Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian? - Feel in Bali

Sunday, December 9, 2012

Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?



Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?
A.    Perkembangan Euthanasia di Indonesia
Euthanasia di Indonesia dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana, karena merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap nyawa, hal ini terbukti dengan adanya Pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP yang berbunyi: "Barang siapa yang merampas nyawa orang lain yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “Euthanasia aktif”. Mengenai “Euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination).

B. Perkembangan Euthanasia di Luar Negeri.
Masalah hak untuk mati ini di beberapa negara maju sudah ada pengaturannya di dalam Perundang-undangan negara tersebut, seperti negara Eropa, tetapi hak untuk mati itu tidak bersifat mutlak, seperti adanya keputusan dari Pengadilan Negeri Leeuwarden yang menetapkan tolak ukur perumusan “tidak dikenai hukum” atau “tanpa hukuman” terhadap Euthanasia yang dilakukan. Sedangakan menurut negara Belanda yang pertama kali melegalkan Euthanasia, Euthanasia hanya dapat dilakukan kalau si pasien sendiri yang meminta dan telah memenuhi syarat-syarat untuk dilaksanakannya euthanasia.
Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan Euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan Euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru Euthanasia dapat dilaksanakan.


Konsep Tentang Kematian
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan IPTEK kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati. Beberapa konsep tentang kematian adalah
  • Mati sebagai berhentinya darah mengalir
  • Mati sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh
  • Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
  • Hilangnya manusia secara permanen untuk kemali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan juga diatur dalam PP. 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkin jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.
Kosep mati terlepasnya ruh dari tubuh sering meinimbulkan keraguan, misalnya tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikan menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak talah mati. Untuk kepentingan tranplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
Pusat pengendalian ini terdapat dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusisa itu secara fisik dan social telah mati.
Dalam keadaan demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi (DNR, do not resuscitation).
Ciri-ciri dari refleksinya batang otak adalah
  • Tidak ada respon terhadap cahaya
  • Tidak ada refleks kornea
  • Tidak ada reflek vestibule-okuler
  • Tidak adanya respon motor dalam distribusi saraf carnial terhadap rangasangan adekuat pada area somatic
  • Tidak ada reflek muntah atau reflek batuk terhadap rangsangan kateter isap yang dimasukkan dalam trakea
Dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 117 juga dijelaskan mengenai kematian, yakni seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.