Disamping melalui
upaya administrative, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dilakukan melalui
gugatan. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melelui upaya administrative relative
lebih sedikit, jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
melalui gugatan, karena penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melelui upaya
administrative hanya terbatas pada beberapa Sengketa Tata Usaha Negara tertentu
saja.[1]
Pengertian
gugatan.menurut pasal 1 angka 11 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan TUN
adalah suatu permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN
dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan. Gugatan di Peradilan TUN
diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Adanya unsur kepentingan
dalam pengajuan gugatan inilah yang merupakan hal yang sangat urgen dalam
sengketa di Peradilan TUN. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1) dimana
ketentuan pasal ini menjadi dasar mengenai siapa yang bertindak sebagai subjek
penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN. Selanjutnya Pasal 53 ayat
(2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan. Mengenai
alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun
2004 telah mengubah ketentuan pasal pada UU PTUN sebelumnya, adapun
alasan-alasannya sebagai berikut:
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dengan ketentuan
penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui upaya administrative sebagiman
yang dimaksud dalam pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986, maka dapat diketahui bahwa sengketa Tata Usaha Negara yang diselesaikan
melalui gugatan adalah sebagai berikut.
a.
Sengketa Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya tidak
tersedia upaya administrative, artinya dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan
timbulnya sengketa Tata Usaha Negara tidak ada ketentuan tentang upaya
administrative yang harus dilalui.
b.
Sengketa Tata Usaha Negara yang penyelesaiannya sudah
melelui upaya administrative yang
tersedia (keberatan dan atau banding administratif) dan sudah mendapat
keputusan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara atau atasan atau instansi lain dari Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara Tersebut, akan
tetapi terhadap keputusan tersebut, orang atau badan hukum perdata yang merasa
dirugikan dengan keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara masih belum dapat
menerimanya.
Pasal 53 ayat
(1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan orang atau badan hukum perdata yang
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/ atau
rahabilitasi.
Dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 53 ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud
dengan gugatan dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara adalah permohonan
secara tertulis dari seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang ditujukan
kepada dipengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dinyatakan batal atau tidak
sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Sebagai permohonan
sudah tentu tidak setiap gugatan harus diterima oleh pengadilan di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, jika syarat-syarat formal dari gugatan belum atau
tidak dipenuhi.
Jika seandainya
gugatan diterima, belum tentu gugatan tersebut harus dikabulkan , karena
dikabulkan atau tidak dikabulkannya gugatan, sangat tergantung dari dapat atau
tidak dapat dibuktikan gugatan dengan
sekurang-kurangnya 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Permohonan dapat
diajukan kepada pengadilan Tata Usaha Negara harus merupakan permohonan yang
dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga merupakan surat gugat, karana surat
gugatan ini berfungsi sebagai pegangan bagi pengadilan dan juga para pihak
selama pemeriksaan di siding pengadilan. Oleh karena ketentuan tersebut, maka
tidak dikenal adanya gugatan tidak tertulis atau gugatan secara lisan.
Dalam penjelasan
pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Thun
2004, bagi mereka yang tidak pandai baca tulis, dapat mengutarakan keinginannya
untuk menggugat kepada panitera yang akan membentu merumuskan gugatannya dalam
bentuk tertulis.
Dalam hal
kompetensi pengadilan, perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya :
1.
Perhatikan kekuasaan relative (kompetensi relatif) dari
pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun
1986. Khusus mengenai apa yang dimaksudkan dalam pasal 54 ayat (3)
Undang-Undang No. 5 tahun 1986, perlu kita perhatikan pendapat dari Indroharto[2].
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 menerapkan suatu asas hukum acara Tata Usaha
Negara yang berupa kewajiban untuk meneruskan gugatan ke pengadilan
dilingkungan pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang secara terbatas,
sehingga jika terdapat kekeliruan alamat yang lain, hukum acara Tata Usaha
Negara tidak mewajibkan untuk mengirimkan gugatannya kepada alamat yang
sebenarnya.
2.
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang tidak tersedia
upaya administratif, gugatan ditujukan kepada pengadilan Tata Usaha Negara,
sedag penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang tersedia upaya
administratif, gugatan diajukan kepengadilan sesuai dengan ketentuan Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991.
Keputusan Tata
Usaha Negara seperti pada perumusan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun
1986 jo Undang-undang No. 9 tahun 2004 terpasuk juga apa yang dalam literature
disebut Keputusan Tata Usaha Berangkai, yaitu keputusan dari Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang sebelum menjadi keputusan Tata Usaha Negara harus
didasari atau didahului dengan satu atau beberapa keputusan dari Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam menghadapi
Keputusan Tata Usaha Negara Berangkai, orang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan, dapat saja mengajukan gugatan kepada
pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berisi tuntutan agar
salah satu keputusan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang menjadi dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Berangkai dinyatakan tidak sah atau batal
dengan atau tanpa tuntutan ganti rugi dan /atau rehabilitasi, asal keputusan
dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Tersebut merupakan Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun
1986 (Pasal 1 angka 9 UU No.5 Tahun 1986
jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009).
Alasan Mengajukan Gugatan
Berdasarkan Pasal
53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 disebutkan alasan untuk mengajukan gugatan
adalah :
1.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan ;
2.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan
asas – asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam Penjelasan
Pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik adalah meliputi : asas kepastian hukum ; asas tertib
penyelenggaraan negara ; keterbukaan ; proporsionalitas ; profesionalitas dan
akuntabilitas sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 28 Tahun 1998 tentang
Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan dikatakan telah melanggar peraturan
perundang-undangan , jika keputusan yang diterbitkan tersebut :
a.
Bertentangan dengan
ketentuan – ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural/
formal ;
b.
Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersifat materiil/ subtansial ;
c.
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak berwenang, dal hal ini keputusan tersebut dikeluarkan oleh :
·
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat keputusan
tidak memiliki kewenangan ;
·
Badan Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat keputusan
melampaui kewenangan yang dimilikinya ;
·
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum atau tidak
berwenang lagi mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara ;
Yang harus
diperhatikan pula walaupun gugatan yang dilakukan seseorang atau badan hukum
perdata terhadap keputusan tata usaha Negara tidak menunda pelaksanaan
keputusan tata usaha Negara yang digugat, namun berdasarkan Pasal 67
dimungkinkan penggugat dapat mengajukan penundaan pelaksanaan keputusan yang
digugat terlebih dahulu. Dan terhadap permohonan tersebut ada 2 ( dua )
kemungkinan :
a.
Dapat dikabulkan, jika dinilai ada kerugian yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat dirugikan ; atau
b.
Ditolak, jika ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan
dan mengharuskan dilaksanakan keputusan tersebut ;
Syarat – Syarat Surat Gugatan
Surat gugat harus
memenuhi syarat :
1.
Syarat Materiil
Gugatan harus
memuat posita ( dasar atau alasan- alasan gugatan ) dan petitum ( tuntutan baik
pokok maupun tambahan ( ganti rugi dan/atau rehabilitasi ) ;
2.
Syarat Formil
Gugatan harus
memuat nama , kewarganegaraan , tempat tinggal , pekerjaan penggugat maupun
kuasanya dan nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat.
Dalam Pasal 56 UU
Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa :
a.
Gugatan harus memuat :
·
Nama ; kewarganegaraan ; tempat tinggal ; dan pekerjaan
penggugat atau kuasanya ;
·
Nama jabatan ; dan tempat kedudukan tergugat ;
·
Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
pengadilan.
b.
Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa
penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah ;
c.
Gugatan sedapat mungkin disertai Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan oleh Penggugat.
Syarat- syarat
diatas, untuk perkara perdata di dalam HIR atau RBg tidak terdapat
ketentuannya, maka terpaksa syarat-syarat gugatan untuk perkara perdata
berpedoman pada ketentuan Pasal 8 angka 3 Rv[3].
Hal yang dijadikan
dasar dalam mengajukan gugatan adalah Keputusan Tata Usaha Negara, dengan
mengikuti pendapat Ten Berge dan Tak[4],
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata dapat
berupa:
1.
Keputusan Tata Usaha Negara yang jangkauannya akan melakukan
atau menolak terjadinya suatu perbuatan hukum perdata, misalnya Keputusan Tata
Usaha Negara yang isinya menolak untuk menjual suatu rumah dinas kepada seorang
pegawai negari.
2.
Keputusan Tata Usaha Negara yang akan melebur dalam suatu
perbuatan hukum perdata.
3.
Keputusan Tata Usaha Negara yang menyebabkan dipenuhinya
suatu syarat yang perlu harus ada agar suatu perbuatan hukum perdata dapat
bekerja secara sah.
4.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pelaksanaan dari
suatu perbuatan hukum perdata.
Menurut Johanes
Usfunan[5],
Keputusan Tata Usaha Negara pada butir 2 sebenarnya tidak perlu diketengahkan
lagi, karena formulasi Keputusan Tata Usaha Negara pada butir 1,3,4 sudah
menunjukan secara transparan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
akan melebur.
Dari ketentuan
Pasal 56 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, dapat diketahui bahwa syarat-syarat yang
harus dimuat dalam gugatan adalah :
a)
Identitas dari :
·
Penggugat, dan
·
Tergugat
b)
Dasar gugatan
c)
Hal yang diminta untuk diputus oleh pengadilan.
Syarat-syarat gugatan
tersebut harus dipenuhi, jika tidak dipenuhi,akan menjadi alasan dari Ketua
pengadilan untuk memutus dengan penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau
tidak berdasar sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No.
5 Tahun 1986.
Tenggang Waktu
Berbeda dengan
peradilan umum, untuk mengajukan gugatan di lingkungan PTUN ditentukan tenggang
waktunya yaitu hanya 90 ( Sembilan puluh ) hari ( vide : pasal 55 UU Nomor 5
Tahun 1986.
Waktu 90 ( Sembilan
puluh ) hari dimuilai sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara . Pembatasan ini dimaksudkan selain untuk memberikan
kepastian hukum kepada individu ( penggugat ) maupun berkaitan dengan kepastian
hukum dari keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha tersebut.
Batas waktu 90 (
Sembilan puluh ) hari mulai diperhitungkan adalah sejak :
1.
Diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
bagi pihak yang namanya tersebut ( pihak yang dirugikan langsung ) akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut ;
2.
Diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal ini
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut ditentukan oleh peraturan dasarnya harus
diumumkannya. Atau secara kasuistis perhitungan akan dimulai sejak Keputusan
Tata Usaha Negara yang merugikan diketahuinya, sedangkan yang merasa dirugikan
bukan pihak yang namanya langsung ada dalam surat keputusan tersebut.
3.
Setelah tenggang waktu ( penerbitan keputusan ) sesuai
peraturan dasarnya habis atau lewat waktu, dalam hal Keputusan Tata Usaha
Negara Fiktif Negatif sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat (2) ;
4.
Setelah lewat waktu 4 ( empat ) bulan sejak diterimanya
permohonan, dalam hal ini Keputusan Fikfif Negatif sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (3) ;
5.
Diterimanya keputusan yamg dibuat oleh Pejabat Administrasi
dalam upaya administrative ;
Yang harus
diperhatikan pula bahwa hitungan waktu 90 (Sembilan puluh ) hari adalah tanpa
memperhatikan apakah hari libur atau hari kerja, yang jelas hari.
Penjelasan Pasal 55
UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa bagi pihak yang namanya tersebut dalam
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang waktu 90 hari itu
dihitung sejak diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Dalam hal
ini yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan :
a.
Pasal 3 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986, maka tenggang waktu 90
hari dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang yang ditentukan dalam
peraturan dasarnya, yang terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang
bersangkutan;
b.
Pasal 3 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986, maka tenggang waktu 90
hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak
tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Perdamaian
Mengingat gugatan
tersebut untuk penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara menyangkut tentang sah
atau tidaknya Keputusan Tata Usaha Negara, maka sebenarnya tidak dikenal adanya
perdamaian. Oleh karena itu, sudh tepat jika Mahkamah Agung[6]
memberikan petunjuk bahwa kemungkinan adanya perdamaian antara para pihak hanya
terjadi di luar pengadilan.
Jika antara para
pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara di luar pemeriksaan sidang Pengadilan
sampai terjadi perdamaian, Surat Edaran Mahkamah Agung RI memberikan petunjuk.
a.
Penggugat mencabut gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka
untuk umum dan menyebutkan alasan pencabutannya.
b.
Apabila pencabutan gugatan yang dimaksud dikabulkan, maka
hakim memerintahkan agar panitera mencoret gugatan tersebut dari register
perkara.
c.
Perintah pencoretan tersebut diucapka dalam persidengan yang
terbuka untuk umum.
Dari ketentuan
tersebut diatas, terdapat hal yang menarik mengenai pencabutan gugatan oleh
penggugat oleh penggugat dalam sidang terbuka untuk umum tersebut, harus
mendapat persetujuan dari pengadilan, maksudnya agar pengadilan dapat mengadakan
penelitian apakah dalam pencabutan gugatan oleh penggugat ini terdapat unsur
paksaan, mengelirukan atau tipuan yang dilakukan oleh tergugat.
Apabila itu memang
terjadi, maka dengan sendirinya pengadilan tidak akan mengabulkan pencabutan
gugatan yang akan dilakukan oleh penggugat.
Satu contoh dari
penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui perdamaian adalah sengketa Tata
Usaha Negara dalam perkara Nomor 01/PTUN-JKT/1991 antara Paulus Djaja Sentosa
melawan walikota Jakarta Barat dengan Akta Perdamaian tangal 25 Maret 1991[7]
[1] R.
Wiryono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Edisi Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm.116
[2]
Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, Cetakan ke-IV,1993,hlm.75.
[3]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi Ketiga, Cetakan ke-I,1988,hlm 34.
[4]
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta,
Cetakan ke-IV,1993, hlm.195
[5]
Johanes Usfunan,Perbuatan Pemerintah yang
Dapat Digugat,Jambatan,Jakarta,2002,hlm.45
[6]
Butir VIII pada Surat Edaran Makamah Agung Nomor 2 Tahun 1991
[7]
O.C Kaligis, Praktek-praktek Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia, Buku Pertama, Penerbit Alumni, Badung,
1999, hlm.6-11.