Yang menjadi pokok dalam asas teritorial adalah tentang wilayah dalam hubungannya dengan berlakunya undang-undang pidana. Tolak pikir untuk menerapkan asas teritorial adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib memelihara sendiri ketertiban hukum di wilayahnya.
Asas ini ada pada pasal 2 KUHP yang berbunyi : “aturan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah Indonesia. asas ini mengatur berlakunya ketentuan pidana di dalam wilayah dimana suatu tindak pidana dilakukan. Yang diutamakan dalam asas wilayah ini ialah wilayah dimana tindak pidana itu dilakukan, tanpa melihat kepada kewarganegaraan pelaku tindak pidana itu. Hal itu tersimpul dari kata “setiap orang”. Jadi siapa saja yang melakukan tindak pidana dalam wilayah Indonesia dapat diterapkan ketentuan pidana Indonesia.
Asas teritorial ini diperluas dalam Pasal 3 KUHP dengan menganggap “perahu Indonesia” sebagai wilayah Indonesia. penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 95 KUHP.
Dalam RKUHP, asas ini diperluas berlakunya dalam Pasal 4 Rancangan KUHP yang menganggap kendaraan air, pesawat udara dan pesawat luar angkasa sebagai wilayah Indonesia. demikian pula berlaku secara mutatis mutandis UU No. 4 Tahun 1976. “pesawat udara Indonesia” yang dimaksud bukan hanya pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia, tetapi juga pesawat asing yang disewa oleh orang, lembaga atau pemerintah Indonesia untuk waktu lama tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia.
Maksud dari perumusan pasal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa apabila dilakukan tindak pidana dalam pesawat udara yang demikian itu, maka sebagian dari saksi awak pesawat adalah WNI. Hal demikian akan memudahkan pelaksanaan peradilan mengenai tindak pidana tersebut. Dengan “pesawat luar angkasa” dimaksudkan pula laboratorium ruang angkasa dan sejenisnya.
Sumber Gambar : http://www.dosenpendidikan.com/6-pengertian-hukum-pajak-menurut-para-ahli-beserta-fungsinya/