Dari
perjanjian pengangkutan barang-barang tersebut terbit bagi mereka perikatan
untuk memberi, pasal 1235 KUHPerdata. Bersambung dengan pasal-pasal 1338
ayat-ayat 1 dan 3 KUHPerdata. Perikatan di muka berarti : dengan mentaati
perjanjian pengangkutan inkonkreto, pengangkut dengan etikad baik harus
menyelenggarakan pengangkutan barang-barang yang dipercayakan kepadanya itu
dengan sebaik-baik dan dengan sendiri juga dengan secepat-cepatnya; lagi pula
pengankut selama pengangkutan, ialah mulai diterimanya barang-barang sampai
diserahkannya kepada (biasanya) pihak dialamati di tempat tujuan, harus
memeliharanya dengan baik-baik juga, ialah sepertinya ia seorang rumah orang
yang baik terhadap barang-barang pengangkutan itu. Ini bagi pengangkut berarti
melakukan segala ikhtiar agar barang-barang pengangkutan itu dengan lengkap dan
utuh tidak rusak dan berkurang dapat diserahkan di tempat tujuan kepada yang
berhak menerimanya.
Sebagai
prestasi balasan haruslah dibayar biaya pengangkutan kepada pengangkut. Karena
biasanya pihak pengirim itu adalah lain orang dari pada pihak penerima dapat
pula diperjanjikan, apakah pembayaran biasanya pengangkutan itu sudah harus
dibayar pada ketika mengirimkan barang-barang atau pada saat penerima
barang-barang ditempat tujuan oleh penerima.
Dalam hal ini, kewajiban
utama pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang serta menerbitkan
dokumen pengangkutan, sebagai imbalan haknya memperoleh biaya pengangkutan dari
penumpang atau pengirim. Pihak-pihak dapat memperjanjikan bahwa disamping
kewajiban utama, pengangkut wajib:
a. Menjaga
dan merawat penumpang serta memelihara barang yang diangkut dengan
sebaik-baiknya.
b. Melepaskan
dan menurunkan penumpang di tempat pemberhentian atau tujuan dengan aman dan
selamat.
c. Menyerahkan
barang yang diangkut kepada penerima dengan utuh, lengkap, tidak rusak, atau
tidak terlambat.
Perusahaan
pengangkutan umum wajib menggembalikkan biaya pengangkutan yang telah dibayar
oleh penumpang atau pengirim jika terjadi pembatalan pemberangkatan kendaraan
umum.[1]
Untuk memenuhi kewajiban utama pengembalian biaya pengangkutan, pengangkut
berhak memperoleh kembali dokumen pengangkutan dari penumpang atau pengirim
sebgai bukti bahwa biaya pengangkutan memang sudah dibayar lunas sebelumnya dan
sesduah dikembalikan kepada penumpang atau pengirim.
Pengangkut
wajib menggunakan kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor
untuk barang dalam penyelenggarakan pengangkutan darat. Kendaraan bermotor
untuk penumpang adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk pengangkut
penumpang baik dengan mauapun tanpa tempat bagasi. Ketentuan ini dimaksudkan
terutama untuk menjga keselamtan dan keamanaan penumpang. Oleh karena itu penggunaaan
kendaraan bermotor untuk barang dilarang digunakan menggangkut penumpang.
Disamping itu dapat diperjanjikan pula bahwa pengangkut tidak wajib atau
menolak mengangkut barang yang dilarang undang-undang atau membahayakan
ketertiban dan kepentingan umum. Barang yang dilarang itu misalnya, barang
selundupan, petasan, berbagai jenis narkotik, ecstasy, minuman keras dan hewan
yang dilindungi.
Tanggung jawab pengangkut
Perusahaan
pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang,
pengirim, atau pihak ketiga karena kelalaian nya dalam melaksanakan pelayanan
pengangkutan.[2]
Selama pelaksanaan pengangkutan, keselamatan penumpang atau barang yang
diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan
umum. Oleh karena itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan
umum dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh
penumpang atau pengirim, yang timbul karena pengangkutan yang dilakukaknnya.
Dengan beban tanggung jawab ini, pengangkut didorong supaya berhati-hati dalam
melaksanakan pengangkutan. Untuk mengantisipasi tanggung jawab yang timbul,
perusahaan pengangkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. [3]
Tanggung jawab perusahaan
pengangkutan umum terhadap penumpang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai
di tempat tujuan yang telah disepakati. Demikian juga halnya dengan tanggung
jawab terhadap pemilik barang(pengirim) dimulai sejak barang diterima untuk
diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim atau penerima.
Besarnya ganti kerugian adalah
sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh penumpang, pengirim barang,
atau pihak ketiga. Kerugian secara nyata ini adalah ketentuan undang-undang
yang tidak boleh disampingi oleh pengangkut melalui ketentuan perjanjian yang
menguntungkannya karena ketentuan ini bersifat memaksa (dwingend recht). Tidak
termasuk dalam pengertian kerugian yang secara nyata diderita, antara lain :
a. Keuntungan
yang diharapkan akan diperoleh;
b. Kekuranganyamanan
akibat kondisi jalan atau jembatan yang dilalui selama dalam perjalanan; dan
c. Biaya
atas pelayanan yang sudah dinikmati.
Pengemudi
dan pemilik kendaraan bertanggung jawab terhadap kendaraan berikut muatannya
yang ditinggalkan di jalan. Ini dapat diartikan jika muatan (penumpang dan
barang) yang ditinggalkan di jalan itu menderita kerugian, pengemudi dan
pemilik kendaraan wajib membayar ganti kerugian bersama-sama secara tanggung
renteng.
Pengemudi
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang ataupemilik barang
atau pihak ketiga yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam
mengemudikan kendaraan bermotor. Dalam hal kecelakaan yang melibatkan lebih
dari satu orang pengemudi, maka tanggung jawab atas kerugian materi yang
ditimbulkannya ditanggung secara bersama-sama (tanggung renteng). [4]
Dari
perikatan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim barang, timbul suatu
hukum yang saling mengikat antara para pihak yang terkait dalam perikatan
tersebut. Adapun hukum yang mengikat tersebut adalah berupa hak dan kewajiban.
Dan kami menitikberatkan pada pembahasan tentang tanggung jawab yang berkenaan
dengan pengangkut atas barang angkutannya.
Kewajiban-kewajiban
pengangkut pada umumnya antara lain adalah:
1.Mengangkut
penumpang atau barang-barang ke tempat tujuan yang telah ditentukan.
2.Menjaga keselamatan, keamanan penumpang,
bagasi barang dengan sebaik-baiknya.
3.Memberi
tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.
4.Menjamin
pengangkutan tepat pada waktunya.
5.Mentaati
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dari
bahasan diatas, dapat dipahami tentang adanya unsur tanggung jawab pengangkut
atas sesuatu yang diangkutnya tersebut. Dalam KUHD, pertanggungjawaban pengangkut
diatur dalam pasal 468. Pada ayat (1), dinyatakan bahwa pengangkut wajib
menjamin keselamatan barang dari saat diterimanya hingga saat diserahkannya.
Pada ayat (2) dijelaskan tentang penggantirugian atas barang dan ketentuannya,
dan pada ayat (3), bahwa pengangkut bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
oleh awaknya dan atas alat-alat yang digunakannya dalam pengangkutan.
Drs.
Suryatin, dalam bukunya Hukum Dagang I dan II (Pradnya Paramita, 1983, hal
223-225) tentang pertanggungan jawab adalah sebagai berikut;
Oleh karena dalam ayat (2) disebutkan “tidak
dapat dicegah maupun dihindarkan secara layak”, maka harus dipertimbangkan
apakah kerugian-kerugian yang diderita tadi dapat dicegah atau dihindarkan atau
tidak, menurut daya kemampuan si pengangkut. Dan adanya perkataan “secara
layak”, maka pertanggungjawaban si pengankut tergantung pada keadaan dan/atau
kejadian yang tidak dapat dipastikan terlebih dahulu. Sehingga
pertanggungjawabannya merupakan pertanggungjawaban secara relatif.
Berbeda dengan ayat (3), yang merupakan suatu pertanggungjawaban secara mutlak. Dan si pengangkut harus menyelidiki kemampuan pekerjanya dan alat yang akan digunakannya. Dan apabila terjadi pencurian barang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 469 KUHD, maka pengangkut hanya bertanggung jawab kalau ia diberitahu akan sifat dan harga barang sebelum diserahkan atau pada waktu diserahkan. Hal ini bertujuan agar pengangkut dapat mengetahui berat-ringan resiko yang dibebankan kepadanya. Ketentuan pada pasal 469 KUHD ini dikuatkan oleh pasal 470, dimana ditentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab apabila ia diberi keterangan yang tidak benar tentang sifat dan harga barang yang bersangkutan. Berkaitan dengan tanggungjawabnya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 468 KUHD, maka dalam pasal 470 KUHD si pengangkut tidak dibenarkan untuk mengadakan perjanjian untuk mengurangi atau menghapuskan tanggung jawabnya. Dalam pasal ini juga ditekankan bahwa pengangkut dapat diberi keringanan berkenaan dengan besarnya resiko yang menjadi bebannya. Sungguhpun pengangkut dapat mengurangi pertanggungjawabannya, namun perjanjian semacam itu tidak dapat berlaku, bila ternyata kerugian tersebut terjadi atas kelalaian pengangkut atau bawahan-bawahannya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 471 KUHD.
Dari
bahasan diatas, tentu ada acuan dasar pertanggungjawaban pengangkut terhadap
sesuatu yang diangkut olehnya.
Akan
tetapi tanggung jawab pengangkut dibatasi oleh Undang-Undang pengangkutan.
Undang-undang pengangkutan menentukan bahwa pengangkut bertanggung jawab
terhadap segala kerugian yang ditimbul akibat kesalahan atau kelalaian
pengangkut. Namun mengenai kerugian yang timbul akibat:
a. Keadaan
memaksa (force majeur)
b. Cacat
pada penumpang atau barang itu sendiri. Dan
c. Kesalahan
atau kelalaian penumpang atau pengirim
Pengangkut
dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian. Pembatasan atau
pembebasan tanggung jawab pengangkut, baik yang ditentukan dalam UU
Pengangkutan maupun perjanjian pengangkutan disebut eksonerasi (pembatasan atau
pembebasan tanggung jawab).
Luas
tanggung jawab pengangkut diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata
indonesia. Pengangkut
wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita, dan bunga
yang layak diterima jika dia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat
sepatutnya untuk menyelamatkan barang muatan.[5]
Biaya, kerugian, dan bunga pada umumnya terdiri atas kerugian yang telah
diderita dan laba yang seharusnya akan diterima.[6]
Apabila tanggung jawab tersebut tidak dipenuhi, dapat diselesaikan melalui gugatan
kemuka pengadilan yang berwenang atau gugatan melalui arbitrase.
[1] Pasal 44 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan
[2] Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan
[3] Pasal 46 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
[4] Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
[5] Pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.