Bagaimanakah perkembangan
Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?
A. Perkembangan Euthanasia di Indonesia
Euthanasia
di Indonesia dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana, karena merupakan
salah satu bentuk kejahatan terhadap nyawa, hal ini terbukti dengan adanya
Pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP yang
berbunyi: "Barang siapa yang merampas nyawa orang lain yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun".
Indonesia
sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang
Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “Euthanasia aktif”. Mengenai
“Euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai
bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral,
tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan
untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
Sampai
saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan
menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas
permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah
perbuatan yang tidak baik. Terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan
dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan
diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan
yang hebat. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi
manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right
of self determination).
B. Perkembangan Euthanasia di Luar Negeri.
Masalah hak untuk mati ini di beberapa negara maju sudah ada
pengaturannya di dalam Perundang-undangan negara tersebut, seperti negara
Eropa, tetapi hak untuk mati itu tidak bersifat mutlak, seperti adanya
keputusan dari Pengadilan Negeri Leeuwarden yang menetapkan tolak ukur
perumusan “tidak dikenai hukum” atau “tanpa hukuman” terhadap Euthanasia yang
dilakukan. Sedangakan menurut negara Belanda yang pertama kali melegalkan
Euthanasia, Euthanasia hanya dapat dilakukan kalau si pasien sendiri yang
meminta dan telah memenuhi syarat-syarat untuk dilaksanakannya euthanasia.
Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah
“physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan Euthanasia lewat
undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan Euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru Euthanasia dapat dilaksanakan.
Konsep Tentang Kematian
Perkembangan
euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha
manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan
mempergunakan kemajuan IPTEK kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia,
terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati.
Beberapa konsep tentang kematian adalah
- Mati
sebagai berhentinya darah mengalir
- Mati
sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh
- Hilangnya
kemampuan tubuh secara permanen
- Hilangnya
manusia secara permanen untuk kemali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Konsep
mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan juga diatur
dalam PP. 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung
dan paru tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah
memungkin jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipacu untuk
berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.
Kosep
mati terlepasnya ruh dari tubuh sering meinimbulkan keraguan, misalnya tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikan menimbulkan kesan seakan-akan nyawa
dapat ditarik kembali.
Mengenai
konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk
menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi
sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak talah mati. Untuk kepentingan
tranplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara moral tidak dapat diterima
karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
Pusat
pengendalian ini terdapat dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak
telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusisa itu secara
fisik dan social telah mati.
Dalam
keadaan demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan
resusitasi (DNR, do not resuscitation).
Ciri-ciri
dari refleksinya batang otak adalah
- Tidak
ada respon terhadap cahaya
- Tidak
ada refleks kornea
- Tidak
ada reflek vestibule-okuler
- Tidak
adanya respon motor dalam distribusi saraf carnial terhadap rangasangan
adekuat pada area somatic
- Tidak
ada reflek muntah atau reflek batuk terhadap rangsangan kateter isap yang
dimasukkan dalam trakea
Dalam
Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 117 juga dijelaskan
mengenai kematian, yakni seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem
jantung sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara
permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.