Gugatan Dalam HAPTUN (Hukum Peradilan Tata Usaha Negara) - Feel in Bali

Thursday, June 26, 2014

Gugatan Dalam HAPTUN (Hukum Peradilan Tata Usaha Negara)

Disamping melalui upaya administrative, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dilakukan melalui gugatan. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melelui upaya administrative relative lebih sedikit, jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui gugatan, karena penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melelui upaya administrative hanya terbatas pada beberapa Sengketa Tata Usaha Negara tertentu saja.[1]
Pengertian gugatan.menurut pasal 1 angka 11 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan TUN adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Gugatan di Peradilan TUN diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Adanya unsur kepentingan dalam pengajuan gugatan inilah yang merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peradilan TUN. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1) dimana ketentuan pasal ini menjadi dasar mengenai siapa yang bertindak sebagai subjek penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan. Mengenai alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 telah mengubah ketentuan pasal pada UU PTUN sebelumnya, adapun alasan-alasannya sebagai berikut:
a.       Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dengan ketentuan penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui upaya administrative sebagiman yang dimaksud dalam pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maka dapat diketahui bahwa sengketa Tata Usaha Negara yang diselesaikan melalui gugatan adalah sebagai berikut.
a.       Sengketa Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya tidak tersedia upaya administrative, artinya dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan timbulnya sengketa Tata Usaha Negara tidak ada ketentuan tentang upaya administrative yang harus dilalui.
b.      Sengketa Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya sudah melelui upaya administrative  yang tersedia (keberatan dan atau banding administratif) dan sudah mendapat keputusan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara atau atasan atau instansi lain dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara Tersebut, akan tetapi terhadap keputusan tersebut, orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan dengan keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara masih belum dapat menerimanya.
Pasal 53 ayat (1)  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/ atau rahabilitasi.
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan gugatan dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara adalah permohonan secara tertulis dari seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang ditujukan kepada dipengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Sebagai permohonan sudah tentu tidak setiap gugatan harus diterima oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, jika syarat-syarat formal dari gugatan belum atau tidak dipenuhi.
Jika seandainya gugatan diterima, belum tentu gugatan tersebut harus dikabulkan , karena dikabulkan atau tidak dikabulkannya gugatan, sangat tergantung dari dapat atau tidak dapat dibuktikan gugatan dengan  sekurang-kurangnya 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Permohonan dapat diajukan kepada pengadilan Tata Usaha Negara harus merupakan permohonan yang dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga merupakan surat gugat, karana surat gugatan ini berfungsi sebagai pegangan bagi pengadilan dan juga para pihak selama pemeriksaan di siding pengadilan. Oleh karena ketentuan tersebut, maka tidak dikenal adanya gugatan tidak tertulis atau gugatan secara lisan.
Dalam penjelasan pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Thun 2004, bagi mereka yang tidak pandai baca tulis, dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada panitera yang akan membentu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Dalam hal kompetensi pengadilan, perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya :
1.      Perhatikan kekuasaan relative (kompetensi relatif) dari pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Khusus mengenai apa yang dimaksudkan dalam pasal 54 ayat (3) Undang-Undang No. 5 tahun 1986, perlu kita perhatikan pendapat dari Indroharto[2]. Undang-undang No. 5 Tahun 1986 menerapkan suatu asas hukum acara Tata Usaha Negara yang berupa kewajiban untuk meneruskan gugatan ke pengadilan dilingkungan pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang secara terbatas, sehingga jika terdapat kekeliruan alamat yang lain, hukum acara Tata Usaha Negara tidak mewajibkan untuk mengirimkan gugatannya kepada alamat yang sebenarnya.
2.      Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang tidak tersedia upaya administratif, gugatan ditujukan kepada pengadilan Tata Usaha Negara, sedag penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang tersedia upaya administratif, gugatan diajukan kepengadilan sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991.
Keputusan Tata Usaha Negara seperti pada perumusan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-undang No. 9 tahun 2004 terpasuk juga apa yang dalam literature disebut Keputusan Tata Usaha Berangkai, yaitu keputusan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang sebelum menjadi keputusan Tata Usaha Negara harus didasari atau didahului dengan satu atau beberapa keputusan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam menghadapi Keputusan Tata Usaha Negara Berangkai, orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan, dapat saja mengajukan gugatan kepada pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berisi tuntutan agar salah satu keputusan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Berangkai dinyatakan tidak sah atau batal dengan atau tanpa tuntutan ganti rugi dan /atau rehabilitasi, asal keputusan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Tersebut merupakan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 9 UU No.5 Tahun 1986  jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009).
Alasan Mengajukan Gugatan
Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 disebutkan alasan untuk mengajukan gugatan adalah :
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ;
2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan asas – asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi : asas kepastian hukum ; asas tertib penyelenggaraan negara ; keterbukaan ; proporsionalitas ; profesionalitas dan akuntabilitas sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan dikatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan , jika keputusan yang diterbitkan tersebut :
a.       Bertentangan  dengan ketentuan – ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural/ formal ;
b.      Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/ subtansial ;
c.       Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang, dal hal ini keputusan tersebut dikeluarkan oleh :
·         Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat keputusan tidak memiliki kewenangan ;
·         Badan Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat keputusan melampaui kewenangan yang dimilikinya ;
·         Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum atau tidak berwenang lagi mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara ;
Yang harus diperhatikan pula walaupun gugatan yang dilakukan seseorang atau badan hukum perdata terhadap keputusan tata usaha Negara tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha Negara yang digugat, namun berdasarkan Pasal 67 dimungkinkan penggugat dapat mengajukan penundaan pelaksanaan keputusan yang digugat terlebih dahulu. Dan terhadap permohonan tersebut ada 2 ( dua ) kemungkinan :
a.       Dapat dikabulkan, jika dinilai ada kerugian yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat dirugikan ; atau
b.      Ditolak, jika ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan dan mengharuskan dilaksanakan keputusan tersebut ;

Syarat – Syarat Surat Gugatan
Surat gugat harus memenuhi syarat :
1.      Syarat Materiil
Gugatan harus memuat posita ( dasar atau alasan- alasan gugatan ) dan petitum ( tuntutan baik pokok maupun tambahan ( ganti rugi dan/atau rehabilitasi ) ;
2.      Syarat Formil
Gugatan harus memuat nama , kewarganegaraan , tempat tinggal , pekerjaan penggugat maupun kuasanya dan nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat.
Dalam Pasal 56 UU Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa :
a.       Gugatan harus memuat :
·         Nama ; kewarganegaraan ; tempat tinggal ; dan pekerjaan penggugat atau kuasanya ;
·         Nama jabatan ; dan tempat kedudukan tergugat ;
·         Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
b.      Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah ;
c.       Gugatan sedapat mungkin disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh Penggugat.
Syarat- syarat diatas, untuk perkara perdata di dalam HIR atau RBg tidak terdapat ketentuannya, maka terpaksa syarat-syarat gugatan untuk perkara perdata berpedoman pada ketentuan Pasal 8 angka 3 Rv[3].
Hal yang dijadikan dasar dalam mengajukan gugatan adalah Keputusan Tata Usaha Negara, dengan mengikuti pendapat Ten Berge dan Tak[4], Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata dapat berupa:
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang jangkauannya akan melakukan atau menolak terjadinya suatu perbuatan hukum perdata, misalnya Keputusan Tata Usaha Negara yang isinya menolak untuk menjual suatu rumah dinas kepada seorang pegawai negari.
2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang akan melebur dalam suatu perbuatan hukum perdata.
3.      Keputusan Tata Usaha Negara yang menyebabkan dipenuhinya suatu syarat yang perlu harus ada agar suatu perbuatan hukum perdata dapat bekerja secara sah.
4.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pelaksanaan dari suatu perbuatan hukum perdata.

Menurut Johanes Usfunan[5], Keputusan Tata Usaha Negara pada butir 2 sebenarnya tidak perlu diketengahkan lagi, karena formulasi Keputusan Tata Usaha Negara pada butir 1,3,4 sudah menunjukan secara transparan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan akan melebur.
Dari ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, dapat diketahui bahwa syarat-syarat yang harus dimuat dalam gugatan adalah :
a)      Identitas dari :
·         Penggugat, dan
·         Tergugat
b)      Dasar gugatan
c)      Hal yang diminta untuk diputus oleh pengadilan.
Syarat-syarat gugatan tersebut harus dipenuhi, jika tidak dipenuhi,akan menjadi alasan dari Ketua pengadilan untuk memutus dengan penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 1986.
Tenggang Waktu
Berbeda dengan peradilan umum, untuk mengajukan gugatan di lingkungan PTUN ditentukan tenggang waktunya yaitu hanya 90 ( Sembilan puluh ) hari ( vide : pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986.
Waktu 90 ( Sembilan puluh ) hari dimuilai sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara . Pembatasan ini dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum kepada individu ( penggugat ) maupun berkaitan dengan kepastian hukum dari keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha tersebut.
Batas waktu 90 ( Sembilan puluh ) hari mulai diperhitungkan adalah sejak :
1.      Diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan bagi pihak yang namanya tersebut ( pihak yang dirugikan langsung ) akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut ;
2.      Diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara tersebut ditentukan oleh peraturan dasarnya harus diumumkannya. Atau secara kasuistis perhitungan akan dimulai sejak Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan diketahuinya, sedangkan yang merasa dirugikan bukan pihak yang namanya langsung ada dalam surat keputusan tersebut.
3.      Setelah tenggang waktu ( penerbitan keputusan ) sesuai peraturan dasarnya habis atau lewat waktu, dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara  Fiktif Negatif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) ;
4.      Setelah lewat waktu 4 ( empat ) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal ini Keputusan Fikfif Negatif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) ;
5.      Diterimanya keputusan yamg dibuat oleh Pejabat Administrasi dalam upaya administrative ;
Yang harus diperhatikan pula bahwa hitungan waktu 90 (Sembilan puluh ) hari adalah tanpa memperhatikan apakah hari libur atau hari kerja, yang jelas hari.
Penjelasan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung sejak diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Dalam hal ini yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan :
a.       Pasal 3 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
b.      Pasal 3 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Perdamaian
Mengingat gugatan tersebut untuk penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara menyangkut tentang sah atau tidaknya Keputusan Tata Usaha Negara, maka sebenarnya tidak dikenal adanya perdamaian. Oleh karena itu, sudh tepat jika Mahkamah Agung[6] memberikan petunjuk bahwa kemungkinan adanya perdamaian antara para pihak hanya terjadi di luar pengadilan.
Jika antara para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara di luar pemeriksaan sidang Pengadilan sampai terjadi perdamaian, Surat Edaran Mahkamah Agung RI memberikan petunjuk.
a.       Penggugat mencabut gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka untuk umum dan menyebutkan alasan pencabutannya.
b.      Apabila pencabutan gugatan yang dimaksud dikabulkan, maka hakim memerintahkan agar panitera mencoret gugatan tersebut dari register perkara.
c.       Perintah pencoretan tersebut diucapka dalam persidengan yang terbuka untuk umum.
Dari ketentuan tersebut diatas, terdapat hal yang menarik mengenai pencabutan gugatan oleh penggugat oleh penggugat dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, harus mendapat persetujuan dari pengadilan, maksudnya agar pengadilan dapat mengadakan penelitian apakah dalam pencabutan gugatan oleh penggugat ini terdapat unsur paksaan, mengelirukan atau tipuan yang dilakukan oleh tergugat.
Apabila itu memang terjadi, maka dengan sendirinya pengadilan tidak akan mengabulkan pencabutan gugatan yang akan dilakukan oleh penggugat.
Satu contoh dari penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui perdamaian adalah sengketa Tata Usaha Negara dalam perkara Nomor 01/PTUN-JKT/1991 antara Paulus Djaja Sentosa melawan walikota Jakarta Barat dengan Akta Perdamaian tangal 25 Maret 1991[7]



[1] R. Wiryono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm.116
[2] Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan ke-IV,1993,hlm.75.
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Ketiga, Cetakan ke-I,1988,hlm 34.
[4] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta, Cetakan ke-IV,1993, hlm.195
[5] Johanes Usfunan,Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat,Jambatan,Jakarta,2002,hlm.45
[6] Butir VIII pada Surat Edaran Makamah Agung Nomor 2 Tahun 1991
[7] O.C Kaligis, Praktek-praktek Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Buku Pertama, Penerbit Alumni, Badung, 1999, hlm.6-11.