Sumber Gambar: http://hukum.zone.id/2017/01/pembagian-hukum-pidana.html |
Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit
tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu
perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.” Penjelasan
pasal ini biasanya juga disebut asas legalitas. Penjelasan pasal ini intinya
menjelaskan ketika ada suatu perbuatan yang perbuatan tersebut belum diatur
dalam undang-undang yang berlaku atau yang telah ada di Indonesia, maka atas
perbuatannya orang tersebut tidak dapat di pidana.
Dalam pasal Pasal 1 ayat (2) KUHP merumuskan, “Bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa
diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”Dengan adanya
ayat ke 2 ini menjadi suatu masalah yang sangat sering diperdebatkan. Adanya
ketidaksamaan tujuan atau tidak seimbangnya maksud dan tujuan dari pasal 1 ayat
(1) dan ayat (2), dalam pasal 1 menekankan bahwa tiada perbuatan yang dapat
dipidana kecuali perbutan tersebut telah diatur dalam undang-undang yang
berlaku. Namun ayat 2 dapat diartikan atau ditafsirkan bahwa perubahan suatu
aturan dalam peraturan perundang-undangan ketika perbuatan telah dilakukan dan
perbuatan tersbut tetap dipidana dengan aturan yang baru maka hal tersebut
dapat dikatakan mengandung asas retroktif. Sehingga ketentuan ini dapat menjadi
suatu pengecualian keberlakuan asas non retroaktif di Indonesia.
Asas
retroaktif boleh digunakan jika memenuhi empat syarat kumulatif:
(1) kejahatan berupa pelanggaran
HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara
dengannya;
(2) peradilannya bersifat
internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc,
bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara
bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan
hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau
kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai asas retroaktif ini
diatur dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus
yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan
Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang
akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
ASAS NON RETROAKTIF
KOREA
Pasal 1 ayat (3) KUHP
Korea, berbunyi :
“Where a statue is changed
after a sentence imposed under it upon a criminal conduct has become final,
with the effect that such conduct no longer constitutes a crime, the execution
of the punishment shall be remitted.”
Pasal tersebut merupakan penerapan asas Legalitas dalam hukum
Pidana, dimana perubahan undang-undang diterapkan setelah adanya putusan
Pengadilan yang bersifat incrahct (berkekuatan hukum tetap). Jika pada
undang-undang yang baru perbuatan yang telah dijatuhi pidana berdasarkan
undang-undang lama tidak lagi merupakan tindak pidana, maka pelaksanaan pidana
itu dihapuskan. Artinya, ketika seseorang melakukan tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang kemudian diputus bersalah dalam pengadilan (lalu menjalani
masa hukuman), kemudian keluar undang-undang baru yang menyebutkan bahwa
perbuatan orang tersebut bukanlah sebuah tindak pidana, maka masa hukuman dapat
dibatalkan (dibebaskan dari masa hukuman). Kelmahan dalam ketentuan ini adalah tidak
terjaminnya rasa keadilan terhadap orang yang dirugikan dalam perbuatan pidana
tersebut ketika adanya perubahan terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
ASAS NON RETROAKTIF
POLANDIA
Pasal 2 ayat (1) KUHP
Polandia, berbunyi :
“If at the time of adjudication
the law in force is other than in force at the time of the commision of the
offence, the new shall apply, however, the former law should be applied if it
more lenient in the prepetrator.”
“apabila pada saat keputusan pengadilan, undang-undang yang
berlaku adalah lain daripada yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan,
maka undang-undang baru akan diterapkan, akan tetapi undang-undang
terdahulu/lama harus diterapkan, apabila lebih ringan bagi pelaku. Pasal
tersebut kemudian dilanjutkan dengan batasan mengenai undang-undang yang baru.”
Pasal 2 ayat (1) mengatur tentang 2 hal yaitu :
a. Undang-undang baru tetap menyatakan perbuatan yang diatur
oleh Undang-undang lama sebagai perbuatan yang dapat dipidana( tetap merupakan
tindak pidana).akan tetapi Undang-undang lama memiliki hukuman yang lebih
ringan.
b. Pidana menurut undang-undang lama dinyatakan tidak berlaku
( dihapus ) diganti dengan undang-undang yang baru.
Dalam ayat (2) dikatakan bahwa : “If according to the law the
act referred to in a sentence is no longer prohibited under threat of penalty,
the sentence shall be expunged by operation of law.”Ayat (2)
tersebut mengandung pengertian bahwa apabila menurut undang-undang yang baru,
perbuatan yang ditunjuk/diancam pidana itu tidak lagi dilarang dengan ancaman
pidana, pemidanaan itu akan dihapuskan dengan berlakunya undang-undang.