Feel in Bali: HUKUM ADAT
Showing posts with label HUKUM ADAT. Show all posts
Showing posts with label HUKUM ADAT. Show all posts

Sunday, April 2, 2017

April 02, 2017

Lembaga Kemasyarakatan Tradisional dan Wewenang Penjatuhan Sanksi Adat

Lembaga Kemasyarakatan Tradisional dan Wewenang Penjatuhan Sanksi Adat
Sumber Gambar : http://gfhome.ru/articles/zagadki-bali

Lembaga Kemasyarakatan Tradisional

       Soerjono Soekanto berpendapat bahwa lembaga sosial merupakan bentuk sistem kelembagaan sosial masyarakat tradisional. Lembaga sosial memiliki orientasi perilaku sosial ke dalam yang sangat kuat. Hal itu ditunjukkan dalam orientasi untuk memenuhi kebutuhan dari anggota lembaga sosial tersebut
       Lembaga kemasyarakatan adalah sebuah lembaga organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan peraturan Desa. Salah satu fungsi lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan.
       Dalam lembga masyarakat tradisional terikat satu sama lain berdasarkan ikatan komunal, yaitu suatu perasaan atau sentimen bersama berdasar ikatan kedaerahan, loyalitas, asal usul keturunan, kekerabatan, dan kepercayaan terhadap keyakinan batin tertentu. kelembagaan sosial masyarakat tradisional ini dapat kita jumpai di Indonesia, misalnya dalam sistem gotong royong di Jawa dan di dalam sistem banjar atau ikatan adat di Bali.
Contoh lembaga Kemasyarakatan Tradisional :
  • Karang Taruna mempunyai tugas menanggulangi berbagai masalah kesejahteraan sosial terutama yang dihadapi generasi muda, baik yang bersifat preventif, rehabilitatif, maupun pengembangan potensi generasi muda di lingkungannya.
  • Pager Gunung Berperan dalam kegiatan ekonomi kemasyarakatan dengan dibagi menjadi devisi atau unit-unit kegiatan seperti unit Pertanian Organik, unit Peternakan dan Perikanan, Unit Perkebunan dan Kehutanan, serta unit Simpan Pinjam.
  • Sambatan/gotong royong Sebuah kegiatan kebersamaan yang terorganisir oleh tokoh desa yang menyelenggarakan kegiatan saling membantu pihak yang punya kerja (gawe). Misalnya membangun rumah, membangun masjid, dan bersih jalan.
  • Banjar selain berfungsi secara administratif, juga berfungsi secara religius dan menangani fungsi-fungsi yang bersifat sosial, ekonomi, dan kultural. Pada umumnya di dalam satu Banjar memiliki rata-rata anggota 50 sampai 100 kepala keluarga. Setiap Banjar memiliki tempat atau pusat pertemuan yang disebut Balai Banjar.
  • Subak adalah salah satu bentuk lembaga kemasyarakatan pada masyarakat Bali yang bersifat tradisional dan yang dibentuk secara turun temurun oleh masyarakat umat Hindu Bali. Subak berfungsi sebagai satu kesatuan dari para pemilik sawah atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari satu sumber air atau bendungan tertentu. Subak merupakan satu kesatuan ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan.
  • Sekeha merupakan lembaga sukarela yang dibentuk atas dasar tujuan-tujuan tertentu. Di pulau dewata ini terdapat bermacam-macam sekeha di bidang kehidupan pertanian, kerajinan, kesenian, keagamaan, dan lain-lain.


Wewenang Penjatuhan Sanksi Adat


       Menurut Hakim Nyak Pha, penyelesaian sengketa secara adat mengikuti “ajaran menyelesaikan” bukan “ajaran memutus”. “Ajaran menyelesaikan” berpendirian bahwa suatu persengketaan atau perselisihan atau perkara, pemrosesannya haruslah sedemikian rupa, sehingga pihak-pihak yang bersengketa atau berselisih itu di kemudian hari dapat meneruskan kehidupan bersama mereka kembali sebagaimana sebelumnya. Dengan kata lain proses itu mampu mengembalikan keadaan diantara mereka diselesaikan.

       Menurut Prof. Dr. Mr. Soepomo,“ peradilan berdasarkan hukum adat membutuhkan hakim-hakim yang besar rasa tanggungjawabnya, yang berbydi luhur.”
Kewenangan penjatuhan sanksi adat ini biasanya diberikan kepada hakim desa adat yang dalam hal ini biasanya yang menjadi atau berperan sebagai hakim dalam desa adat biasanya orang yang dianggap menguasai pengetahuan tentang desa ataupun ajaran-ajaranjaran yang menjadi kepercayaan di masyarakat adat serta pemimpin-pemimpin desa adat.

April 02, 2017

Peghukuman Menurut Pidana Adat dan Pemidanaan menurut KUHP

Peghukuman Menurut Pidana Adat dan Pemidanaan menurut KUHP
Sumber Gambar : ensiklopediaindonesia.com – Upacara Ngaben

Obyek 


       Menurut KUHP Yang dapat dipidana hanyalah manusia, sedangkan menurut Hukum Pidana Adat yang akan menerima hukuman adalah Persekutuan hukum adat/ persekutuan yang berdasarkan hubungan darah  dapat dimintai pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh warganya.

Ketentuan delik
  1. Menurut KUHP Seseorang hanya dapat dipidana kalau mempunyai kesalahan (schuld), baik karena disengaja (opzet, dolus) atau karena kekhilafannya (culpa), sedangkan menurut Hukum Pidana Adat Seseorang sudah dapat dihukum karena peristiwa yang menimpa dirinya tanpa disengaja atau tanpa adanya kelalaianya.
  2. Menurut KUHP Pada dasarnya setiap setiap delik adalah menentang kepentingan negara / umum, sehingga setiap delik adalah persoalan negara, bukan persoalan individu secara pribadi yang terkena, sedangkan menurut Hukum Pidana Adat Terdapat delik yang hanya menjadi persoalan person / hanya menjadi persoalan keluarga korban, ada pula yang menjadi persoalan desanya.
Ketentuan Pengecualian

       Menurut KUHP orang hanya dapat dipidana kalau ia dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya, sedangkan menurut Hukum Pidana Adat Orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat dijatuhi hukuman, keadaan demikian menentukan berat ringannya hukuman.

Pembedaan Penggolongan

Menurut KUHP tidak mengenal perbedaan tingkat/kasta pada orang yang menjadi korban perbuatan pidana, sehingga pada dasarna perbuatan pidana yang ditujukan kepad setiap orang, hukumannya sama, sedangkan menurut Hukum Pidana Adat Di daerah tertentu mengenal tingkatan manusia. Semakin tinggi kedudukan atau kasta orang yang terkena perbuatan pidana  makin berat hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan delik, dan lebih berat jika dibadingkan dengan delik yang ditujukan kepada orang yang lebih rendah derajatnya.

Eigenrichting


       Menurut KUHP orang dilarang main hakim sendiri (eigenrichting), sedangkan menurut Hukum Pidana Adat Terdapat keadaan yang mengijinkan orang yang terkena delik menjadi hakim sendiri


Penggolongan Peran Dalam Kejahatan


      Menurut KUHP terdapat perbedaan hukuman antara orang yang melakukan delik dengan orang yang hanya membantu, membujuk atau hanya turut serta melakukan delik, sedangkan menurut Hukum Pidana Adat siapa saja yang turut melanggar peraturan hukum harus turut memulihkan kembali keseimbangan yang terganggu.


Percobaan

    Menurut KUHP dikenal adanya percobaan yang dapat dipidana, yaitu percobaan melakukan kejahatan, sedangkan menurut Hukum Pidana Adat Tidak ada orang yang dapat dipidana hanya karena melakukan percobaan saja, karena dalam sistem hukum adat suatu adatreactie hanya akan dilaksanaka kalau keseimbangan hukum dalam masyarakat terganggu.

April 02, 2017

Reaksi Adat dalam Delik Adat

Reaksi Adat dalam Delik Adat


     Soerojo Wignjodipoero berpendapat delik adalah suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-reaksi adat
      Menurut Prof. Dr. Mr. Soepomo, dinyatakan bahwa didalam Pandecten Van Het Adat Recht (BAB X) yang diterbitkan tahun 1936 dikatakan bahwa tindakan reaksi dan koreksi itu dapat berbuat sebagai berikut.
  1. pengganti kerugian imateriil dalam berbagai rupa, seperti paksaan menikahkan gadis yang telah dicemarkan; 
  2. pembayaran uang adat kepada pihak yang dirugikan atau benda suci sebagai pengganti kerugian rohani; 
  3. selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran; 
  4. penutup malu atau permintaan maaf; 
  5. berbagai rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan 
  6. pengasingan atau disingkirkan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.


Saturday, March 30, 2013

March 30, 2013

Contoh Masyarakat hukum adat di bali yang berasal dari azas genealogis (keturunan)

Contoh Masyarakat hukum adat di bali yang berasal dari azas genealogis (keturunan)


Disamping desa pakraman dan subak, di bali juga dikenal masyarakat yang berdasarkan kesamaan leluhur, yang disebut sekeha dadia, sekeha dewa dan sebutan-sebutan lainnya. Dengan demikian, masyarakat yang tergabung dalam sekeha dadia ini termasuk dalam masyarakat hukum adat genealogis. Mereka diikat oleh suatu tempat persembahyangan bersama yang merupakan tempat roh leluhur mereka bersemayam, yang disebut pura dadia, sanggah gede dan sebutan lainya. Sesungguhnya, disamping hidup sebagai anggota desa pakraman, seluruh masyarakat hindu bali terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok dadia ini, yang jumlah anggotanya bervariasi dan bertempat tinggal menyebar tidak pada suatu teritorial tertentu. Aktivitas utama kelompok dadia ini adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan ritual keagamaan yang ditujukan untuk menyembah roh leluhur mereka, serta aktivitas-aktivitas untuk pemeliharaan tempat persembahyangan bersama tersebut. Disamping mempunyai anggota, pengurus dan harta kekayaan sendiri, sekeha dadia juga mempunyai awig-awig yang dibuat oleh dan mengikat kelompok dadia tersebut, sehingga dapat diklasifikan sebagai masyarakat hukum.

Friday, December 7, 2012

December 07, 2012

Resume Hukum Adat

Resume Hukum Adat


Hukum adat yang terlahir dari dalam diri suatu masyarakat ada untuk menciptakan suatu keadaan yang harmonis. Harmonis itu sendiri merupakan suatu kondisi yang nyaman antara individu yang satu dengan yang lain dalam alam sekitarnya.dalam agama Hindu, dasar dari terbentuknya hubungan yang harmonis ini dikenal dengan konsep Tri HIta Karana, yang artinya adalah tiga penyebab kebahagian. Bagiannya antara lain:
1.    Prhayangan, merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan yang mana hal ini dapat diwujudkan dengan berbagai upacara Dewa Yadnya.
2.    Pawongan, yaitu hubungan antara manusia dengan sesama. Hubungan ini dapat diwujudkan dalam pergaulan masyarakat, misalnya saling menghormati, tolong-menolong, dan toleransi antar sesama.
3.    Palemahan, yaitu hubungan antara manusia dengan alam sekitar, hal ini dapat diwudkan dengan menjaga kelestarian alam skitar kita yang telah diciptakan oleh Tuhan, termasuk hewan dan tumbuhan yang ada.
Dalam Pawongan, konsep dasar dapat terwujudnya suatu keharmnisan adalah Tri Kaya Parisudha yang tediri atas:
a.    Manachika, yaitu pikiran yang baik dan benar
b.    Wacika, yaitu perkataan yang baik dan benar
c.    Kayika, yaitu perbuatan yang baik dan benar
Sumbernya adalah pikiran, pikiran yang baik itu harus disampaikan dengan ucapan, yang kemudian direalisasikan dengan suatu tindakan. Tindakan itulah yang merupakan fakta. Segala tindakan tersebut berkaitan dengan nilai yang ada dalam masyarakat. Ucapan itu ada 4:
1.    Wacana nimitating kala : jangan sampai suatu perkataan menimbulkan bencana.
2.    Wacana nimitating pati : jangan sampai perkataan menimbulkan kematian.
3.    Wacana nimitating mitra : suatu perkataan akan menghasilkan teman.
4.    Wacana nimitating laksmi : berbicaralah dengan santun agar menemukan kesenangan.
Manusia sebagai indiividu memiliki tindakan. Tindakan itu disebut dengan cara (mores). Apabila cara itu diikuti oleh orang lain, maka akan menjadi suatu kebiasaan (folkways). Kebiasaan itu akan semakin meningkat , banyak yang mematuhi maka akan menjadi suatu adat. Dari sinilah lahir hukum adat. Sanksinya ada yang menimbulkan akibat hukum (misalnya perkawinan, jual beli). Ada pula yang tidak menimbulkan akibat hukum (misalnya tidur siang). Sifat hukum adat adalah communal.
Ciri mores:
a.    Digunakan untuk mengawasi tingkah laku masyarakat
b.    Isinya berupa perintah,l larangan, dan suatu keharusan, apabila ini dilanggar, kan menimbulkan sanksi yang lebih berat, yaitu dijauhkan dari kelompok.
Ciri khusus dari hukum adat :
a.    Perbuatan yang sama, disukai bersama
b.    Perbuatan itu disukai orang banyak
c.    Kekutannya lebih besar
Pembagian hukum adat menurut budaya minangkabau :
a.    Adat istiadat : adat murni yang dimiliki masyarakat yang belum dipengaruhi oleh unsure luar
b.    Adat nan adat : adat yang sudah dimasuki lingkungan luar dari masyarakat yang bersangkutan
c.    Adat diadatkan : adat yang lahir dari peraturan masyarakat, lembaga, ataupun yokoh masyarakat.
Pembagian hukum adat menurut budaya bali :
a.    Gama : berisi nilai atau asas yang sulit mengalami perubahan serta penuh dengan muatan agama
b.    Sima : berbeda satu sama lain tergantung situasi dan kondisi masing-masing daerah serta merupakan pelaksanaan dari agama
c.    Pararem : putusan pemuka atau lembaga adat yang juga mengikatnya sesuai dengan wilayah yang ada (desa kala patra) . pararem yang tersurat/disurati itulah yang menjadi awig-awig sesuai dengan desa kal patra umat beragama, oleh karena itulah umat Hindu di Bali dicerminkan oleh adat. Dengan kata lain, adat merupakan pelaksanaan dari agama.
Ada suatu dalil yang dikemukakan oleh Van den Berg, yang intinya bahwa “selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi itu hukum agamanya, karena jika tidak memeluk suatu agama, harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia. Jika dapat dibuktikan bahwa sat atau beberapa bagian, adat seutuhnya atau bagian kecil sebagai kebalikannya maka terdapat penyimpangan dari hukum agama itu”. Artinya paham ini menyatakan bahwa hukum adat menerima pengaruh dari ajaran agama secara penuh.
d.    Kemudian, dalil ini ditentang oleh Snouck Hurgronje, bahwa tidak sepenuhnya hukum adat itu menerima pengaruh agama. Contohnya seperti di minangkabau, hukum warisnya sama sekali tidak dipengaruhi oleh hukum agama.
e.    Coba saja kita bandingkan hukum adat yang ada di Bali dengan yang ada di Minangkabau, di Bali masih mengandung unsure agama, misalnya sima, gama, dan pararem di Bali masih mengandung unsure agama. Sedangkan di minangkabau menggunakan hukum adat murni.