Perbedaan Parate Execute dengan Eksekusi Dibawah Tangan - Feel in Bali

Sunday, April 6, 2014

Perbedaan Parate Execute dengan Eksekusi Dibawah Tangan

Bahwa sebagai perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan Pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan apabila Debitor Cidera janji adalah dengan melakukan Parate Executie yang merupakan kemudahan yang diberikan oleh undang-undang.
Parate Executie adalah kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri barang yang menjadi obyek jaminan kalau debitor cidera janji tanpa harus meminta fiat (persetujuan) dari Ketua Pengadilan. Di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ) dan Undang-Undang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ) masing-masing telah mengatur mengenai Parate Executie ini.
Dalam UUHT yang mengatur mengenai Lembaga Parate Executie ini adalah pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut : “ Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut “. 
Sedangkan dasar berpijaknya untuk melakukan eksekusi adalah pasal 20 ayat 1 huruf a
Dengan demikian unsur-unsur esensi dalam pasal tersebut adalah :

1. Debitor cidera janji
2. Kreditor Pemegang Hak Tanggungan pertama diberi hak
3. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
4. Syarat penjualan melalui pelelangan umum
5. Hak Kreditor mengambil pelunasan piutangnya dari hasilpenjualan
6. Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih. 

Hal lain yang perlu dikaji adalah ketentuan pasal 11 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “ Dalam Akta Pemberian Hak tanggungan dapat dicantumkan janji – janji , antara lain janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji. 
Ketentuan ini atau kewenanagan ini sebenarnya tidak perlu lagi dicantumkan /diperjanjikan dalam APHT, karena secara hukum hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri telah diberikan kepada pemegang hak tanggungan pertama melaui ketentuan pasal 6.
Sungguh suatu hal yang aneh kalau pembuat undang-undang memberika kesempatan kepada pemegang hak tanggungan untuk dalam APHT memperjanjikan hak untuk , dalam hal debitur cidera janji menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri, karena parate eksekusi itu sendiri pada dasarnya adalah ex legi dalam pasal 6 UUHT bukan berdasarkan janji
Didalam undang-undang jamina fidusia terdapat dua pengaturan yang mubazir mengenai parate eksekusi ini yaitu ketentuan pasal 15 ayat 3 dan ketentuan pasal 29 ayat 1 hurf b. 
Hal ini tidak sama dengan pengaturan parate eksesui yang ada lama UUHT yang memberikan hak kepada pemengan hak tanggungan pertama dengan kekuasaannya sendiri untuk menjual benda yang menjai objek hak tanggungan dan meletakkan dasar pelaksanaan eksekusinya pada pasal 20 ayat 1 huruf a. jadi hanya satu pasal saja .
Dalam UUJF parate eksekusi bukan janji melainkan hak yang diberikan oleh Undang-undang.
Sedangkan dalam UUHT itu merupaan janji dan juga ex legi (pemberian UU). 

Dalam pasal 15 ayat 3 dari UUJF menyatakan bahwa “ Apabila debitor cedera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuatannya sendiri “Dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai cara melaksanakan eksekusi, hanya meletakkan hak bagi Kreditur untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidussia atas kekuatannya sendiri. Ketentuan ini ditindak lanjuti oleh pasal 29 ayat 1 sub b yang menyatakan bahwa “penjualan benda yang menjadi objek Jaminan fidusia atas kekuasaan penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. 

Dengan adanya ketentuanini secara hukum, undang-undang memberikan hak atau wewenang kepada kreditor (peenrima fidusia) atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi) untuk menjual benada yang menjadi objek jaminan fidusia guna mendapatkan pelunasan piutangnya. Artinya tanpa meminta bantuan Ketua atau juru sita dari pengadilan negeri yang bersnangkutan, kreditor dapat meminta bantuan dari Kantor Lelang Umum untuk melakukan penjuala secara umum atau lelang atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Bahwa dengan adanya ketentuan pasal 29ayat 1 sub c berarti juga diberikan kemungkinan kepada penerima jaminan fidussia untuk menjual sendiri benda yang menjadi objek jaminan fidusisa (parate eksesiki) melalui cara dibawah tangan, bilamana pihak kreditur memandang bahwa penjualan melalui pelelangan dimuka umum kurang menguntunkan. Ini berarti parate eksekusi atas objek jaminan fidusia bukan hanya satu-satunya melalui pelelangan secara umum tapi juga bisa dilakkukan melaui penjualan di bawah tangan asalkan dilakukan berdasarka kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia, dapat memperoleh keuntungan /harga yang tertinggi yang menguntungkan para pihak.