Feel in Bali: HUKUM KESEHATAN
Showing posts with label HUKUM KESEHATAN. Show all posts
Showing posts with label HUKUM KESEHATAN. Show all posts

Monday, January 28, 2013

January 28, 2013

LATAR BELAKANG TIMBULNYA MALPRAKTEK

LATAR BELAKANG TIMBULNYA MALPRAKTEK



LATAR BELAKANG TIMBULNYA MALPRAKTEK

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.
Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek. Jadi, malpraktek medis terjadi berawal dari adanya hubungan hukum antara dokter dengan pasien.

I. DEFINISI DAN PENGERTIAN MALPRAKTEK MEDIK

Malpraktek medic adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lasim dipergunakan dalam mengobati pasie atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, malpraktek medic adalah suatu tindakan atau perbuatan medic yang dilakukan atau diselenggarakan dengan jalan yang tidak baik atau salah atau tidak sesuai norma.

Dapat pula diatikan sebagai suatu bentuk kesalahan professional yang dapat menimbulkan luka-luka pada pasien sebagai akibat langsung dari suatu perbuatan atau kelalaian dokter.

II. STANDAR PELAYANAN MEDIK

Adalah suatu pedoman yang harus diikuti oleh dokter/dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran. Standar pelayanan medic ini juga sebagai pedoman dalam pengawasan praktek dokter, pembinaan serta upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia yang efektif dan efisien. Selain itu dimaksudkan juga untuk melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan yang tidak wajar dari masyarakat luas. Juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari praktek-praktek kedokteran yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran.
Selain itu SPM  ini dapat dijadikan tolok ukur mutu pelayanan tenaga kesehatan dan dimaksudkan pula agar para tenaga medis seragam dalam memberikan diagnose, dan setiap diagnose harus memenuhi criteria minimal yang terdapat dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan rumah sakit tersebut.
SPM  juga dapat difungsikan untuk kepentingan pembuktian di pengadilan apabila terjadi suatu sengketa.  Penerapan standar pelayanan medik harus dilakukan bertahap, mengingat kondisi dan  kapasitas kemampuan rumah sakit bervariasi bila ditinjau dari segi fisik konstruksi, peralatan, sumber daya manusia, pembiayaan dan sejarah perkembangan.
Standar pelayanan medis disusun oleh ikatan Dokter Indonesia sebagai satu-satunya
organisasi profesi di Indonesia yang mendapatkan masukan dari perkumpulan dokter seminat, yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan. Kandungan standar pelayanan medis terdiri dari standar penatalaksanaan 100 jenis penyakit dari 12 spesialis dan standar pelayanan penunjang dari 3 spesialis.

Just $2 per month

III. KASUS MALPRAKTEK MEDIK DAN BUKAN MALPRAKTEK MEDIK
a. kasus malpraktek medik
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.

b. bukan kasus malpraktek medik
Seorang ibu menangis histeris karena anaknya kejang-kejang. Jam 02.00 dinihari waktu itu suami istri itu membawa anaknya berobat ke klinik terdekat karena anaknya yang berusia 3 tahun panas tinggi, suhunya 41,7 derajat celsius. Anak itu kemudian diberikan obat yang dimasukkan melalui anus (pantatnya) berharap agar suhunya segera dan cepat turun. Namun begitu dokter hendak membalikkan badan, anak itu pun kejang, dan siibu menuding gara-gara obat yang barusan dimasukkan itulah yang menyebabkan anaknya kejang. Padahal karena panas tinggi itulah anaknya menjadi kejang, kenapa siibu harus nunggu larut malam padahal anaknya sudah seharian demam, nunggu panasnya begitu tinggi sampai terjadi kejang demam. Kebetulan terjadi sesaat setelah dokter masukkan  obat demamnya dan obat itu juga belum sempat diserap tubuh anak itu. Malpraktek jugakah itu?, untung setelah dijelaskan dan tetangga-tetangga membenarkan kata-kata dokter, suami istri beranak satu ini kemudian bisa mengerti bahwa kejang itu karena demam tinggi yang dialami anaknya bukan karena over dosis obat seperti yang dikatakannya.

IV. PROSEDUR TUNTUTAN MEDIK

Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya  kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3). Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.  Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
Jadi instansi petama yang akan menangani kasus masalah malpraktek pidana atau perdata adalah MKEK cabang atau wilayah bukan diteruskan ke pengadilan.  Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK dirujuk ke P3EK (Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran) Provinsi dan jika P3EK Provinsi tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK pusat.


V. JENIS JENIS MALPRAKTEK MEDIK

1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah kesalahan profesi karena kelalaian dalam melaksanakan etika profesi, maka sanksinya adalah sanksi etika yang berupa sanksi administrasi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Contoh konkrit yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.

2. Malpraktek Yuridik
Malpraktek yuridik dibedakan menjadi :
1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
Melakukan apa yang menurut  kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
Ada kerugian
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

2. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsure culpa lata atau kelaalaian berat atau “zware schuld” dan pula adanya akibat fatal atau serius.
1. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
2. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
3. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
3. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
Dua macam pelanggaran administrasi tersebut adalah :
a. Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktek kedokteran
b. Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis




Advertise
Bali is beautiful island and have a lot of unique culture. Your tour will be really fun, enjoyable and get Cheap Bali Tour Packages with number one service for your trip. Here you can choice your Bali private tour our Bali Tour package, Bali Traditional tours, Bali Spa, etc with cheap price, but good service with profesional, and friendly. Fear of tour travel agents who give bad service and making you lose money and effort? fear of bad, evil travel tour agent who will harm you?

 CLICK HERE to Book It Now

Sunday, December 9, 2012

December 09, 2012

Pasal-pasal mana sajakah dalam KUHP yang terkait dengan Euthanasia?

  Pasal-pasal mana sajakah dalam KUHP yang terkait dengan Euthanasia?



  Pasal-pasal mana sajakah dalam KUHP yang terkait dengan Euthanasia?
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 344 KUHP
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalm perbuatan itu atau member sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal  359 KUHP
Barang siapa dengan kesalahannya (kealpaan) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
December 09, 2012

Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?

Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?


Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?
A.    Perkembangan Euthanasia di Indonesia
Euthanasia di Indonesia dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana, karena merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap nyawa, hal ini terbukti dengan adanya Pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP yang berbunyi: "Barang siapa yang merampas nyawa orang lain yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “Euthanasia aktif”. Mengenai “Euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination).

B. Perkembangan Euthanasia di Luar Negeri.
Masalah hak untuk mati ini di beberapa negara maju sudah ada pengaturannya di dalam Perundang-undangan negara tersebut, seperti negara Eropa, tetapi hak untuk mati itu tidak bersifat mutlak, seperti adanya keputusan dari Pengadilan Negeri Leeuwarden yang menetapkan tolak ukur perumusan “tidak dikenai hukum” atau “tanpa hukuman” terhadap Euthanasia yang dilakukan. Sedangakan menurut negara Belanda yang pertama kali melegalkan Euthanasia, Euthanasia hanya dapat dilakukan kalau si pasien sendiri yang meminta dan telah memenuhi syarat-syarat untuk dilaksanakannya euthanasia.
Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan Euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan Euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru Euthanasia dapat dilaksanakan.


Konsep Tentang Kematian
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan IPTEK kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati. Beberapa konsep tentang kematian adalah
  • Mati sebagai berhentinya darah mengalir
  • Mati sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh
  • Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
  • Hilangnya manusia secara permanen untuk kemali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan juga diatur dalam PP. 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkin jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.
Kosep mati terlepasnya ruh dari tubuh sering meinimbulkan keraguan, misalnya tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikan menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak talah mati. Untuk kepentingan tranplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
Pusat pengendalian ini terdapat dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusisa itu secara fisik dan social telah mati.
Dalam keadaan demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi (DNR, do not resuscitation).
Ciri-ciri dari refleksinya batang otak adalah
  • Tidak ada respon terhadap cahaya
  • Tidak ada refleks kornea
  • Tidak ada reflek vestibule-okuler
  • Tidak adanya respon motor dalam distribusi saraf carnial terhadap rangasangan adekuat pada area somatic
  • Tidak ada reflek muntah atau reflek batuk terhadap rangsangan kateter isap yang dimasukkan dalam trakea
Dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 117 juga dijelaskan mengenai kematian, yakni seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.
December 09, 2012

Bagaimanakah pengertian Euthanasia dan apa sajakah jenis-jenis tindakan euthanasia dalam pelayanan kedokteran?

  Bagaimanakah pengertian Euthanasia dan apa sajakah jenis-jenis tindakan euthanasia dalam pelayanan kedokteran?



Bagaimanakah pengertian Euthanasia dan apa sajakah jenis-jenis tindakan euthanasia dalam pelayanan kedokteran?
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang). Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi, euthanasia diartikan: 1). Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien. 2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien 3). Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.
Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti: 1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir. 2). Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang. 3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
  1. euthanasia aktif
  2. euthanasia pasif
  3. euthanasia volunter
  4. euthanasia involunter
1.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:
  1. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
  2. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2.      Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.

3.         Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
4.         Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.