU atau dengan kejadian yang benar ada.
Ketetapan harus diberi bentuk yajg ditetapkan dalam UU yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan peraturan-peraturan mengenai cara pembuatannya.
Bentuk ketetapan itu ada 2 macam :
a. Ketetapan dikeluarkan secara lisan (mondelinge beschikking)
b. Ketetapan dikeluarkan secara tertulis (schriftelijke atau geschreven beschikking)
Secara umum ada 2 hal mengapa ketetapan dikeluarkan secara lisan:
1. Dalam hal yang tidak membawa akibat kekal dan yang tidak begitu penting bagi administrasi negara, sehingga tidak diperlukan suatu ketetapan tertulis.
2. Dalam hal bilamana oleh yang mengeluarkan suatu ketetapan dikehendaki suatu akibat yang timbul dengan segera.
Bentuk tertulis suatu ketetapan itu ada bermacam-macam yang dikarenakan ada bermacam-macam alat negara yang membuat ketetapan. Pembuatan suatu keetapan juga harus memperhatikan peraturan-peraturan yang menunjuk cara (prosedur) pembuatan ketetapan itu. Demikianjuga dengan menalankan ketetapan itu harus memperhatikan cara menjalankan ketetapan itu. Masing-masing ketetapan hanya jika dianggap perlu menurut peraturan untuk ditempatkan dalam suatu berita warta pemerintah atau dalam surat kabar yang terkenal agar isinya dapat dibaca oleh yang bersangkutan. Ketetapan yang berbentuk UU diundangkan dalam lembaran negara, ketetapan yang dibuat penguasa pemerintah pusat yang lain diberitahukan dalam berita negara.
Ketetapan yang isi dan tujuannya tidak sesuai dengan isi dan tujuan dari peraturan yang menjadi dasar ketetapan itu.
Syarat ini adalah suatu jenis yang harus dipenuhi dalam negara hukum. Syarat legalitet ini adalah salah satu tiang negara hukum. Oleh Kranenburg-Vegting menyebut 4 macam hal suatu alat negara memberi kepada ketetapan suatu isi yang menurut peraturan yang bersangkutan sebenarnya tiak dapat diberi kepada ketetapan itu :

  • Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi peristiwa hukum atas peristiwa yang bukan peristiwa hukum yang menurut peraturan yang bersangkutan harus ada agar ketetapan itu dapat dibuat, sekali-kali tidak ada. Dalam hal demikian, alasan untuk membuat ketetapan itu sebenarnya tidak ada.
  • Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi peristiwa yang disebut dalam ketetapan itu dan yang menurut peraturan yang bersangkutan adalah benar, sebetulnya alasan-alasan bagi pembuatan suatu ketetapan lain dari yang telah dibuat. Dalam hal demikian suatu alasan salah.
  • Suatu alat negara membuat ketetapan yang menurut peraturan yang bersangkutan adalah benar, tetapi peristiwa-peristiwa yang disebut sebetulnya tidak dapat menjadi alasannya. Dalam hal demikian dibuat suatu ketetapan berdasarkan alasan-alasan yang tidak dapat dipakai.
  • Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi alat negara itu tidak mempergunakan kekuasaannya secara resmi sesuai dengan tujuannya yang telah diberi oleh peraturan yang bersangkutan kepada kekuasaan itu. Dlam hal demikian alat negara yang membbuat ketetapan, mempergunakan kekuasaannya secara tidak sesuai dengan tujuan kekuasaannya itu, dan salah menggunakan kekuasaan itu diberi nama istimewa dari bahasa perancis yaitu “detournement de douvoir”.

Detournement de douvoir terjadi bilamana suatu alat negara menggunakan kekuasaannya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum yang lainn dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar kekuasaan itu. Dan ini bukan suatu gejala yang hanya terdapat dalam lapangan membuat ketetapan, melainkan gejala yang dalam seluruh lapangan pemerintahan dalam arti luas juga dalam lapangan perundang-undangan dan dalam lapangan peradilan. “Detournement de douvoir” dapat diterjemahkan sebagai “pemindahan kekuasaan”.
Perlu ditegaskan disini bahwa Detournement de douvoir  sering menjadi akibat suatu “freies Ermessen” yag disalah gunakan. Dalam ilmu HAN telah ditimbulkan suatu perselisihan paham tentang jawaban atas pertanyaan : dapat kah suatu “detournement de douvoir” dianggap suatu perbuatan yang bertentangan dengan UU (hukum) ?
Jawaban dari pertanyaan ini penting karena suatu perbuatan AN yang merugikan individu dapat dibatalkan berdasarkan 2 macam alasan : a) Karena bertentangan dengan hukum. b) karena bertentangan dengan kepentingan umum dan hanya alasan ada mengijinkan hakim memberi pertolongan kepada yang dirugikan oleh suatu perbuatan AN. Di Belanda maupun di Indonesia sendiri diterima asas bahwa pertimbangan bertentangan tidaknya dengan kepentingan umum suatu perbuatan AN tidak dapat diserahkan kepada hakim tetapi tetap tinggal dalam tangan AN sendiri. Sudah tentu pertimbangan bijaksana tidaknya suatu tindakan AN tidak dapat diserahkan kepada hakim, karena hakim tidak duduk diatas kursi legislatif maupun eksekutif. Jadi dalam hal tidqak dapat dibuktikan bahwa tindakan pemerintah itu bertentangan dengan hukum, maka yang dirugikan oleh tindakan tersebut tidak dapat mengenyam manfaatnya pekerjaan hakim biasa.
Oleh Mr. H. Vos dikemukakan bahwa bilamana ditinjau dari sudut batas kekuasaan formil yang diberi oleh UU kepada AN, formil “detournement de douvoir” itu bukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan UU, oleh karena ketika AN mengadakannya, maka AN negara (formil) tidak bertindak diluar batas tertentu, sedangkan bilamana ditinjau dari sudut maksud pembuat UU ketika memberi kekuasaan itu kepada AN, maka “detournement de douvoir”  itu sudah tentu suatu perbuatan bertentangan dengan UU. Maka dari itu menurut pendapat Vos, “detournement de douvoir” tersebut tidak dapat dibantah menggunakan alasan : bertentangan dengan kepentingan umum seperti yang menjadi kebiasaan dalam praktek AN, melainkan harus dibantah dengan mengguakan alasan : bertentangan dengan UU. Jadi pertimbagan ada tidaknya “detournement de douvoir” termasuk kompetentsi hakim biasa. Setahu kami sampai saat ini di Indonesia dalam perundang-undangan, “detournement de douvoir” itu menurut hukum administrasi negara belum diakui umum sebagai suatu alasan memohon bandingan atas suatu ketetapan.
Ketetapan yang tdak sah dapat membawa akibat yang bagi hukum tidak pernah ada, jadi kedudukan hukum dari yang bersangkutan dibawa kembali kedalam keadaan semula sebelum ketetapan itu dibuat. Tidak sah ex tunc, yaitu tidak sah juga untuk waktu sebelum pembatalan atau ketetapan yang tidak sah dapat membawa akibat yang bagi hukum ada sampai waktu pembatalan. Jadi, kedudukan hukum dari yang bersangkutan tidak dibawa kembali kedalam keadaan sebelum ketetapan itu dibuat. Tidak sah ex nunc yaitu tidak sah untuk kemudian saja. Suatu pembatalan ex nunc berlaku surut sedangkan suatu pembatalan ex tunc tidak berlaku surut, hanya untuk kemudian saja.
$4. Kekuasaan hukum (rechtskracht) dari ketetapan sah.
Kami dapat menarik kesimpulan bahwa hanya suatu ketetapan yang sah mendapat kekuasaan hukum. sah itu suatu pendapat tentang suatu perbuatan pemerintah, sedangkan kekusaan hukum itu sesuatu mengenai kerjanya. Suatu perbuatan pemerintah dianggap sah bilamana dapat diterima sebagai suatu kesatuan ketertiban hukm, mempunyai kekuasaan hukum, dan dpat mempengaruhi pergaulan umum. Selama ketetapan belum mendapat suatu kekuasaan hukum yang definitif, maka baik pemerintah maupun yang diperintah selalu ada keragu-raguan. Kita membedakan 2 pengertian “kekuasaan hukum”, yaitu :
a. Kekuasaan hukum formil (formale rechtskracht)
b. Kekuasaan hukum materiil (materiele rechtskracht)

Yang dimaksud kekuasaan hukum formil adalah pengaruh yang dapat diadakan oelh karena adanya ketetapan itu. Suatu ketetapan mempunyai “kekuasaan hukum formil” bielaman ketetapan itu tidak lagi dibantah oleh suatu alat-hukum (rechtsmiddel). Dalam hal demikian ketetapan itu sah.
Bagi yang dikenai suatu ketetapan, maka keteteapan itu mempunyai kekuasaan hukum formil mutlak. Kranenburg-Vegting menyebut 4 alat-hukum yang dapat digunakan oleh yang dkenai suatu ketetapan untuk membantah ketetapan itu :

  • Yang dikenai suatu ketetapan dapat memohon pembatalan ketetapan itu, yaitu dalam hal kemungkinan untuk memohon bandingan diberi kepadanya.
  • Yang dikenai ketetapan dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah supaya ketetapa itu dibatalkan.
  • Yang dikenai ketetapan itu dapat mengajukan persoalannya kepada hakim biasa sehingga ketetapan itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum.
  • Yang dikenai ketetapan tidak menyelenggarakan apa yang dicantumkan dalam ketetapan itu, dan setelah perkara yang bersangkutan dibawa kemuka hakim, maka diusahakannya supaya hakim itu menyatakan ketetapan itu batal karena bertentanga dengan hukum.

Kekuasaan hakim yang wajib memberi keputusan dalam suatu peselisihan antara pemerintah dengan dikenai suatu ketetapan yang dibuat pemerintah itu, dibatasi 2 hal, yaitu : a) hakim tidak boleh mempertimbangakan kebijaksanaan pemerintah dan b) hakim tidak dapat membatalkan secara langsung suatu ketetapan. Hakim hanya menentukan bertentangan tidaknya dengan hukum dari ketetapan itu dan selanjutnya menentukan besarnya keganti-rugian yang harus dibayar oelh pemerintah kepada yang mendapat kerugian ketetapan itu. Hakim tidak dapat membatalkan ketetapan itu, palingbanyak dikatakannya bahwa ketetapan itu tidak mengikat. Jadi hakim hanya dapat menentukan bertentangan tidaknya dengan hukum suatu ketetapan.  Kewajiban hakim yang kami baca dari kutipan tersebut adalah juga kewajiban alat-alat negara lain yang berkuasa mempertimbangkan sah tidak nya suatu ketetapan. Jadi, belum tentulah suatu ketetapan yang mengandung kekurangan adalah ketetapan yang tidak dapat diterima sebagai ketetapan sah. Apalagi dalam suasana revolusi Indonesia yang sedang berjalan, suatu alam pikiran yang terlalu legalistis tidaklah pada tempatnya, dan mempersulit jalan lancarnya revolusi.
Muncul pertanyaa, dapat kah hakim menguji peraturan yang menjadi dasar ketetapan yang telah diserahkan kepada pertimbangannya ? menurut pendapat kami, maka hakim dapat menguji secara materiil maupun formil tiap peraturan yang menjadi dasar ketetapan.
Yang dimaksud kekuasaan hukum materiil ialah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi ketetapan itu.  Suatu ketetapan mempunyai kekuasaan hukum materiil bilamana ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya. Dapat kah kekuasaan hukum materiil suatu ketetapan dibantah ? donner beranggapan bahwa jika perlu pada asasnya tiap ketetapann dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya. Oleh karena ketetapan itu suatu perbuatan hukum pemerintah bersegi satu, maka ketetapan itu dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya dengan tidak perlu ada persetujuan dari yang dikenainya. Maka alat negara yang mambuat suatu ketetapan mempunyai suatu kemerdekaan penuh untuk kemudian menarik kembali ketetapan itu bila perlu.
Oleh Kranenburg-Vegting diragukan apakah asas “tiap ketetapan dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya apabila perlu itu benar”. Juga alasan donner  mengenai kemerdekaan menarik kembali yaitu oleh karena ketetapan adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi satu itulah kurang tepat. Yang menjadi alasan menarik kembali suatu ketetapan ialah sifat dan corak akibat hukum yang ditimbulkan oleh isi ketetapan itu dan yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Bukankah ada perjanjian yang dapat diakhiri oleh kehendak suatu pihak saja ? rupanya kecaman Kranenburg-Vigting tadi merubah pendapat donner yang semula.
Prins dapat menyetujui kemerdekaan menarik kembali suatu ketetapan oelh alat negara yang membuat ketetapan itu, teteapi kemerdekaan tersebut harus sesuai dengan kepercayaan baik yang seharusnya ada antara pihak suatu pergaulan hukum. pemerintah, yaitu pemerintah suatu negara hukum tidak dapat menarik kembali suatu ketetapan, bilamana menarik kembali itu sungguh-sungguh tidak perlu. Menurut prins mengenai kemerdekaan menarik kembali ketetapan yang telah dibuat harus memperhatikan 6 buah asas :

  1. Suatu ketetapan yang dibuat karena yang berkepentingan mengguhnakan tipuan, senantiasa dapat ditiadakan.
  2. Suatu ketetapan yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan, jadi suatu ketetapan yang belum menjadi suatu perbuatan yang sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum dapat ditiadakan.
  3. Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dan yang diberi kepada yang dikenai itu dengan beberapa syarat tertentu, dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan itu.
  4. Suatu ketetapan yang  bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh ditarik kembali setelah suatu jangka tertentu lewat bilamana oleh karena menarik kembali tersebut, suatu keadaan yang layak dibawah kekuasaan ketetapan yang bermanfaat itu menjadi keadaan yang tidak layak.
  5. Oleh karena suatu ketetapan yang tidak benar, diadakan suatu keadaan yang tidak layak. Keadaan ini tidak boleh ditiadakan, bilamana menarik kembali ketetapan yang bersangkutan membawa kepada yang dikenainya suatu kerugian yang sangat lebih besar dari pada kerugian yang oleh negara diderita karena keadaan yang tidak layak tersebut.
  6. Menarik kembali atau mengubah suatu ketetapan, harus diadakan menurut acara yang sama sebagai yang ditentukan bagi membuat ketetapan itu.

Kami menyetujui anggapan prins itu. Oleh donner dikemukakan suatu pembagian ketetapan dalam ketetapan yang menyatakan hukum (menyatakan mana yang menjadi hukum mana yang tidak) (rechtvastellende beschikking) dan ketetapan yang membuat hukum (rechtschenpende beschikking).
Menurut pendapat kami maka hak-hak yang telah diperoleh hanya dapat dijalankan engan keadaan sungguh-sungguh dalam pergaulan sosial. Jadi, bilamana keadaan sungguh-sungguh didalam suatu pergaulan sosial telah diubah, maka dengan sendirinya hak-hak yang telah diperoleh tetapi tidak sesuai dengan keadaan sungguh-sungguh itu harus dicabut kembali. Hal ini sesuai denan alam revolusi, revolusi indonesia yang sedang berjalan.
Kekuasaan hukum materiil dari bermacam-macam ketetapan itu tidak sama kuatnya. Beberapa macam ketetapan mempunyai suatu kekuasaan hukum materiil yang sangat kuat, sedangkan beberapa macam ketetapan yang lain mempunyai suatu kekuasaan hukum materiil yang sangat kecil saja. Beberapa macam ketetapan tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya. Termasuk golongan ketetapan ini a.l. surat pengesahan dan surat kuasa. Setelah surat-surat tersebut diberi kepada yang bersangkutan maka tugas dan kekuasaan alat negara yang membuatnya berakhir. Suatu alat negara yang lain dapat membatalkan surat-surat tersebut. Oelh prins dikemukakan bahwa suatu surat pengesahan atau surat kuasa dapat dimasukkan kedalam golongan ketetapan yang tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya, apabila tugas dari alat-alat negara yang membuatnya tidak lain dari pada hanya menyatakan pelaksanaanya suatu keputusan yang telah diadakan oleh suatu alat negara ;lain. Dalam hal demikian alat negara yang membuat suratpengesahan yang bersangkutan tidak bertanggungjawab atas isinya. Yang bertanggung jawab adalah alat negara yang membuat keputusan utama. Apabila tugas dari alat negara yang membuat suatu surat pengesahan lebih luas dari pada hanya menyatakan pelaksanaannya, maka surat pengesahan itu bukanlah ketetapan yang tidak dapat ditarik kembali karena sifat nya.
Kata Donner, maka yang juga termasuk golongan ketetapan yang tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya ialah ketetapan “eenmalig” dan ketetapan yang “photografisch”. Dalam pembuatan suatu ketetapan yang “photografische”, maka AN mengadakan suatu “momentopname” yaitu keadaan pada waktu AN hendak membuat ketetapan itu semata-mata menjadi alasan untuk pembuatannya. Kata prins, maka ketetapan yang “photografische” itu tidak karena sifatnya tidak lagi dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya. Sebagai suatu ketetapan yang sungguh-sungguh tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya, oleh prins disebut “hypotheek-verklaring” yang kita jumpai dalam pergaulan pajak.

Macam ketetapan
Ada beberapa macam golongan, yaitu :

  1. Ketetapan positif dan ketetapan negatif. Suatu ketetapan yang untuk yang dikenainya menimbulkan hak atau/dan kewajiban adalah suatu ketetapan positif. Suatu ketetapan yang baru membatalkan ketetapan yang lama adalah suatu ketetapan positif, karena disini suatu keadaan hukum yang lama diganti dengan yang baru. Suatu ketetapan yang negatif tidak mengadakan perubahan dalam suatu keadaan hukum tertentu yang telah ada. Maka suatu ketetapan yang negatif adalah tiap penolakan atas suatu permohonan untuk mengubah suatu keadaan hukum tertentu yang telah ada.
  2. Ketetapan deklaratur dan ketetapan konstitutif. Oleh prins dikemukakan bahwa ada peraturan yang tidak memerlukan suatu ketetapan agar dapat menyelesaikan suatu soal yang konkrit. Peraturan semacam itu langsungmenyelesaikan tiap-tiap soal konkrit, dan AN tidak beraksi. Ketetapan deklaratur yaitu suatu ketetapan yang hanya menyatakan bahwa yang bersangkutan dapat diberi haknya karena termasuk golongan ketetapan yang menyatakan hukum. ketetapan konstitutif yaitu membuat hukum.
  3. Ketetapan kilat dan ketetapan tetap. Oleh prins disebut 4 macam ketetapan kilat :


  • Suatu ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi suatu ketetapan yang lama.
  • Suatu ketetapan yang negatif. Ketetapan semacam ini hanya memuat suatu keputusan yangbermaksud tidak mengadakan sesuatu, dan ketetapan semacam ini bukan halangan bagi AN untuk pada kemudian hari masih juga bertindak, bila mana keadaan atau pendapat AN itu telah berubah.
  • Suatu menarik kembali atau suatu pembatalan. Seperti suatu ketetapan yang negatif, maka ketetapan semacam ini pun tidak membawa suatu hasil yang positif, dan suatu ketetapan semacam ini pun bukan halangan bagi AN untuk mengadakan suatu ketetapan lain yang sama engan ketetapan yang menarik kembali atau yang dibatalkan itu.
  • Suatu pernyataan pelaksanaan.

4. Dispensasi, ijin, lisensi, dan konsesi
Prof. Van der pot mendefinisikan dispensasi ialah keputusan AN yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu. Bila pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankanya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka keputusan AN yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat ijin. Kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa suatu perbuatan yang penting bagi umum, sebaik-baiknya dapat diadakan oleh suatu subyek hukum pertikelir, tetapi dengan turut campur dari phak pemerintah. Suatu keputusan AN yang memperkenankan yang bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut, memuat suatu konsensi. Lisensi digunakan untuk menyatakan suatu perusahaan satu macam ijin isitimewa.


September 21, 2014

Objek Hukum Adminstrasi Negara

Objek Hukum Adminstrasi Negara


Bidang Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara (hukum pemerintahan) menguji hubungan hukum khusus yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers) (administrasi negara) melakukan tugas mereka yang khusus. Hukum Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur sebagian bidang pekerjaan administrasi negara.
Berdasarkan teori Trias Politica Montesquieu, yang dimaksud dengan administrasi negara ialah gabungan jabatan-jabatan (complex van ambten)“apparaat” (alat) administrasi yang berada dibawah pimpinan pemerintah melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah – fungsi administrasi yang tidak ditugaskan kepada badan pemerintah dari persekutuan hukum yang lebih rendah dan pada negara yang masing-masing diberi kekuasaan untuk berdasarkan inisiatif sendiri memerintah daerahnya.
Pada zaman petengahan (abad ke-4 sampai abad ke-15), yaitu sebelum lahirnya negara modern, di Eropa Barat seluruh pemerintahan dalam arti luas Desentralisasi (dipusatkan) dipusatkan dalam satu tangan : tangan raja, tangan birokrasi. Jadi pada waktu itu raja serentak membuat peraturam,pengeksekutifan menjalankan dan mempertahankan peraturan serta hakim mengadili dalam perselisihan.
Pemerintahan raja yang absolut pada abad ke 16- ke 18 yang masih mengenal suatu kekuasaan pusat dalam tangan raja yang meliputi kekuasaan membuat peraturan serta kekuasaan menjalankan dan mempertahankan peraturan. Namun abad ke 17 dan 18 timbul aliran-aliran yang mengemukakan bahwa dari tangan raja harus diambil kekuasaan membuat peraturan dan kekuasaan itu harus diserahkan kepada suatu badan kenegaraan yang tersendiri dan yang tidak dapat dipenuhi raja yaitu kepada Dewan Perwakilan rakyat, yang dibuat oleh teori John Locke. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi menjadi 3 kekuasaan, yaitu : kekuasaan legislatif (membuat peraturan), eksekutif (mempertahankan peraturan dan mengadili perkara) dan federatif (segala sesuatu yang tidak termasuk bidang kekuasaan). Pengaruh john locke di Ingris tidak begitu besar , tidak seperti pengaruhnya Montesqieu, ia mengemukakan suatu teori dalam bukunya L’Espri des Loisu ialah suatu pemisahan kekuasaan dalam tiga kekuasaan : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Masing-masing kekuasaan itu mempunyai bidang pekerjaan sendiri yang harus dipisahkan satu sama lain, 3 fungsi kekuasaan tersebut dipegang oleh 3 fungsi yang berlainan.
Adapun keberatan terhadap teori dari Montesqiue ,yaitu :

  1. Pemisahan mutlak seperti yang dikemukakan montesqiue mengabkibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak ditempatkan dibawah pengawasan.
  2. Disuatu negara hukum modern telah ternyata hal tidak mungkin diterima sebagai asaz teguh bahwa 3 fungsi tersebut tadi masing-masing hanya boleh diserahkan pada satu badan kenegaraan.


Hukum administrasi negara indonesia sebagai penyelenggara UUD dan Pembangunan.
Kusumasi-Gondowardojo menulis kekuasaan penguasa dapat dinyatakan dengan satu kata pencakup : menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (UUDS Pasal 82), kemudian karena kompleknya dan dinamisnya tugas penguasa ini maka tugas ini tidak dapat diatur secara rinci. Walaupun dikatakan demikian namun masih juga dalam UUD 1945 terdapat ketentuan yang menjadi pegangan dan dapat dipakai sebagai landasan hukum peraturan-peraturan organik : pasal 27 ayat 2 memuat azas dasar jaminan sosial, pasal 29 memuat azas agama, pasal 30 memuat azas dasar pertahanan negara, pasal 31 memuat azas dasar pendidikan dan pengajaran, pasal 32 memuat azas dasar kebudayaan nasional Indonesia, pasal 33 memuat azas dasar perekonomian.
Hukum Administrasi Negara mempelajari hanya sebagian saja dari lapangan “bestuur” yaitu bagian tentang “rechtsregels”, “rechtsvormen”, dan “rechtsbeginselen” yang menyelenggarakan turut serta pemerintahan dalam pergaulan sosial dan ekonomi yang harus disalurkan dalam suatu sistem tertentu. Sistem itu terdiri atas petunjuk-petunjuk, yaitu kaidah-kaidah yang dapat membimbing turut serta pemerintah dalam pergaulan sosial ekonomis. Kaidah yang membimbing turut serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomi itu kaidah-kaidah hukum, yaitu kaidah-kaidah yang oleh pemerintah sendiri diberi sanksi dalam hal pelanggaran. Kaidah itu mengatur hubungan antara alat pemerintahan (bestuursorganen) dengan individu dalam masyarakat (hubungan ekstern). Demikian juga hubungan antara masing-masing alat pemerintahan yang satu terhadap yang lain (hubungan intern). Semua hubungan itu menjadi hubungan hukum (rechtbetrekkingen), karena dipertahankan dan diberi sanksi oleh pemerintah sendiri. Logemann dapat menyebut hukum administrasi negara itu suatu pelajaran tentang hubungan hukum (yang istimewa). Tetapi apa sebabnya maka pemerintah turut serta dalam suatu sektor bagian tertentu dari pergaulan sosial dan ekonomis, dan oleh karena turut serta pemerintah tersebut ditimbulkan hubungan hukum itu, itulah hubungan persoalan yang dipelajari oleh hukum administrasi negara. Hukum administrasi negara tidak memasuki tingkat politik pemerintah, tetapi tingkatan hubungan hukum yang terlebih dulu telah ditentukan oleh tingkatan politik pemerintahan tersebut. Hukum administrasi negara merupakan bentuk yuridis yang menangkap penyelenggaraan turut serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomis.

Hukum administrasi negara, ilmu pemerintahan dan Public administration.
Hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur sebagian lapangan pekerjaan administrasi negara. Perumusan tersebut belum menjadi suatu pegangan yang kuat untuk mengertitugas hukum administrasi negara, untuk memperoleh suatu gambaran maka dibahas tentang ilmu admnistrasi negara. Menurut Prof. Wiarda ilmu admnisitrasi negara adalah negara itu bukan pertimbangan perlu tidaknya turut serta pemerintah dalam pergaulan kemasyarakatan dan perekonomian. Tugas ilmu administrasi negara adalah mempelajari sifat peraturan-peraturan hukum dan bentuk-bentuk hukum yang memuat turut serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan perekonomian dan juga mempelajari azas-azas hukum yang membimbing turt serta pemerintah itu.
Public Administration adalah suatu sistem pemerintahan dan juga ilmu mengenai sistem pemerintahan, yang pertama-tama dilahirkan dan dikembangkan di negeri Inggris,amerika serikat dan negara-negara yang mempunyai sistem pemerintahan yang sama dengan sistem pemerintahan di negeri Inggris dan Amerika serikat. Public Administration melihat usaha pemerintahan sebagai suatu usaha perusahaan dan juga bidang Public Administration itu lebih luas dan juga mempelajari persoalan-persoalan diluar bidang pemerintahan yang ada hubungannya dengan pemerintahan.

Hukum administrasi negara sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum.
Administrasi negara tunduk pada hukum privat yang disebut hukum biasa. Administrasi negara juga seperti semua subjek hukum lain menggunakan hubungan hukum yang dipakai subjek hukum lain itu manusia. Namun agar dapat menyelenggarakan tugas khusus maka diperlukan wewenang istimewa. Karena dalam hal dijalankannya hukum biasa, maka belum tentu semua penduduk wilayah negara akan tunduk pada pemerintahannya. Wewenang istimewa dapat menggunakan hukum yang lebih memaksa daripada peraturan hukum privat. Jadi bila hukum privat tidak dapat memberikan cukup jaminan sehinnga tugas khusunya dapat dilakukan sebaik-baiknya maka hukum administrasi negara dapat menggunakan hukum Istimewa.
Disamping hukum admnistrasi negara, hukum pidana juga menggunakan hukum istimewa. Adapun perbedaannya yaitu hukum administrasi negara memuat petunjuk hidup sedangkan hukum pidana tidak memuat petunjuk hidup . sanksi yang termuat dalam hukum pidana itu sanksi istimewa karena memaksa istimewa yaitu lebih keras, orang tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang telah ada. Sebagai suatu hukum sanksi istimewa maka hukum pidana itu menjatuhkan suatu penderitaan istimewa pada diri masing-masing pelanggar hukum termasuk pelanggaran hukum adminsitrasi negara

Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara
Hukum Administrasi Negara termasuk hukum negara dalam arti kata luas. Ada 2 (dua) bagian hukum negara yaitu hukum negara dalam arti sempit (Hukum Tata Negara) dan bagian yang menjadi Hukum Administrasi Negara dalam kalangan ahli hukum telah timbul banyak perselisihan faham. Menurut Van Vollenhoven Hukum Tata Negara ialah hukum yang memberi gambaran tentang negara dalam keadaan yang tidak bergerak sedangkan Hukum Administrasi Negara mempertujukan kepada kita negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging). Menurut Logemann bahwa Hukum Tata Negara adalah suatu pelajaran tentang kompetensi atau wewenang (competentieleer) sedangkan Hukum Administrasi Negara itu dapat dikemukakan sebagai suatu pelajaran tentang hubungan hukum istimewa.

Sumber-sumber Hukum Admnisitrasi Negara
Sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

  1. Sumber hukum dalam arti kata materiil : sumber hukum yang menentukan isi kaidah. Contohnya pancasila.
  2. Sumber hukum dalam arti kata formil : sumber hukum yang memungkinkan suatu kaidah menjadi berlaku umum dan ditaati juga oleh masyarakat. Seperti : Undang-undang (hukum administrasi negara tertulis), praktek administrasi negara (hukum administrasi negara yang merupakan hukum kebiasaan.), yurisrudensi, anggapan para ahli hukum administrasi negara.

Sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum (dalam hal konkrit = tindakan manusia yang sesuai dengan apa yang dianggap seharusnya) diberi nama sumber hukum materiil. Sebelum berlaku umum, maka penghargaan yuridis tentang suatu peristiwa sosial tertentu harus diberi suatu bentuk tertentu yang merupakan suatu bayangan dalam perasaan atau dalam pikiran yang memungkinkan suatu kaidah menjadi berlaku umum dan ditaati oleh mereka yang tidak menerimanya bahkan menentangnya. Bentuk itulah yang memungkinkan pemerintah mempertahankan kaidah tersebut sebagai kaidah hukum. Biasanya bentuk itu disebut sumber hukum formil. Dalam sumber hukum formil, penilaian yuridis itu dipositifkan, yaitu dijadikan hukum positif.
Sebagai sumber hukum formil Hukum Administrasi Negara dapat disebut :
a. UU (Hukum Administrasi Negara tertulis)
b. Praktek Administrasi Negara (merupakan hukum kebiasaan)
c. Yurisprudensi
d. Anggapan para ahli Hukum Administrasi Negara.

Baik di Indonesia maupun di Belanda belum ada suatu kodifikasi sistimatis Hukum Administrasi Negara seperti hukum privat ataupun pidana. Oleh Donner dikemukakan 2 sebab mengapa sangat sukar untuk membuat suatu kodifikasi sistimatis Hukum Administrasi Negara, yaitu :
  1. Peraturan Hukum Administrasi Negara berubah lebih cepat dan sering mendadak.
  2. Pembuatan peraturan Hukum Administrasi Negara tidak dalam satu tangan. Hampir semua departemen dan pemerintah daerah membuat juga peraturan Hukum Administrasi Negara sehingga lapangan Hukum Administrasi Negara itu sangat-sangat beraneka warna dan tidak bersistim.


Mengenai praktek AN sebagai sumber hukum formil, dapat dikatakan bahwa praktek itu membentuk HAN kebiasaan (tidak tertulis). HAN kebiasaan itu dibentuk dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara (AN). Sebagai suatu sumber hukum formil, maka seringkali praktek AN itu berdiri sendiri disamping UU. Bahkan tidak jarang mengesampingkan UU yang telah ada. Pada waktu sekarang ini makin sering terjadi karena pembuat peraturan kurang mampu mengubah pada waktu yang tepat bagian tatahukum positif yang berasal dari jaman kolonial dan tidak lagi sesuai dengan keadaan sosial pada waktu sekarang.
Tetapi tidak semua keputusan para pejabat AN membentuk HAN (menjadi sumber hukun formil). Keputusan itu ada 2 macam, yaitu : keputusan yang memberi kesempatan kepada yang dikenai putusan itu untuk memohon bandingan pada pengadilan, dan keputusan yang tidak memberi kesempatan semacam tadi. Dalam hal pertama, maka yang membentuk HAN adalah keputusan hakim, sedangkan yang kedua yang membantuk HAN adalah keputusan pejabat AN yang bersangkutan.