Dari
perspektif sejarah, sesungguhnya kedudukan perempuan yang diatur dalam UU
Perkawinan merupakan kemajuan dibandingkan dengan UU sebelumnya. Misalnya, KUH
Perdata yang tidak menganggap perempuan sebagai subyek hukum dan
tidak punyai hak. Bahkan, atas harta bendanya sendiri, kecuali dengan bantuan
suaminya.
Namun
tetap saja UU Perkawinan harus diubah. Sebagai contoh, rumusan Pasal 2 UU
Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang tampaknya netral saja dalam perumusannya,
tetapi justru telah menimbulkan berbagai bentuk diskriminasi.
Ketentuan
pasal 2 ini telah menyebabkan banyak terjadi perkawinan di bawah tangan dan
atau penolakan pencatatan perkawinan berhubungan dengan adanya agama atau
kepercayaan yang tidak diakui secara resmi oleh negara. "Implikasi lebih
jauh tentunya pada perlindungan hukum bagi anak-anak yang dilahirkan dan juga
tentu saja bagi perempuan yang bersangkutan," Selain pasal 2,
ketentuan yang patut dikritisi adalah pasal 3 dan kaitannya dengan pasal 4 dan
5 tentang azas poligami terbatas. Ia berpendapat, persoalan ini mencuat ke
permukaan baru-baru ini dan menimbulkan kontroversi sejak Meneg Pemberdayaan
Perempuan mengusulkan untuk mencabut PP (Peraturan Pemerintah) No. 10 Tahun
1983, khususnya izin poligami bagi pegawai negeri.
1. UU Perkawinan dinilai ambivalen
Ketentuan
yang paling krusial bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender adalah
Pasal 31 (3) dan Pasal 34 (1) dan (3) UU Perkawinan. Ia melihat, pembentukan UU
Perkawinan sangat ambivalen dan bias gender dalam menentukan kedudukan dan
peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga.
Ambivalensi
itu di satu pihak menyatakan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah
seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan dalam masyarakat. Namun di lain
pihak, menentukan dengan sangat kaku peran masing-masing, suami
sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.
Peran
ini ditegaskan pula dalam Pasal 34 (1) di mana dikatakan bahwa suami wajib
memberi nafkah kepada isteri dan isteri wajib mengurus rumah tangga. Akibat
lebih jauh dari ketentuan ini adalah pada bidang pengupahan. Upah pekerja
laki-laki lebih banyak dari upah perempuan karena adanya komponen tunjangan
keluarga. Sementara perempuan selalu dianggap lajang meskipun secara de
facto dia menikah dan mempunyai anak.
Ketentuan
yang berkenaan dengan kedudukan anak dalam keluarga. Pasal 42 dan 43 UU
Perkawinan menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
perkawinan yang sah. Sementara anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak
sah hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selain
sangat diskriminatif ditinjau dari kepentingan anak, juga sangat memberatkan
kaum perempuan. Hal ini mengingat tidak jelasnya pengertian perkawinan yang sah
dalam konteks ini, apalagi dihubungkan dengan pasal 2.
2.
Diperbolehkannya Laki-Laki Beristeri Lebih Dari Seorang
Poligami
merupakan suatu realitas hukum dalam masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi suatu
perbincangan hangat serta menimbulkan pro dan kontra. Poligami sendiri
mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari
seorang istri. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat
pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan
mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem
poligami.
Ketentuan
adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal
2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat
memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka
kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Hal
ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh
masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang
membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus
yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama sesuai dengan
Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan yang beragama selain Islam harus
mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang
dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Untuk
mendapatkan ijin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai
dengan
alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5
Undang- Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan
baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan
yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan:
1.
Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2.
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Di
samping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan
poligami
juga harus dipenuhi syarat-syarat menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan,
yaitu :
1.
Adanya persetujuan dari istri
2.
Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3.
Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri, begitu juga dengan seorang wanita, namun dalam keadan tertentu lembaga
perkawinan yang berasaskan monogami sulit dipertahankan.sehingga dalam keadaan
yang sangat terpaksa dimungkinkan seorang laki-laki memiliki istri lebih dari
seorang berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang
Perkawinan.
Pasal
35 Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang harta benda dalam perkawinan yaitu
harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama.
Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sedangkan di
dalam Kompilasi Hukum Islam diatur apabila perkawinan putus karena perceraian,
harta bersama dibagi antara suaml istri dengan pembagian yang sama.
Dalam
hal seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari seorang maka akan timbul
suatu sengketa mengenai harta bersama tersebut, sehingga diperlukanlah suatu
aturan yang jelas mengenai pembagian harta tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut
di atas, permasalahan yang muncul adalah bagaimana pelaksanaan pembagian harta perkawinan
dalam perkawinan poligami setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, hambatan-hambatan apa yang terdapat dalam pembagian harta perkawinan
dalam perkawinan poligami dan bagaimana upaya penyelesaiannya.