Kewajiban dan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan umum di darat - Feel in Bali

Tuesday, March 25, 2014

Kewajiban dan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan umum di darat

Dari perjanjian pengangkutan barang-barang tersebut terbit bagi mereka perikatan untuk memberi, pasal 1235 KUHPerdata. Bersambung dengan pasal-pasal 1338 ayat-ayat 1 dan 3 KUHPerdata. Perikatan di muka berarti : dengan mentaati perjanjian pengangkutan inkonkreto, pengangkut dengan etikad baik harus menyelenggarakan pengangkutan barang-barang yang dipercayakan kepadanya itu dengan sebaik-baik dan dengan sendiri juga dengan secepat-cepatnya; lagi pula pengankut selama pengangkutan, ialah mulai diterimanya barang-barang sampai diserahkannya kepada (biasanya) pihak dialamati di tempat tujuan, harus memeliharanya dengan baik-baik juga, ialah sepertinya ia seorang rumah orang yang baik terhadap barang-barang pengangkutan itu. Ini bagi pengangkut berarti melakukan segala ikhtiar agar barang-barang pengangkutan itu dengan lengkap dan utuh tidak rusak dan berkurang dapat diserahkan di tempat tujuan kepada yang berhak menerimanya.
Sebagai prestasi balasan haruslah dibayar biaya pengangkutan kepada pengangkut. Karena biasanya pihak pengirim itu adalah lain orang dari pada pihak penerima dapat pula diperjanjikan, apakah pembayaran biasanya pengangkutan itu sudah harus dibayar pada ketika mengirimkan barang-barang atau pada saat penerima barang-barang ditempat tujuan oleh penerima.
                        Dalam hal ini, kewajiban utama pengangkut adalah mengangkut penumpang atau barang serta menerbitkan dokumen pengangkutan, sebagai imbalan haknya memperoleh biaya pengangkutan dari penumpang atau pengirim. Pihak-pihak dapat memperjanjikan bahwa disamping kewajiban utama, pengangkut wajib:
a.       Menjaga dan merawat penumpang serta memelihara barang yang diangkut dengan sebaik-baiknya.
b.      Melepaskan dan menurunkan penumpang di tempat pemberhentian atau tujuan dengan aman dan selamat.
c.       Menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima dengan utuh, lengkap, tidak rusak, atau tidak terlambat.
Perusahaan pengangkutan umum wajib menggembalikkan biaya pengangkutan yang telah dibayar oleh penumpang atau pengirim jika terjadi pembatalan pemberangkatan kendaraan umum.[1] Untuk memenuhi kewajiban utama pengembalian biaya pengangkutan, pengangkut berhak memperoleh kembali dokumen pengangkutan dari penumpang atau pengirim sebgai bukti bahwa biaya pengangkutan memang sudah dibayar lunas sebelumnya dan sesduah dikembalikan kepada penumpang atau pengirim.
Pengangkut wajib menggunakan kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor untuk barang dalam penyelenggarakan pengangkutan darat. Kendaraan bermotor untuk penumpang adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk pengangkut penumpang baik dengan mauapun tanpa tempat bagasi. Ketentuan ini dimaksudkan terutama untuk menjga keselamtan dan keamanaan penumpang. Oleh karena itu penggunaaan kendaraan bermotor untuk barang dilarang digunakan menggangkut penumpang. Disamping itu dapat diperjanjikan pula bahwa pengangkut tidak wajib atau menolak mengangkut barang yang dilarang undang-undang atau membahayakan ketertiban dan kepentingan umum. Barang yang dilarang itu misalnya, barang selundupan, petasan, berbagai jenis narkotik, ecstasy, minuman keras dan hewan yang dilindungi. 
Tanggung jawab pengangkut
Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim, atau pihak ketiga karena kelalaian nya dalam melaksanakan pelayanan pengangkutan.[2] Selama pelaksanaan pengangkutan, keselamatan penumpang atau barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum. Oleh karena itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan umum dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim, yang timbul karena pengangkutan yang dilakukaknnya. Dengan beban tanggung jawab ini, pengangkut didorong supaya berhati-hati dalam melaksanakan pengangkutan. Untuk mengantisipasi tanggung jawab yang timbul, perusahaan pengangkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. [3]
            Tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum terhadap penumpang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan yang telah disepakati. Demikian juga halnya dengan tanggung jawab terhadap pemilik barang(pengirim) dimulai sejak barang diterima untuk diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim atau penerima.
            Besarnya ganti kerugian adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh penumpang, pengirim barang, atau pihak ketiga. Kerugian secara nyata ini adalah ketentuan undang-undang yang tidak boleh disampingi oleh pengangkut melalui ketentuan perjanjian yang menguntungkannya karena ketentuan ini bersifat memaksa (dwingend recht). Tidak termasuk dalam pengertian kerugian yang secara nyata diderita, antara lain :
a.       Keuntungan yang diharapkan akan diperoleh;
b.      Kekuranganyamanan akibat kondisi jalan atau jembatan yang dilalui selama dalam perjalanan; dan
c.       Biaya atas pelayanan yang sudah dinikmati.

Pengemudi dan pemilik kendaraan bertanggung jawab terhadap kendaraan berikut muatannya yang ditinggalkan di jalan. Ini dapat diartikan jika muatan (penumpang dan barang) yang ditinggalkan di jalan itu menderita kerugian, pengemudi dan pemilik kendaraan wajib membayar ganti kerugian bersama-sama secara tanggung renteng.
Pengemudi bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang ataupemilik barang atau pihak ketiga yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor. Dalam hal kecelakaan yang melibatkan lebih dari satu orang pengemudi, maka tanggung jawab atas kerugian materi yang ditimbulkannya ditanggung secara bersama-sama (tanggung renteng). [4]
Dari perikatan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim barang, timbul suatu hukum yang saling mengikat antara para pihak yang terkait dalam perikatan tersebut. Adapun hukum yang mengikat tersebut adalah berupa hak dan kewajiban. Dan kami menitikberatkan pada pembahasan tentang tanggung jawab yang berkenaan dengan pengangkut atas barang angkutannya.
Kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya antara lain adalah:
1.Mengangkut penumpang atau barang-barang ke tempat tujuan yang telah ditentukan.
 2.Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan sebaik-baiknya.
3.Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.
4.Menjamin pengangkutan tepat pada waktunya.
5.Mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dari bahasan diatas, dapat dipahami tentang adanya unsur tanggung jawab pengangkut atas sesuatu yang diangkutnya tersebut. Dalam KUHD, pertanggungjawaban pengangkut diatur dalam pasal 468. Pada ayat (1), dinyatakan bahwa pengangkut wajib menjamin keselamatan barang dari saat diterimanya hingga saat diserahkannya. Pada ayat (2) dijelaskan tentang penggantirugian atas barang dan ketentuannya, dan pada ayat (3), bahwa pengangkut bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh awaknya dan atas alat-alat yang digunakannya dalam pengangkutan.
Drs. Suryatin, dalam bukunya Hukum Dagang I dan II (Pradnya Paramita, 1983, hal 223-225) tentang pertanggungan jawab adalah sebagai berikut;
 Oleh karena dalam ayat (2) disebutkan “tidak dapat dicegah maupun dihindarkan secara layak”, maka harus dipertimbangkan apakah kerugian-kerugian yang diderita tadi dapat dicegah atau dihindarkan atau tidak, menurut daya kemampuan si pengangkut. Dan adanya perkataan “secara layak”, maka pertanggungjawaban si pengankut tergantung pada keadaan dan/atau kejadian yang tidak dapat dipastikan terlebih dahulu. Sehingga pertanggungjawabannya merupakan pertanggungjawaban secara relatif.

Berbeda dengan ayat (3), yang merupakan suatu pertanggungjawaban secara mutlak. Dan si pengangkut harus menyelidiki kemampuan pekerjanya dan alat yang akan digunakannya. Dan apabila terjadi pencurian barang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 469 KUHD, maka pengangkut hanya bertanggung jawab kalau ia diberitahu akan sifat dan harga barang sebelum diserahkan atau pada waktu diserahkan. Hal ini bertujuan agar pengangkut dapat mengetahui berat-ringan resiko yang dibebankan kepadanya. Ketentuan pada pasal 469 KUHD ini dikuatkan oleh pasal 470, dimana ditentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab apabila ia diberi keterangan yang tidak benar tentang sifat dan harga barang yang bersangkutan. Berkaitan dengan tanggungjawabnya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 468 KUHD, maka dalam pasal 470 KUHD si pengangkut tidak dibenarkan untuk mengadakan perjanjian untuk mengurangi atau menghapuskan tanggung jawabnya. Dalam pasal ini juga ditekankan bahwa pengangkut dapat diberi keringanan berkenaan dengan besarnya resiko yang menjadi bebannya. Sungguhpun pengangkut dapat mengurangi pertanggungjawabannya, namun perjanjian semacam itu tidak dapat berlaku, bila ternyata kerugian tersebut terjadi atas kelalaian pengangkut atau bawahan-bawahannya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 471 KUHD.
Dari bahasan diatas, tentu ada acuan dasar pertanggungjawaban pengangkut terhadap sesuatu yang diangkut olehnya.
Akan tetapi tanggung jawab pengangkut dibatasi oleh Undang-Undang pengangkutan. Undang-undang pengangkutan menentukan bahwa pengangkut bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang ditimbul akibat kesalahan atau kelalaian pengangkut. Namun mengenai kerugian yang timbul akibat:
a.       Keadaan memaksa (force majeur)
b.      Cacat pada penumpang atau barang itu sendiri. Dan
c.       Kesalahan atau kelalaian penumpang atau pengirim
Pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian. Pembatasan atau pembebasan tanggung jawab pengangkut, baik yang ditentukan dalam UU Pengangkutan maupun perjanjian pengangkutan disebut eksonerasi (pembatasan atau pembebasan tanggung jawab).
Luas tanggung jawab pengangkut diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata indonesia. Pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita, dan bunga yang layak diterima jika dia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyelamatkan barang muatan.[5] Biaya, kerugian, dan bunga pada umumnya terdiri atas kerugian yang telah diderita dan laba yang seharusnya akan diterima.[6] Apabila tanggung jawab tersebut tidak dipenuhi, dapat diselesaikan melalui gugatan kemuka pengadilan yang berwenang atau gugatan melalui arbitrase.


[1] Pasal 44 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan
[2] Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan
[3] Pasal 46 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
[4] Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[5] Pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
[6] Pasal 1246 Kitab Undang-Undan Hukum Perdata Indonesia.