Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Dilihat Dari Sudut Pandang Gender - Feel in Bali

Wednesday, May 22, 2013

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Dilihat Dari Sudut Pandang Gender




Dari perspektif sejarah, sesungguhnya kedudukan perempuan yang diatur dalam UU Perkawinan merupakan kemajuan dibandingkan dengan UU sebelumnya. Misalnya, KUH Perdata yang tidak menganggap perempuan sebagai subyek hukum  dan tidak punyai hak. Bahkan, atas harta bendanya sendiri, kecuali dengan bantuan suaminya.
Namun tetap saja UU Perkawinan harus diubah. Sebagai contoh, rumusan Pasal 2 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang tampaknya netral saja dalam perumusannya, tetapi justru telah menimbulkan berbagai bentuk diskriminasi.
Ketentuan pasal 2 ini telah menyebabkan banyak terjadi perkawinan di bawah tangan dan atau penolakan pencatatan perkawinan berhubungan dengan adanya agama atau kepercayaan yang tidak diakui secara resmi oleh negara. "Implikasi lebih jauh tentunya pada perlindungan hukum bagi anak-anak yang dilahirkan dan juga tentu saja bagi perempuan yang bersangkutan,"  Selain pasal 2, ketentuan yang patut dikritisi adalah pasal 3 dan kaitannya dengan pasal 4 dan 5 tentang azas poligami terbatas. Ia berpendapat, persoalan ini mencuat ke permukaan baru-baru ini dan menimbulkan kontroversi sejak Meneg Pemberdayaan Perempuan mengusulkan untuk mencabut PP (Peraturan Pemerintah) No. 10 Tahun 1983, khususnya izin poligami bagi pegawai negeri.

1. UU Perkawinan dinilai ambivalen

Ketentuan yang paling krusial bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender adalah Pasal 31 (3) dan Pasal 34 (1) dan (3) UU Perkawinan. Ia melihat, pembentukan UU Perkawinan sangat ambivalen dan bias gender dalam menentukan kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga.
Ambivalensi itu di satu pihak menyatakan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan dalam masyarakat. Namun di lain pihak, menentukan dengan sangat kaku peran masing-masing,  suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.
Peran ini ditegaskan pula dalam Pasal 34 (1) di mana dikatakan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isteri dan isteri wajib mengurus rumah tangga. Akibat lebih jauh dari ketentuan ini adalah pada bidang pengupahan. Upah pekerja laki-laki lebih banyak dari upah perempuan karena adanya komponen tunjangan keluarga. Sementara perempuan selalu dianggap lajang meskipun secara de facto dia menikah dan mempunyai anak.
Ketentuan yang berkenaan dengan kedudukan anak dalam keluarga. Pasal 42 dan 43 UU Perkawinan menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Sementara anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selain sangat diskriminatif ditinjau dari kepentingan anak, juga sangat memberatkan kaum perempuan. Hal ini mengingat tidak jelasnya pengertian perkawinan yang sah dalam konteks ini, apalagi dihubungkan dengan pasal 2.



2. Diperbolehkannya Laki-Laki Beristeri Lebih Dari Seorang

Poligami merupakan suatu realitas hukum dalam masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi suatu perbincangan hangat serta menimbulkan pro dan kontra. Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami.
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai
dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Di samping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan
poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan, yaitu :
1. Adanya persetujuan dari istri
2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, begitu juga dengan seorang wanita, namun dalam keadan tertentu lembaga perkawinan yang berasaskan monogami sulit dipertahankan.sehingga dalam keadaan yang sangat terpaksa dimungkinkan seorang laki-laki memiliki istri lebih dari seorang berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang harta benda dalam perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama dibagi antara suaml istri dengan pembagian yang sama.
Dalam hal seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari seorang maka akan timbul suatu sengketa mengenai harta bersama tersebut, sehingga diperlukanlah suatu aturan yang jelas mengenai pembagian harta tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, permasalahan yang muncul adalah bagaimana pelaksanaan pembagian harta perkawinan dalam perkawinan poligami setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hambatan-hambatan apa yang terdapat dalam pembagian harta perkawinan dalam perkawinan poligami dan bagaimana upaya penyelesaiannya.