April 2014 - Feel in Bali

Monday, April 28, 2014

April 28, 2014

Kekuatan Mengikat Unsur Accidentalia Pada Suatu Perjanjian

Kekuatan Mengikat Unsur Accidentalia Pada Suatu Perjanjian
Setiap perjanjian sudah barang tentu memiliki akibat-akibat. Pasal 1338 ayat 1 menentukan bahwa setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagai mereka yang membuatnya. Ini berarti setiap persetujuan mengiukat para pihak. Dari perkataan “setiap” dalam pasal diatas dapat disimpulkan asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa. Sehingga para pihak yangmembuat persetujuan harus mentaati hukum yang sifatnnya memaksa terasebut. Misalnya terhadap pasal 1320. Ayat 2 pasal diatas merupakan kelanjutan dari ayat 1 karena jika persetujuan dapat dibatalkan secara sepihak berarti persetujuan tidak mengikat.

Ada persetujuan – persetujuan dimana untuk setiap pihak atau salah satu pihak menimbulkan suatu kewajiban yang berkelanjutan. Misalnya : sewa menyewa, persetujuan kerja , pemberian kuasa dan perseroan. Persetujuan – persetujuan ini dapat diakhiri secara sepihak , mengingat asasnya para pihak harus diberi kemungkinan untuk saling membebaskan dirinya dari pada hubungan semacam itu. Mereka dapat mencegah kemungkinan tersebut dengan membuat persetujuan untuk suatu jangka waktu tertentu.dan selama masa tersebut persetujuan dapat diakhiri dengan kata sepakat para pihak.

Pasal 1338 ayat 3 mengatur bahwa persetujuan – persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun yang dimaksud dengan itu adalah  menjelaskan persetujuan menurut kepatutan dan keadilan.

Dari akibat-akibat hukum perjanjian yang telah di sebutkan diatas, suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata. Suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila perjanjian tersebut tidak mempunyai causa, causanya palsu, causanya bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Apa yang hendak dicapai oleh para pihak dalam suatu perjanjian harus disertai dengan suatu itikad baik. Perjanjian yang dibuat berdasarkan ketentuan pasal 1320, 1335, 1337 KUH Perdata mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat.

Ketiga pasal tersebut merupakan faktor otonom atau faktor penentu dalam menentukan isi perjanjian. Faktor otonom tersebut merupakan faktor penentu primer yang bersumber pada diri para pihak dan faktor otonom menempati urutan utama dalam menentukan daya mengikatnya suatu perjanjian. Selain faktor otonom yang bersumber dari diri para pihak, terdapat juga faktor heteronom yaitu faktor yang bersumber dari luar para pihak dalam menentukan daya mengikatnya suatu perjanjian. Faktor heteronom tersebut dapat ditelusuri pada ketentuan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata.

Berdasarkan kedua pasal tersebut, faktor heteronom untuk menentukan daya mengikatnya suatu perjanjian terdiri dari syarat yang biasa diperjanjikan; kepatutan; kebiasaan; dan undang-undang. Dikaitkan dengan kekuatan mengikat dari unsur-unsur perjanjian yang dibuat oleh para pihak (unsur accidentalia) berdasarkan faktor heteronom pada ketentuan Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata. Dalam rumusan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa, “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” (Subekti dan Tjitrosudibio, 2008:342) Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa, “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan” (Subekti dan Tjitrosudibio, 2008:343).

Dari kedua rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa unsur accidentalia memiliki kekuatan mengikat bagi para pihaknya meskipun tidak dicantumkan secara tertulis dalam perjanjian, sejauh unsur tersebut telah diperjanjikan secara tegas oleh para pihaknya.

Niewenhuis dalam Agus Yudha Hernoko menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandirian pada para pihak, pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi. Pertama, daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh iktikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Kedua, adanya overmacht atau force meajure juga membatasi daya mengikatnya perjanjian terhadap para pihak yang membuat perjanjian tersebut (Agus Yudha Hernoko, 2008:112).

April 28, 2014

Kedudukan Unsur Accidentalia dalam Suatu Perjanjian dan Konsekuensi dari Tidak Terdapatnya Unsur Accidentalia Pada Suatu Perjanjian.

Kedudukan Unsur Accidentalia dalam Suatu Perjanjian dan Konsekuensi dari Tidak Terdapatnya Unsur Accidentalia Pada Suatu Perjanjian.
Unsur accidentalia merupakan bagian-bagian yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan, dimana undang-undang tidak mengaturnya.Mengenai ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh para pihak sesuai dengan asas yang terdapat dalam perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak.


Asas kebebasan berkontrak di atur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kekebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun,
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya,
4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak memang memberikan kebebasan kepada para pihak, namun kebebasan tersebut tidaklah bersifat mutlak. Adanya asas kebebasan berkontrak bagi para pihak untuk menambahkan ketentuan-ketentan tambahan, dimana Undang-undang tidak mengatur (unsur accidentalia) bukanlah bersifat mutlak, dalam artian ketentuan-ketentuan tambahan yang dibuat oleh para pihak dibatasi dan tidak boleh bertentangan denganUndang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Mengenai kedudukan unsur accidentalia dalam suatu perjanjian merupakan unsur yang harus ada dan konsekuensi apabila dalam suatu perjanjian tidak terdapat unsur accidentalia atau unsur tersebut tidak secara tegas diperjanjikan, maka perjanjian tersebut tidak mengikat secara hukum. Unsur ini harus secara tegas diperjanjikan. Apabila unsur ini tidak secara tegas diperjanjikan, maka kedua pihak tidak terikat oleh hal tersebut.  Contoh : Pada Perjanjian Kredit, misalnya : pengaturan mengenai besarnya suku bunga kredit, biaya-biaya, jenis pengikatan jaminan, asuransi, pemilihan domisili, cara penyelesaian perselisihan, dsb.


April 28, 2014

Hukum Perundang-undangan

Hukum Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan adalah merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lebih-lebih dengan telah ditegaskannya bahwa Indonesia adalah merupakan “Negara Hukum” yang termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Hanya saja dalam UUD 1945 tidak jelas apa lingkup dan pengertian Peraturan perundang-undangan ataupun undang-undang.
Adapun Istilah-istilah dalam kepustakaan yang berkaitan dengan perundang-undangan, yakni sebagai berikut :

  1. Ilmu Perundang-undangan

Ilmu Perundang-Undangan adalah ilmu yang berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum civil law, terutama di Jerman sebagai negara yang pertama kali mengembangkan. Burkhardt Krems adalah ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang pembentukan hukum negara (die interdisziplinare wissenschaft vonder staatlichen rechtssetzung). Burkhardt Krems membagi Ilmu Perundang-Undangan dalam tiga wilayah :
1.      proses perundang-undangan.
2.      metode perundang-undangan.
3.      teknik perundang-undangan
Ilmu perundang-undangan yang berorientasi melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Dalam hal ini Ilmu perundang-undangan memberikan pengertian sebagai berikut:

  • Norma hukum dan tata urutan atau hirarki.
  • Lembaga-lembaga negara yang berwenang membuat peraturan perundang      undangan.
  • Lembaga-lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang di bidang peratura perundang-undangan.
  • Tata susunan norma-norma hukum negara.
  • Jenis-Jenis perundang-undangan beserta dasar hukumnya.
  • Asas-asas dan syarat-syarat serta landasan-landasannya.
  • Pengundangan dan pengumumannya.
  • Teknik perundang-undangan dan proses pembentukannya.

2. Perundang-undangan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan undang-undang, seluk beluk undang-undang. Misalnya: ceramah mengenai perundang-undangan pers nasioal, falsafah negara itu kita lihat pula dari sistem perundang-undangannya.

3. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. (UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bab 1 Pasal 1 angka 2).

4. Hukum Perundang-undangan adalah suatu kaidah atau norma yang mengatur tentang peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

5. Hukum Tata Pengaturan
Hukum menurut Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.

6. Pembentukan Peraturan Perundang undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. (UU No.10 Tahun 2004 Bab 1 Pasal 1 angka 1).
Kata undang-undang ada yang ditulis dalam huruf kecil (undang-undang) dan ada pula yang ditulis dengan huruf awal huruf besar (Undang-Undang).
Adapun makna “Undang-Undang (huruf awal besar)’ dan “undang-undang (huruf awal kecil)’ yakni , berikut penjelasannya:

  • Penggunaan huruf besar pada awal kata “Undang-Undang” dipahami dalam arti nama atau sebutan undang-undang yang sudah tertentu (definite). Misalnya dengan nomor dan nama tertentu seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 
  • Penggunaan huruf kecil pada awal kata “undang-undang” maka yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam arti umum atau belum tertentu atau terkait dengan nomor dan judul tertentu. Dengan kata lain “undang-undang” adalah genus dan “Undang-Undang” adalah perkataan yang terkait dengan undang-undang tertentu atau dikaitkan dengan nama tertentu. 

Letak Hukum Perundang-undangan dalam sistem hukum.
Ada 2 Macam sistem hukum yaitu :

1. Sistem Hukum Eropa Kontinental
Berkembang di negara-negara Eropa (istilah lain Civil Law = hukum Romawi).
menurut sistem ini setiap hukum harus dikodifikasikan sebagai daar berlakunya hukum dalam suatu negara.
Prinsip utama atau prinsip dasar :
Prinsip utama atau prinsip dasar sistem hukum Eropa Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
Kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum. Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis, misalnya UU. Dalam sistem hukum ini, terkenal suatu adagium yang berbunyi ”tidak ada hukum selain undang-undang”. Dengan kata lain hukum selalu diidentifikasikan dengan undang-undang (hukum adalah undang-undang).
Peran Hakim :
Hakim dalam hal ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena hakim hanya berperan menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya. Putusan Hakim : Putusan hakim tidak mengikat umum tetapi hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (doktrins res ajudicata) sbgmana yurisprudensi sebagai sistem hukum Anglo Saxon (Mazhab / Aliran Freie Rechtsbegung).
Sumber Hukum :
Sumber hukum sistem ini adalah :

1) Undang-undang dibentuk oleh legislatif (Statutes).
2) Peraturan-peraturan hukum’ (Regulation = administrasi negara= PP, dll), dan
3) Kebiasaan-kebiasaan (custom) yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

2. Sistem Hukum Anglo Saxon
Mula-mula berkembang di negara Inggris, dan dikenal dgn istilah Common Law atau Unwriten Law (hukum tidak tertulis). Sistem hukum ini dianut di negara-negara anggota persemakmuran Inggris, Amerika Utara,Kanada, Amerika Serikat.
Sumber Hukum :
1) Putusan–putusan hakim/putusan pengadilan atau yurisprudensi (judicial decisions). Putusan-putusan hakim mewujudkan kepastian hukum, maka melalui putusan-putusan hakim itu prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.
2) Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan hukum tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan administrasi negara diakui juga, kerena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis tersebut bersumber dari putusan pengadilan.
Putusan pengadilan, kebiasaan dan peraturan hukum tertulis tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum Eropa Kontinental.
Peran Hakim :
- Hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja. Hakim juga berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat.
- Hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim –hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis. Oleh karena itu, hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent). Namun, bila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum. Sistem hukum Anglo-Amerika sering disebut juga dengan istilah Case Law.

PERBEDAAN ANTARA COMMON LAW/ANGLO SAXON DENGAN CIVIL LAW/EROPA KONTINENTAL

SISTEM PERATURAN
COMMON LAW : Didominasi oleh hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan melalui putusan hakim
COMMON LAW :Tidak ada pemisahan yang tegas dan jelas antara hukum publik dan privat

CIVIL LAW : Hukum tertulis (kodifikasi)/ Undang-undang
CIVIL LAW : Ada pemisahan secara tegas dan jelas antara hukum publik dengan hukum privat

SISTEM PERADILAN

  • COMMON LAW : Menggunakan juri yang memeriksa fakta kasusnya menetapkan kesalahan dan hakim hanya menerapkan hukum dan menjatuhkan putusan
  • Hakim terikat pada putusan hakim sebelumnya dalam perkara yang sejenis melalui asas The Binding of precedent.
  • Adversary system :pandangan bahwa didalam pemeriksaan peradilan selalu ada dua pihak yang saling bertentangan baik perkara perdata atau pidana

  • CIVIL LAW : Tidak menggunakan juri sehingga tanggung jawab hakim adalah memeriksa kasus, menentukan kesalahan, serta menerapkan hukumnya sekaligus menjatuhkan putusan.
  • Hakim tidak terikat dan tidak wajib  mengikuti putusan hakim sebelumnya.
  • Hanya dalam perkara perdata yang melihat adanya dua belah pihak yang bertentangan (penggugat dan tergugat)dan perkara pidana keberadaan terdakwa bukan sebagai pihak penentang


 Dari 2 sistem hukum diatas maka hukum perundang-undangan termasuk di dalam sistem hukum Sistem Hukum Eropa Kontinental. Karena sistem hukum eropa continental (civil law) lebih mengacu pada atau dasarnya adalah peraturan perundang-undangan.
Adapun domain / ruang lingkup/ batasan dari studi hukum perundang-undangan.
Batasan Peraturan perundang-undangan menurut Hamid S Attamimi adalah perautran Negara, di tingkat pusat dan ditingkat daerah yang dibentuk berdasar kewenangan perundang-undangan.
Batasannya yakni :

  • Peraturan perundang-undangan berupa keputtusan tertulis, mempunyai bentuk dan format tertentu
  • Dibentuk karena ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik tingkat pusat maupun daerah
  • Berisi aturan aturan ,pola tingkah laku bersifat mengatur dan ltidak sekali jalan (einmahlig)
  • Mengikat secara umum artinya tidak ditujukan kepada orang atau individu terentu (tidak bersifat individual).
Pendekatan yuridis formil :

  • Pendekatan berdasarkan pada asas-asas hukum yang mendasari ketentuan-ketentuan atau peraturan.
  • Misalnya ketentuan suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang dasar yaitu UUD 1945.

Pendekatan filosofis.

  • Pendekatan berdasarkan pandangan hidup bangsa.
  • Misalnya di Indonesia kajian hukum pada masyarakat harus bersumber pada palsafah bangsa yaitu pancasila.

Pendekatan sosiologis.

  • Suatu pendekatan (sudut) kemasyarakatan khususnya politis, artinya ketentuan peraturan yang berlaku hakekatnya merupakan hasil keputusan politis.

Pendekatan historis.

  • Suatu pendekatan yang bersumber pada sudut pandang sedarah.
  • Artinya lahirnya ketentuan peraturan perundang-undangan tidak lepas dari prosesi sejarah.
  • Misalnya kronologis pembuatannya ataupun masa dimana peraturan itu dibuat.


Thursday, April 10, 2014

April 10, 2014

Pancasila sebagai Ideologi Negara

Pancasila sebagai Ideologi Negara

Yang dimaksud dengan istilah Ideologi Negara adalah kesatuan gagasan-gagasan dasar yang sistematis dan menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya baik individual maupun sosial dalam kehidupan kenegaraan. Ideologi negara menyatakan suatu cita-cita yang ingin dicapai sebagai titik tekanannya dan mencakup nilai-nilai yang menjadi dasar serta pedoman negara dan kehidupannya.
           
Pancasila sebagai ideologi negara dengan tujuan segala sesuatu dalam bidang pemerintahan ataupun semua yang behubungan dengan hidup kenegaraan harus dilandasi dalam hal titik tolak pelaksanaannya, dan diarahkan dalam mencapai tujuannya dengan pancasila. Dengan menyatukan cita-cita yang ingin dicapai ini maka dasarnya adalah sila kelima, ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang dijiwai oleh sila-sila yang lainnya sebagai kesatuan.
Di dalam Pancasila telah tertuang cita-cita, ide-ide, gagasan-gagasan yang ingin dicapai bangsa Indonesia. Oleh karena itu Pancasila dijadikan Ideologi Bangsa.


April 10, 2014

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Negara

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Negara

Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari, dengan kata lain Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup di segala bidang. Tingkah laku dan tindakan perbuatan setiap warga negara Indonesia harus dilandasi dari semua sila Pancasila, karena Pancasila adalah satu kesatuan dan tidak dapat dilepas-pisahkan  dari yang satu dengan yang lain.
Pancasila yang harus dihayati  dan dijadikan pandangan hidup bangsa dan negara adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, dengan demikian jiwa beragama (sila pertama), jiwa berperikemanusiaan (sila kedua), jiwa berkebangsaan (sila ketiga), jiwa berkerakyatan (sila keempat), dan jiwa yang menjunjung tinggi keadaan sosial (sila kelima).



April 10, 2014

Pancasila Sebagai Dasar Negara

Pancasila Sebagai Dasar Negara
Secara formal pancasila dapat dikatakan sebagai sebagai dasar negara. Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Suatu bangsa tidak akan dapat berdiri dengan kokoh tanpa dasar negara yang kuat dan tidak dapat mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang akan dicapai tanpa Pandangan Hidup. Dengan adanya Dasar Negara, suatu bangsa tidak akan terombang ambing dalam menghadapi permasalahan baik yang dari dalam maupun dari luar. Pancasila Sebagai Dasar Negara tentunya memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi Pancasila Adalah sebagai berikut:

  • Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, artinya Pancasila lahir bersama dengan lahirnya bangsa Indonesia dan merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah lakunya sehingga dapat membedakan dengan bangsa lain.
  • Perjanjian Luhur artinya Pancasila telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia).
  • Sumber dari segala sumber tertib hukum artinya; bahwa segala peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia harus bersumberkan Pancasila atau tidak bertentangan dengan Pancasila.
  • Cita- cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual yang berdasarkan Pancasila.


Sunday, April 6, 2014

April 06, 2014

Perbedaan Parate Execute dengan Eksekusi Dibawah Tangan

Perbedaan Parate Execute dengan Eksekusi Dibawah Tangan
Bahwa sebagai perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan Pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan apabila Debitor Cidera janji adalah dengan melakukan Parate Executie yang merupakan kemudahan yang diberikan oleh undang-undang.
Parate Executie adalah kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri barang yang menjadi obyek jaminan kalau debitor cidera janji tanpa harus meminta fiat (persetujuan) dari Ketua Pengadilan. Di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ) dan Undang-Undang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ) masing-masing telah mengatur mengenai Parate Executie ini.
Dalam UUHT yang mengatur mengenai Lembaga Parate Executie ini adalah pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut : “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut “. 
Sedangkan dasar berpijaknya untuk melakukan eksekusi adalah pasal 20 ayat 1 huruf a
Dengan demikian unsur-unsur esensi dalam pasal tersebut adalah :

1. Debitor cidera janji
2. Kreditor Pemegang Hak Tanggungan pertama diberi hak
3. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
4. Syarat penjualan melalui pelelangan umum
5. Hak Kreditor mengambil pelunasan piutangnya dari hasilpenjualan
6. Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih. 

Hal lain yang perlu dikaji adalah ketentuan pasal 11 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “ Dalam Akta Pemberian Hak tanggungan dapat dicantumkan janji – janji , antara lain janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji. 
Ketentuan ini atau kewenanagan ini sebenarnya tidak perlu lagi dicantumkan /diperjanjikan dalam APHT, karena secara hukum hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri telah diberikan kepada pemegang hak tanggungan pertama melaui ketentuan pasal 6.
Sungguh suatu hal yang aneh kalau pembuat undang-undang memberika kesempatan kepada pemegang hak tanggungan untuk dalam APHT memperjanjikan hak untuk , dalam hal debitur cidera janji menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri, karena parate eksekusi itu sendiri pada dasarnya adalah ex legi dalam pasal 6 UUHT bukan berdasarkan janji
Didalam undang-undang jamina fidusia terdapat dua pengaturan yang mubazir mengenai parate eksekusi ini yaitu ketentuan pasal 15 ayat 3 dan ketentuan pasal 29 ayat 1 hurf b. 
Hal ini tidak sama dengan pengaturan parate eksesui yang ada lama UUHT yang memberikan hak kepada pemengan hak tanggungan pertama dengan kekuasaannya sendiri untuk menjual benda yang menjai objek hak tanggungan dan meletakkan dasar pelaksanaan eksekusinya pada pasal 20 ayat 1 huruf a. jadi hanya satu pasal saja .
Dalam UUJF parate eksekusi bukan janji melainkan hak yang diberikan oleh Undang-undang.
Sedangkan dalam UUHT itu merupaan janji dan juga ex legi (pemberian UU). 

Dalam pasal 15 ayat 3 dari UUJF menyatakan bahwa “ Apabila debitor cedera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuatannya sendiri “Dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai cara melaksanakan eksekusi, hanya meletakkan hak bagi Kreditur untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidussia atas kekuatannya sendiri. Ketentuan ini ditindak lanjuti oleh pasal 29 ayat 1 sub b yang menyatakan bahwa “penjualan benda yang menjadi objek Jaminan fidusia atas kekuasaan penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. 

Dengan adanya ketentuanini secara hukum, undang-undang memberikan hak atau wewenang kepada kreditor (peenrima fidusia) atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi) untuk menjual benada yang menjadi objek jaminan fidusia guna mendapatkan pelunasan piutangnya. Artinya tanpa meminta bantuan Ketua atau juru sita dari pengadilan negeri yang bersnangkutan, kreditor dapat meminta bantuan dari Kantor Lelang Umum untuk melakukan penjuala secara umum atau lelang atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Bahwa dengan adanya ketentuan pasal 29ayat 1 sub c berarti juga diberikan kemungkinan kepada penerima jaminan fidussia untuk menjual sendiri benda yang menjadi objek jaminan fidusisa (parate eksesiki) melalui cara dibawah tangan, bilamana pihak kreditur memandang bahwa penjualan melalui pelelangan dimuka umum kurang menguntunkan. Ini berarti parate eksekusi atas objek jaminan fidusia bukan hanya satu-satunya melalui pelelangan secara umum tapi juga bisa dilakkukan melaui penjualan di bawah tangan asalkan dilakukan berdasarka kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia, dapat memperoleh keuntungan /harga yang tertinggi yang menguntungkan para pihak.



April 06, 2014

Perbedaan Objek Hak Tanggungan,Objek Hipotek dan Credietverband

Perbedaan Objek Hak Tanggungan,Objek Hipotek dan Credietverband
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:


  1. dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
  2. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
  3. mempunyai sitat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan
  4. memerlukan penunjukan dengan undang-undang

Di dalam KUH Perdata dan ketentuan mengenai Crediet-verband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, telah diatur tentang objek hipotek dan credietverband. Objek hipotek dan credietverband meliputi:

1. hak milik (eigendom);
2. hak guna bangunan (HGB);
3. hak guna usaha (HGU).

Objek hipotek dan credietverband hanya meliputi hak-hak atas tanah saja tidak meliputi benda-benda yang melekat dengan tanah seperti bangunan, tanaman segala sesuatu di atas tanah. Namun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak hanya pada ketiga hak atas tanah tersebut yang menjadi objek hak tanggungan, tetapi telah ditambah dan dilengkapi dengan hak-hak lainnya. Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 telah ditunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang.

Ada lima jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu:
1. Hak milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas negara;
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.