Sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang – Undang No.15 tahun 1992 yang menyatakan:
1) Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggung jawab atas :
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
2) Batas jumlah ganti rugi terhadap tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya dalam Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara. Pada Pasal 40 dinyatakan “Perusahaan angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap calon pengguna jasa angkutan udara.” Pada Pasal 41 dinyatakan :
1) Perusahaan udara niaga wajib mengutamakan pengangkutan calon penumpang atau barang yang pemiliknya telah melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian pengangkutan yang disepakati.
2) Dalam hal terjadi keterlambatan atau penundaan dalam pengangkutan karena kesalahan pengangkut, perusahaan angkutan wajib memberikan pelayanan yang layak kepada penumpang atau memberikan ganti rugi atas kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang atau pemilik barang.
Dalam Pasal 42 dinyatakan Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal bertanggung jawab atas :
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
Di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, ketentuan tentang keterlambatan penerbangan diatur pada Pasal 28, yang menyatakan “apabila tidak ada perjanjian lain, pengangkut bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan karena keterlambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau barang.” “Ketentuan mengenai apabila tidak ada perjanjian lain” telah ditafsirkan oleh pengangkut sebagai ketentuan yang membolehkan dia untuk membuat persyaratan perjanjian pengangkut yang membebaskan pengangkut dari tanggung jawab tanpa menghiraukan apa yang menjadi penyebabnya, sebagaimana tercantum di dalam syarat-syarat perjanjian( conditions of contract) yang terdapat pada tiket penumpang dan tiket barang pada pengangkutan dalam negeri, yang menyatakan”pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”.
Tafsir ini sebenarnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 Konvensi Warsawa 1929 yang menyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa penumpang, bagasi atau kargo akibat adanya kelambatan selama dalam pengangkutan udara.
Menurut K. Martono dalam wawancaranya dengan Hukum Online, Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) tidak perlu dipakai.“Dulu OPU merupakan terjemahan dari Konvensi Warsawa 1929, tapi tidak tahu kok muncul perkataan itu (pengangkut-tidak
bertanggungjawab atas keterlambatan). Oleh karena itu sekarang banyak disalahgunakan maskapai,” ujarnya. juga menambahkan, sebenarnya Konvensi Warsawa menyebutkan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dengan demikian, kata Martono, dalam kasus keterlambatan harus digunakan UU Penerbangan Pasal 43 Ayat (1) yang menyebutkan perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggungjawab atas (a) kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; (b) musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; (c) keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut. Dan dapat menggunakan PP No. 40/1995 sebagai aturan pelaksana.
Berdasarkan ketentuan di atas,dapat dikemukakan bahwa secara normatif telah ada peraturan yang mengatur mengenai tanggung jawab perusahaan penerbangan apabila terjadi keterlambatan penerbangan.