Bentuk-Bentuk Perbuatan-Perbuatan Pemerintahan - Feel in Bali

Sunday, September 21, 2014

Bentuk-Bentuk Perbuatan-Perbuatan Pemerintahan


Bermacam-macam perbuatan administrasi negara

Perbuatan administrasi negara dapat digolongkan menjadi 2 kategori yaitu : kategori perbuatan hukum (rechtshandelingen) dan kategori perbuatan yang bukan perbuatan hukum atau perbuatan tanpa akibat yang diatur oleh hukum (geen rechts tapi hanya feitelijke handelingen).
Berdasarkan sistemnya hukum itu dibagi dalam dua golongan yaitu : privat dan publik. Pernuatan hukum publik ada 2 macam yaitu :
1. perbuatan hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke handeling). Jadi menurut mereka tidak ada perjanjian (overeenkomst) yang diatur oleh hukum publik, perjanjian itu suatu perbuatan bersegi dua karena diadakan oleh 2 kehendak. Maka dari itu perjanjian dalam hukum publik tidak ada.karena dalam hubungan yang diatur oleh hukum publik hanya satu pihak saja yang secara sukarela dapat menentukan kehendaknya yaitu kehendak pemerintah.
Perbuatan Hukum disebut juga “Beschiking” dalam bahasa indonesia sering dipakai istilah “ketetapan”. Tujuannya menyeleanggrakan hubungan-hubungan dalam lingkungan alat negara (staatsorgaan) yang membuat ketetapan-ketetapan intern, maupun menyelanggarakan hubungan-hubungan antara alat negara yang membuatnya dengan seorang partikelir atau badan privat atau antara dua atau lebih alat negara ketetapan ekstern.
2. Perbuatan hukum publik yang bersegi dua ( tweezijdige publiekrechtelijke handeling). Tokoh-tokohnya : Van der Pot, Van Praag, Kranenburg-Vegting, Wiarda, Donner, yang menerima adanya perbuatan hukum publik bersegi 2, perjanjian menurut hukum publik. Contohna perjanjian kerja jangka pendek (korteverband contract).

Peraturan dan ketetapan, Dekrit presiden tertanggal 5 juli 1959, penetapan Presiden dan Ketetapan MPRS dan MPR.
Agar dapat menjalankan tugasnya meka disamping ketetapan itu, administrasi negara dapat membuat peraturan (uu dalam arti materiil). Menurut UUD, maka kekuasaan administrasi negara membuat peraturan pemerintah terdapat dalam kekuasaan pemerintah membuat peraturan pemerintah pengganti UU (pasal 22),  berdasarkan delegasi perundang-undangan kepada presiden (juga sebagai mandataris MPR), berdasarkan delegasi perundang-undangan dari uu kepada pemerintah. Dalam praktek AN, bagian terbesar dari kekuasaan membuat peraturan yang didelegasi kepada pemerintah itu diserahkan terus kepada ahli pemerintahan, yakni kepada kepala jawatan, kepala bagian, kepala direksi, bahkan kepada badan yang tidak termasuk kalangan administrasi negara (badan partikelir yang diberi kekuasaan memerintah) (delegasi istimewa). Agar dapat menjalankan tugasnya dengqan sebaik-baiknya, maka pemerintah melakukan dekonsentrasi dan desentralisasi.
Jika kita memperhatikan isi dekrit presiden 5 juli 1959 yaitu : menetapkan pembubaran badan konstituante; menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mulai dari tanggal penetapan tersebut. Pembentukan MPRS yang terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan DPAS (dewan pertimbangan agung sementara), akan dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Maka ternyatalah bahwa dekrit presiden 5 juli 1959 itu yang mneyelesaikan suatu hal konkrit yang telah diketahui terlebih dahulu oleh pembuatnya yang menjadi administrator tertinggi, adalah suat ketetapan Verwaltungsakt, pada tingkat tertinggi (jadi bukan peraturan), karena mamuat anasir-anasir suatu ambtelijke bestuurshandeling, waardoor eenzijdig en opzettelijk in een  bepaald gevsal een bestaande rechtsverhouding of rechtstoestand wordt vast gesteld of ccen nieuwe rechtsverhouding of rechtstoestand in het leven wordt geroepen dan wel het een of ander wordt geweigerd (definisi Donner). Dasar dikeluarkannya dekrit presiden 5 juli 1959 adalah keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa serta merintangi pembangunan semesta untukmencapai masyarakat yang adil dan makmur (normative Kraft de faktischen – Jellinek).
Untuk mengatur (melaksanakan) dalam garis-garis besar keadaan hukum (dan politik) yang dilahirkan oleh dekrit presiden 5 juli 1959, pada tahun yang sama diundangkan 7 penetapan presiden (penPres) yang bersifat peraturan, uu dalam artin materiil (jadi bukan ketetapan) dengan dasar hukumnya pasal 3 jo pasal IV aturan peralihan UUD.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan adalah ketetapan sah (voorwaarde voor de rechtsgeldigheld der beschikking)
Ketetapan dibagi dalam dua macam yaitu :
1. ketetapan sah (rechtsgeldige beschikking)
2. ketetapan tidak sah (niet-rechtsgeldige beschikking). Ketetapan yang tidak sah dapat berupa :


  • ketetapan yang batal karena hukum (nietig van rechtswege) merupakan akibat sesuatu perbuatan, untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada/dihapuskan tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibat itu.
  • ketetapan yang batal (nietig, juga : batal absolut,absoluut nietig), merupakan suatu akibat suatu perbuatan yang oleh hakim dibatalkan karena mengandung kekurangan.
  • ketetapan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar),meruapakan bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berwenang,pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut mengandung kekurangan.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan adalah ketetapan yang sah
Donner mengemukakan bahwa kekurangan dalam ketetapan dapat mengakibatkan bahwa :

  1. ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali
  2. berlakunya ketetapan itu dapat digugat dalam bandingan (beroep), pembatalan oleh jabatan (ambthasalve vernietiging) karena bertentangan dengan undang-undang, penarikan kembali ( interekking) oleh kekuasaan yang berwenang (competent) mengeluarkan ketetapan tersebut.
  3. dalam hal ketetapan tersebut sebelum dapat berlaku memerlukan persetujuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi
  4. ketetapan diberi suatu tujuan lain daripada tujuan permulaannya (konversi,conversie)

Prof.Van der Pot menyebut4 syarat yang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan sah yaitu :

  1. ketetapan harus dibuat oleh alat (orgaan) yang berwenang (bevoegd) membuatnya.
  2. karena ketetapan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming)
  3. ketetapan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus  juga memperhatikan cara (procedure) membuat ketetapan itu, bilamana cara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
  4. isi dan tujuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.

Dalam pembentukan kehendak dari alat negara yang mengeluarkan suatu ketetapan, tidak boleh ada kekurangan yuridis ,kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak alat negara yang mengeluarkan suatu ketetapandapat disebabkan oleh karena :

  • salah kira (dwaling) berarti bilamana seseorang (subjek hukum) menghendaki suatu dan membuat suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu tapi kehendak tersebut didasrkan atas suatu bayangan (voorstelling) (tentang suatu hal) yang salah
  • paksaan (dwang)
  • tipuan (bedrog).

Salah kira terjadi bilamana seseorang (subyek hukum) menghendaki sesuatu dan mengadakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak itu didasarkan atas suatu bayangan (tentang suatu hal) yang salah. Bayangan yang salah itu mengenai pokok maksud pembuat – salah kira mengenai pokok maksud pembuat,atau mengenai (kedudukan atau kecakapan keahlian) seseorang (subyek hukum) – salah kira mngenai orang (subyek hukum), atau menenai hak orang lain – atau mengenai suatu hukum – atau mengenai kekuasaan sendiri. Dalam ilm hukum privat dibuat 3 teori untuk menyelesaikan akibat suatu perbuatan yang diadakan berdasarkan salah-kira tidak sungguh-sungguh, yaitu : teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan. Kami menyetujui teori kepercayaan tapi dengan mendekati teori kehendak.
Paksaan. Yang dimaksud disini adalah paksaan biasa bukan paksaan keras. Akibat daeri paksaan keras yaitu dapat menjadi batal mutlak karena pihak yang dipaksa sama sekali tidak ada suatu kehendak. Sedangkan akibat dari paksaan biasa adalah dapat dibatalkan karena pihak yang dipaksa ada suatu kehendak walaupun pembentukan kehendak itu dipengaruhi oleh suatu ancaman. Menurut ayat (2) pasal 1324 KUH Perdata, dalam pembatalan suatu perbuatan yang dilakukan dengan paksaan hakim harus memperhatikan umur, jenis kelamin, dan kedudukan sosial dari yang dipaksa.
Tipuan terjadi bilamana yang mengadakan perbuatan menggunakan beberapa muslihat sehingga pada pihak lain ditimbulkan suatu bayangan palsu tentang suatu hal. Agar ada tipuan diperlukan beberapa muslihat, karena satu bohong belum menjadi tipuan. Akibat dari perbuatan ini adalah dpat dibatalkan atau dibatalkan mutlak.
Pembatalan suatu ketetapan yang dibuat berdasarkan salah kira mengenai orang hanya dapat dituntut oleh orang yang mengalami kerugian. Namun pembatalan itu tetap harus dilakukan dalam suatu jangka tertentu, misalnya jangka satu bulan setelah ketetapan itu dibuat. Tidak setiap ketetapan yang dibuat berdasarkan salah kira mengenai pokok maksud pembuatannya adalah batal. Jadi yang disebabkan salah kira itu dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan hanya dalam hal salah kira tersebut betentangan dengan UU atau dengan kejadian-kejadian yang benar-benar ada (feiten).
Paksaan dapat menjadi sebab maka ketetapan dapat dibatalkan, paksaan keras dpat menjadi sebab maka ketetapan itu batal karena hukum. Dalam hal ada paksaan, maka dapat dikatakan bahwa pihak yang dipaksa masih ada kehendak, sedangkan dalam paksaan keras, maka dapat dikatakan bahwa pihak yang dipaksa tidak memiliki suatu kehendak.
Ketetapan yang digunakan dengan menggunakan muslihat.
Ketetapan hanya batal (atau diabatalkan) jika sifat tipuan begitu rupa sehingga dapat dikatakan bahwa dengan tidak menggunakan muslihat itu sudah tentu ketetapan tidak dibuat. Dalam hal ini ada kekurangan yang “essentieel”. Kekurangan yang disebabkan dengan tipuan itu dapat mempengaruhi berlakunya ketetapan hanya dalam hal tipuan tersebut bertentangan dengan UU atau dengan kejadian yang benar ada.
Ketetapan harus diberi bentuk yajg ditetapkan dalam UU yang menjadi dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan peraturan-peraturan mengenai cara pembuatannya.
Bentuk ketetapan itu ada 2 macam :
a. Ketetapan dikeluarkan secara lisan (mondelinge beschikking)
b. Ketetapan dikeluarkan secara tertulis (schriftelijke atau geschreven beschikking)
Secara umum ada 2 hal mengapa ketetapan dikeluarkan secara lisan:
1. Dalam hal yang tidak membawa akibat kekal dan yang tidak begitu penting bagi administrasi negara, sehingga tidak diperlukan suatu ketetapan tertulis.
2. Dalam hal bilamana oleh yang mengeluarkan suatu ketetapan dikehendaki suatu akibat yang timbul dengan segera.
Bentuk tertulis suatu ketetapan itu ada bermacam-macam yang dikarenakan ada bermacam-macam alat negara yang membuat ketetapan. Pembuatan suatu keetapan juga harus memperhatikan peraturan-peraturan yang menunjuk cara (prosedur) pembuatan ketetapan itu. Demikianjuga dengan menalankan ketetapan itu harus memperhatikan cara menjalankan ketetapan itu. Masing-masing ketetapan hanya jika dianggap perlu menurut peraturan untuk ditempatkan dalam suatu berita warta pemerintah atau dalam surat kabar yang terkenal agar isinya dapat dibaca oleh yang bersangkutan. Ketetapan yang berbentuk UU diundangkan dalam lembaran negara, ketetapan yang dibuat penguasa pemerintah pusat yang lain diberitahukan dalam berita negara.
Ketetapan yang isi dan tujuannya tidak sesuai dengan isi dan tujuan dari peraturan yang menjadi dasar ketetapan itu.
Syarat ini adalah suatu jenis yang harus dipenuhi dalam negara hukum. Syarat legalitet ini adalah salah satu tiang negara hukum. Oleh Kranenburg-Vegting menyebut 4 macam hal suatu alat negara memberi kepada ketetapan suatu isi yang menurut peraturan yang bersangkutan sebenarnya tiak dapat diberi kepada ketetapan itu :

  • Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi peristiwa hukum atas peristiwa yang bukan peristiwa hukum yang menurut peraturan yang bersangkutan harus ada agar ketetapan itu dapat dibuat, sekali-kali tidak ada. Dalam hal demikian, alasan untuk membuat ketetapan itu sebenarnya tidak ada.
  • Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi peristiwa yang disebut dalam ketetapan itu dan yang menurut peraturan yang bersangkutan adalah benar, sebetulnya alasan-alasan bagi pembuatan suatu ketetapan lain dari yang telah dibuat. Dalam hal demikian suatu alasan salah.
  • Suatu alat negara membuat ketetapan yang menurut peraturan yang bersangkutan adalah benar, tetapi peristiwa-peristiwa yang disebut sebetulnya tidak dapat menjadi alasannya. Dalam hal demikian dibuat suatu ketetapan berdasarkan alasan-alasan yang tidak dapat dipakai.
  • Suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi alat negara itu tidak mempergunakan kekuasaannya secara resmi sesuai dengan tujuannya yang telah diberi oleh peraturan yang bersangkutan kepada kekuasaan itu. Dlam hal demikian alat negara yang membbuat ketetapan, mempergunakan kekuasaannya secara tidak sesuai dengan tujuan kekuasaannya itu, dan salah menggunakan kekuasaan itu diberi nama istimewa dari bahasa perancis yaitu “detournement de douvoir”.

Detournement de douvoir terjadi bilamana suatu alat negara menggunakan kekuasaannya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum yang lainn dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar kekuasaan itu. Dan ini bukan suatu gejala yang hanya terdapat dalam lapangan membuat ketetapan, melainkan gejala yang dalam seluruh lapangan pemerintahan dalam arti luas juga dalam lapangan perundang-undangan dan dalam lapangan peradilan. “Detournement de douvoir” dapat diterjemahkan sebagai “pemindahan kekuasaan”.
Perlu ditegaskan disini bahwa Detournement de douvoir  sering menjadi akibat suatu “freies Ermessen” yag disalah gunakan. Dalam ilmu HAN telah ditimbulkan suatu perselisihan paham tentang jawaban atas pertanyaan : dapat kah suatu “detournement de douvoir” dianggap suatu perbuatan yang bertentangan dengan UU (hukum) ?
Jawaban dari pertanyaan ini penting karena suatu perbuatan AN yang merugikan individu dapat dibatalkan berdasarkan 2 macam alasan : a) Karena bertentangan dengan hukum. b) karena bertentangan dengan kepentingan umum dan hanya alasan ada mengijinkan hakim memberi pertolongan kepada yang dirugikan oleh suatu perbuatan AN. Di Belanda maupun di Indonesia sendiri diterima asas bahwa pertimbangan bertentangan tidaknya dengan kepentingan umum suatu perbuatan AN tidak dapat diserahkan kepada hakim tetapi tetap tinggal dalam tangan AN sendiri. Sudah tentu pertimbangan bijaksana tidaknya suatu tindakan AN tidak dapat diserahkan kepada hakim, karena hakim tidak duduk diatas kursi legislatif maupun eksekutif. Jadi dalam hal tidqak dapat dibuktikan bahwa tindakan pemerintah itu bertentangan dengan hukum, maka yang dirugikan oleh tindakan tersebut tidak dapat mengenyam manfaatnya pekerjaan hakim biasa.
Oleh Mr. H. Vos dikemukakan bahwa bilamana ditinjau dari sudut batas kekuasaan formil yang diberi oleh UU kepada AN, formil “detournement de douvoir” itu bukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan UU, oleh karena ketika AN mengadakannya, maka AN negara (formil) tidak bertindak diluar batas tertentu, sedangkan bilamana ditinjau dari sudut maksud pembuat UU ketika memberi kekuasaan itu kepada AN, maka “detournement de douvoir”  itu sudah tentu suatu perbuatan bertentangan dengan UU. Maka dari itu menurut pendapat Vos, “detournement de douvoir” tersebut tidak dapat dibantah menggunakan alasan : bertentangan dengan kepentingan umum seperti yang menjadi kebiasaan dalam praktek AN, melainkan harus dibantah dengan mengguakan alasan : bertentangan dengan UU. Jadi pertimbagan ada tidaknya “detournement de douvoir” termasuk kompetentsi hakim biasa. Setahu kami sampai saat ini di Indonesia dalam perundang-undangan, “detournement de douvoir” itu menurut hukum administrasi negara belum diakui umum sebagai suatu alasan memohon bandingan atas suatu ketetapan.
Ketetapan yang tdak sah dapat membawa akibat yang bagi hukum tidak pernah ada, jadi kedudukan hukum dari yang bersangkutan dibawa kembali kedalam keadaan semula sebelum ketetapan itu dibuat. Tidak sah ex tunc, yaitu tidak sah juga untuk waktu sebelum pembatalan atau ketetapan yang tidak sah dapat membawa akibat yang bagi hukum ada sampai waktu pembatalan. Jadi, kedudukan hukum dari yang bersangkutan tidak dibawa kembali kedalam keadaan sebelum ketetapan itu dibuat. Tidak sah ex nunc yaitu tidak sah untuk kemudian saja. Suatu pembatalan ex nunc berlaku surut sedangkan suatu pembatalan ex tunc tidak berlaku surut, hanya untuk kemudian saja.
$4. Kekuasaan hukum (rechtskracht) dari ketetapan sah.
Kami dapat menarik kesimpulan bahwa hanya suatu ketetapan yang sah mendapat kekuasaan hukum. sah itu suatu pendapat tentang suatu perbuatan pemerintah, sedangkan kekusaan hukum itu sesuatu mengenai kerjanya. Suatu perbuatan pemerintah dianggap sah bilamana dapat diterima sebagai suatu kesatuan ketertiban hukm, mempunyai kekuasaan hukum, dan dpat mempengaruhi pergaulan umum. Selama ketetapan belum mendapat suatu kekuasaan hukum yang definitif, maka baik pemerintah maupun yang diperintah selalu ada keragu-raguan. Kita membedakan 2 pengertian “kekuasaan hukum”, yaitu :
a. Kekuasaan hukum formil (formale rechtskracht)
b. Kekuasaan hukum materiil (materiele rechtskracht)

Yang dimaksud kekuasaan hukum formil adalah pengaruh yang dapat diadakan oelh karena adanya ketetapan itu. Suatu ketetapan mempunyai “kekuasaan hukum formil” bielaman ketetapan itu tidak lagi dibantah oleh suatu alat-hukum (rechtsmiddel). Dalam hal demikian ketetapan itu sah.
Bagi yang dikenai suatu ketetapan, maka keteteapan itu mempunyai kekuasaan hukum formil mutlak. Kranenburg-Vegting menyebut 4 alat-hukum yang dapat digunakan oleh yang dkenai suatu ketetapan untuk membantah ketetapan itu :

  • Yang dikenai suatu ketetapan dapat memohon pembatalan ketetapan itu, yaitu dalam hal kemungkinan untuk memohon bandingan diberi kepadanya.
  • Yang dikenai ketetapan dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah supaya ketetapa itu dibatalkan.
  • Yang dikenai ketetapan itu dapat mengajukan persoalannya kepada hakim biasa sehingga ketetapan itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum.
  • Yang dikenai ketetapan tidak menyelenggarakan apa yang dicantumkan dalam ketetapan itu, dan setelah perkara yang bersangkutan dibawa kemuka hakim, maka diusahakannya supaya hakim itu menyatakan ketetapan itu batal karena bertentanga dengan hukum.

Kekuasaan hakim yang wajib memberi keputusan dalam suatu peselisihan antara pemerintah dengan dikenai suatu ketetapan yang dibuat pemerintah itu, dibatasi 2 hal, yaitu : a) hakim tidak boleh mempertimbangakan kebijaksanaan pemerintah dan b) hakim tidak dapat membatalkan secara langsung suatu ketetapan. Hakim hanya menentukan bertentangan tidaknya dengan hukum dari ketetapan itu dan selanjutnya menentukan besarnya keganti-rugian yang harus dibayar oelh pemerintah kepada yang mendapat kerugian ketetapan itu. Hakim tidak dapat membatalkan ketetapan itu, palingbanyak dikatakannya bahwa ketetapan itu tidak mengikat. Jadi hakim hanya dapat menentukan bertentangan tidaknya dengan hukum suatu ketetapan.  Kewajiban hakim yang kami baca dari kutipan tersebut adalah juga kewajiban alat-alat negara lain yang berkuasa mempertimbangkan sah tidak nya suatu ketetapan. Jadi, belum tentulah suatu ketetapan yang mengandung kekurangan adalah ketetapan yang tidak dapat diterima sebagai ketetapan sah. Apalagi dalam suasana revolusi Indonesia yang sedang berjalan, suatu alam pikiran yang terlalu legalistis tidaklah pada tempatnya, dan mempersulit jalan lancarnya revolusi.
Muncul pertanyaa, dapat kah hakim menguji peraturan yang menjadi dasar ketetapan yang telah diserahkan kepada pertimbangannya ? menurut pendapat kami, maka hakim dapat menguji secara materiil maupun formil tiap peraturan yang menjadi dasar ketetapan.
Yang dimaksud kekuasaan hukum materiil ialah pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi ketetapan itu.  Suatu ketetapan mempunyai kekuasaan hukum materiil bilamana ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya. Dapat kah kekuasaan hukum materiil suatu ketetapan dibantah ? donner beranggapan bahwa jika perlu pada asasnya tiap ketetapann dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya. Oleh karena ketetapan itu suatu perbuatan hukum pemerintah bersegi satu, maka ketetapan itu dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya dengan tidak perlu ada persetujuan dari yang dikenainya. Maka alat negara yang mambuat suatu ketetapan mempunyai suatu kemerdekaan penuh untuk kemudian menarik kembali ketetapan itu bila perlu.
Oleh Kranenburg-Vegting diragukan apakah asas “tiap ketetapan dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya apabila perlu itu benar”. Juga alasan donner  mengenai kemerdekaan menarik kembali yaitu oleh karena ketetapan adalah suatu perbuatan hukum yang bersegi satu itulah kurang tepat. Yang menjadi alasan menarik kembali suatu ketetapan ialah sifat dan corak akibat hukum yang ditimbulkan oleh isi ketetapan itu dan yang ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Bukankah ada perjanjian yang dapat diakhiri oleh kehendak suatu pihak saja ? rupanya kecaman Kranenburg-Vigting tadi merubah pendapat donner yang semula.
Prins dapat menyetujui kemerdekaan menarik kembali suatu ketetapan oelh alat negara yang membuat ketetapan itu, teteapi kemerdekaan tersebut harus sesuai dengan kepercayaan baik yang seharusnya ada antara pihak suatu pergaulan hukum. pemerintah, yaitu pemerintah suatu negara hukum tidak dapat menarik kembali suatu ketetapan, bilamana menarik kembali itu sungguh-sungguh tidak perlu. Menurut prins mengenai kemerdekaan menarik kembali ketetapan yang telah dibuat harus memperhatikan 6 buah asas :

  1. Suatu ketetapan yang dibuat karena yang berkepentingan mengguhnakan tipuan, senantiasa dapat ditiadakan.
  2. Suatu ketetapan yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan, jadi suatu ketetapan yang belum menjadi suatu perbuatan yang sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum dapat ditiadakan.
  3. Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dan yang diberi kepada yang dikenai itu dengan beberapa syarat tertentu, dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan itu.
  4. Suatu ketetapan yang  bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh ditarik kembali setelah suatu jangka tertentu lewat bilamana oleh karena menarik kembali tersebut, suatu keadaan yang layak dibawah kekuasaan ketetapan yang bermanfaat itu menjadi keadaan yang tidak layak.
  5. Oleh karena suatu ketetapan yang tidak benar, diadakan suatu keadaan yang tidak layak. Keadaan ini tidak boleh ditiadakan, bilamana menarik kembali ketetapan yang bersangkutan membawa kepada yang dikenainya suatu kerugian yang sangat lebih besar dari pada kerugian yang oleh negara diderita karena keadaan yang tidak layak tersebut.
  6. Menarik kembali atau mengubah suatu ketetapan, harus diadakan menurut acara yang sama sebagai yang ditentukan bagi membuat ketetapan itu.

Kami menyetujui anggapan prins itu. Oleh donner dikemukakan suatu pembagian ketetapan dalam ketetapan yang menyatakan hukum (menyatakan mana yang menjadi hukum mana yang tidak) (rechtvastellende beschikking) dan ketetapan yang membuat hukum (rechtschenpende beschikking).
Menurut pendapat kami maka hak-hak yang telah diperoleh hanya dapat dijalankan engan keadaan sungguh-sungguh dalam pergaulan sosial. Jadi, bilamana keadaan sungguh-sungguh didalam suatu pergaulan sosial telah diubah, maka dengan sendirinya hak-hak yang telah diperoleh tetapi tidak sesuai dengan keadaan sungguh-sungguh itu harus dicabut kembali. Hal ini sesuai denan alam revolusi, revolusi indonesia yang sedang berjalan.
Kekuasaan hukum materiil dari bermacam-macam ketetapan itu tidak sama kuatnya. Beberapa macam ketetapan mempunyai suatu kekuasaan hukum materiil yang sangat kuat, sedangkan beberapa macam ketetapan yang lain mempunyai suatu kekuasaan hukum materiil yang sangat kecil saja. Beberapa macam ketetapan tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya. Termasuk golongan ketetapan ini a.l. surat pengesahan dan surat kuasa. Setelah surat-surat tersebut diberi kepada yang bersangkutan maka tugas dan kekuasaan alat negara yang membuatnya berakhir. Suatu alat negara yang lain dapat membatalkan surat-surat tersebut. Oelh prins dikemukakan bahwa suatu surat pengesahan atau surat kuasa dapat dimasukkan kedalam golongan ketetapan yang tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya, apabila tugas dari alat-alat negara yang membuatnya tidak lain dari pada hanya menyatakan pelaksanaanya suatu keputusan yang telah diadakan oleh suatu alat negara ;lain. Dalam hal demikian alat negara yang membuat suratpengesahan yang bersangkutan tidak bertanggungjawab atas isinya. Yang bertanggung jawab adalah alat negara yang membuat keputusan utama. Apabila tugas dari alat negara yang membuat suatu surat pengesahan lebih luas dari pada hanya menyatakan pelaksanaannya, maka surat pengesahan itu bukanlah ketetapan yang tidak dapat ditarik kembali karena sifat nya.
Kata Donner, maka yang juga termasuk golongan ketetapan yang tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya ialah ketetapan “eenmalig” dan ketetapan yang “photografisch”. Dalam pembuatan suatu ketetapan yang “photografische”, maka AN mengadakan suatu “momentopname” yaitu keadaan pada waktu AN hendak membuat ketetapan itu semata-mata menjadi alasan untuk pembuatannya. Kata prins, maka ketetapan yang “photografische” itu tidak karena sifatnya tidak lagi dapat ditarik kembali oleh alat negara yang membuatnya. Sebagai suatu ketetapan yang sungguh-sungguh tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya, oleh prins disebut “hypotheek-verklaring” yang kita jumpai dalam pergaulan pajak.

Macam ketetapan
Ada beberapa macam golongan, yaitu :

  1. Ketetapan positif dan ketetapan negatif. Suatu ketetapan yang untuk yang dikenainya menimbulkan hak atau/dan kewajiban adalah suatu ketetapan positif. Suatu ketetapan yang baru membatalkan ketetapan yang lama adalah suatu ketetapan positif, karena disini suatu keadaan hukum yang lama diganti dengan yang baru. Suatu ketetapan yang negatif tidak mengadakan perubahan dalam suatu keadaan hukum tertentu yang telah ada. Maka suatu ketetapan yang negatif adalah tiap penolakan atas suatu permohonan untuk mengubah suatu keadaan hukum tertentu yang telah ada.
  2. Ketetapan deklaratur dan ketetapan konstitutif. Oleh prins dikemukakan bahwa ada peraturan yang tidak memerlukan suatu ketetapan agar dapat menyelesaikan suatu soal yang konkrit. Peraturan semacam itu langsungmenyelesaikan tiap-tiap soal konkrit, dan AN tidak beraksi. Ketetapan deklaratur yaitu suatu ketetapan yang hanya menyatakan bahwa yang bersangkutan dapat diberi haknya karena termasuk golongan ketetapan yang menyatakan hukum. ketetapan konstitutif yaitu membuat hukum.
  3. Ketetapan kilat dan ketetapan tetap. Oleh prins disebut 4 macam ketetapan kilat :


  • Suatu ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi suatu ketetapan yang lama.
  • Suatu ketetapan yang negatif. Ketetapan semacam ini hanya memuat suatu keputusan yangbermaksud tidak mengadakan sesuatu, dan ketetapan semacam ini bukan halangan bagi AN untuk pada kemudian hari masih juga bertindak, bila mana keadaan atau pendapat AN itu telah berubah.
  • Suatu menarik kembali atau suatu pembatalan. Seperti suatu ketetapan yang negatif, maka ketetapan semacam ini pun tidak membawa suatu hasil yang positif, dan suatu ketetapan semacam ini pun bukan halangan bagi AN untuk mengadakan suatu ketetapan lain yang sama engan ketetapan yang menarik kembali atau yang dibatalkan itu.
  • Suatu pernyataan pelaksanaan.

4. Dispensasi, ijin, lisensi, dan konsesi
Prof. Van der pot mendefinisikan dispensasi ialah keputusan AN yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu. Bila pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankanya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, maka keputusan AN yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat ijin. Kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa suatu perbuatan yang penting bagi umum, sebaik-baiknya dapat diadakan oleh suatu subyek hukum pertikelir, tetapi dengan turut campur dari phak pemerintah. Suatu keputusan AN yang memperkenankan yang bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut, memuat suatu konsensi. Lisensi digunakan untuk menyatakan suatu perusahaan satu macam ijin isitimewa.