1.1.1.
Pengertian
Hibah Wasiat
Hibah wasiat
merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan semasa hidupnya menyatakan
keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli
waris yang baru akan berlaku setelah si pewaris meninggal dunia.[1]
Hibah wasiat dapat dibuat oleh pewaris
sendiri atau dibuat secara notariil. Yang mana Notaris khusus diundang untuk
mendengarkan ucapan terakhir itu dengan disaksikan oleh dua orang saksi, dengan
cara demikian maka hibah wasiat memperoleh bentuk akta notaris dan disebut wasiat
atau testamen. Dalam hal pembuatan akta ini Notaris dapat memberikan nasehat
kepada pewaris sehingga akta wasiat yang dibuat tidak menyimpang dari aturan –
aturan yang telah ditetapkan yang dapat menyebabkan akta tersebut cacat hukum.
Wasiat atau juga disebut testamen adalah pernyataan kehendak seseorang mengenai
apa yang akan dilakukan terhadap hartanya setelah ia meninggal dunia. Ia dapat
memberikan harta kekayaannya kepada siapa pun yang dikehendakinya. Karena hal
demikian itu suatu hal yang khusus menyimpang dari kebiasaan dan pemberian semacam
itu harus ada pembuktian yang dapat diterima.
Maka pemberian itu dibentuk dalam suatu
pesan kepada keluarganya. Dengan hibah wasiat maka seseorang yang tidak berhak
mewaris, atau yang tidak akan mendapat harta warisan tertentu, ada kemungkinan
mendapatkannya dikarenakan adanya pesan atau amanat, hibah atau hibah wasiat
dari pewaris ketika masih hidup.
Hukum waris menurut KUH Perdata mengenal
peraturan hibah wasiat ini dengan nama testamen yang diatur dalam Buku II bab
XIII. Tentang Ketentuan umum surat wasiat, kecakapan seseorang untuk membuat
surat wasiat atau untuk menikmati keuntungan dari surat wasiat, bentuk surat wasiat,
warisan pengangkatan waris, hibah wasiat, pencabutan dan gugurnya wasiat. Hal
ini dipertegas di dalam Pasal 875 BW yang menyebutkan pengertian tentang surat
wasiat, yaitu :
“
Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang
tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali”.
Testamen
atau wasiat menurut Buku II bab XIII Pasal 875 KUH Perdata dapat berisi
pengangkatan waris (erfstelling), atau hibah wasiat (legaat). Erfstelling yaitu
penetapan dalam testamen, yang tujuannya bahwa seorang yang secara khusus
ditunjuk oleh orang yang
meninggalkan
warisan untuk menerima semua harta warisan atau sebagian (setengah, sepertiga)
dari harta kekayaannya (Pasal 954 KUH Perdata). Sedangkan legaat adalah seorang
yang meninggalkan warisan dalam testamen menunjuk seseorang yang tertentu untuk
mewarisi barang tertentu atau sejumlah barang yang tertentu pula, misalnya
suatu rumah atau suatu mobil atau juga barangbarang yang bergerak milik orang
yang meninggalkan warisan, atau hak memetik hasil atas seluruh sebagia harta
peninggalannya (Pasal 957 KUH Perdata).
Dengan hibah wasiat maka seseorang yang
tidak berhak mewaris, atau yang tidak akan mendapat harta warisan tertentu, ada
kemungkinan mendapatkannya dikarenakan adanya pesan atau umanat, hibah atau
hibah wasiat dari pewaris ketika masih hidup. Di lingkungan masyarakat hal tersebut
dapat terjadi terhadap isteri dan atau anaknya yang keturunannya rendah atau
juga terhadap anak angkat dan anak akuan.
1.1.2.
Batasan
Dalam Hibah Wasiat
Pembatasan
dalam hal membuat hibah wasiat menuru Hukum Barat yaitu tentang besar kecilnya harta
warisan yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris yang disebut “Ligitime
Portie”, atau ”wettelijk erfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang).
Hal ini diatur dalam Pasal 913-929 KUHPerdata. Menurut Asses Meyers yang
dikutip dalam buku Oemarsalim,
“tujuan
dari pembuatan Undang-undang dalam menetapkan legitime portie ini adalah untuk
menghindari dan melindungi anak si wafat dari kecenderungan si wafat
menguntungkan orang lain.”[2]
Ligitime Portie (bagian mutlak) adalah
bagian dari harta peninggalan atau warisan yang harus diberikan kepada para
waris dalam garis lurus, terhadap bagaimana si pewaris dilarang menetapkan
sesuatu baik yang berupa pemberian (Hibah) maupun hibah wasiat (Pasal 913 KUH Perdata).
Dengan demikian maka yang dijamin dengan bagian mutlak atau Legitime Portie itu
adalah para ahli waris dalam garis lurus kebawah dan keatas (sering dinamakan “Pancer”).
Dalam garis lurus kebawah, apabila si
pewaris itu hanya meninggalkan anak sah satu – satunya, maka bagian mutlak
baginya itu adalah setengah dari harta peninggalan. Jadi apa bila tidak ada
testamen maka anak satu – satunya itu mendapat seluruh harta warisan, jika ada
testamen anak satu – satunya itu dijamin akan mendapat setengah dari harta
peninggalan.
·
Apabila 2 ( dua ) orang anak yang
ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah masing – masing 2/3. ini berarti
bahwa mereka itu dijamin bahwa masing – masing akan mendapat 2/3 dari bagian
yang akan didapatnya seandainya tidak ada testamen.
·
Apabila 3 ( tiga ) anak atau lebih yang
ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah masing – masing ¾ . Ini berarti
bahwa mereka dijamin masing – masing akan mendapatkan ¾ dari bagian yang akan
didapatnya seandainya tidak ada testamen.
Dalam garis lurus keatas ( orang tua,
kakek dan seterusnya ) bagian mutlak itu selamanya adalah setengah, yang
menurut Undang – undang menjadi bagian tiap – tiap mereka dalam garis itu dalam
pewarisan karena kematian. Perlu juga diperhatikan bahwa anak luar kawin (anak angkat)
yang telah diakui dijamin dengan jaminan mutlak,yaitu setengah dari bagian yang
menurut Undang– undang harus diperolehnya.
Seandainya tidak ada keluarga sedarah
dalam garis lurus ke bawah dan ke atas serta tidak ada anak luar kawin yang
telah diakui, maka hibah atau hibah wasiat boleh meliputi seluruh harta
warisan. Apabila ketentuan – ketentuan mengenai bagian mutlak seperti yang
dijelaskan diatas dilanggar, maka pewaris yang dijamin dengan bagian mutlak itu
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan supaya hibah atau hibah wasiat tersebut
dikurangi, sehingga tidak melanggar ketentuan Undang – Undang khususnya
KUHPerdata. Jadi peraturan tentang bagian mutlak ini pada hakekatnya merupakan pembatasan
terhadap kebebasan orang membuat testamen.
1.1.3.
Cara
Pengibahan Wasiat
Menurut Pasal 931 KUH Perdata,bahwa
dalam pembuatan wasiat atau hibah wasiat dapat lakukan dengan tiga cara yaitu :
1.
Testamen Rahasia (geheim)
2.
Testamen tidak rahasia (openbaar)
3.
Testamen tertulis sendiri (olografis), yang biasanya bersifat rahasia ataupun
tidak rahasia.
Dalam ketiga testamen ini dibutuhkan
campur tangan seorang notaris. Dalam testamen olografis (Pasal 932 KUH Perdata)
ditetapkan bahwa testamen ini harus ditulis dan ditandatangani oleh si
peninggal warisan untuk selanjutnya diarsipkan oleh seorang Notaris dimana pengarsipan
ini harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Disaat testamen olografis ini diserahkan
kepada Notaris untuk disimpan, testamen sudah berada dalam amplop tertutup
bersegel, untuk si peninggal warisan di hadapan Notaris dan dua orang saksi
harus menulis pada sampul, bahwa sampul tersebut berisi testamennya. Dan selanjutnya
catatan tersebut harus di tandatanganinya. Selanjutnya Notaris membuat amplop
tersendiri atas penerimaan ini untuk disimpan, pada amplop tersebut dan harus
pula ditandatangani oleh Notaris, saksi-saksi serta si peninggal warisan. Dalam
Pasal 932 Ayat 2 KUH Perdata mengulas tentang kemungkinan berhalangannya si
peninggal warisan untu menandatangani sampul atau akta penerimaan setelah menulis
dan menandatangani testamennya. Jika hal ini terjadi maka notaris wajib
mencatat hal ini serta penyebab berhalangnya ini.
Ditetapkan pada Pasal 933 KUH Perdata,
bahwa kekuatan testamen olosgrafis ini sebanding dengan kekuatan testamen
terbuka yang dibuat dihadapan Notaris dan dianggap terbuat di tanggal dari akta
penerimaan oleh Notaris. Jadi tidak dikesampingkan tentang tanggal yang ditulis
dalam testamennya sendiri. Pasal 933 Ayat 2 KUH Perdata berisi suatu peraturan tentang
keaslian dari testamentersebut apakah benar-benar ditulis dan ditandatangani
oleh si peninggal warisan, atau di belakang hari terbukti palsu. Melalui pasal tersebut
dicegah terjadinya perselisihan di hadapan hakim tentang pembagian tugas
membuktikan sesuatu hal (bewijslastberdeling).
Berdasarkan Pasal 934 KUH Perdata, si
peninggal warisan bisa menarik kembali testamenya. Biasanya hal ini dilaksanakan
dengan cara permintaan kembali tersebut harus dinyatakan dalam suatu akta
otentik (akta notaris). Dengan menerima kembali testamen olosgrafis ini, hibah
warisan harus dianggap seolah-olah ditarik kembali (herroepen), hal ini
ditegaskan oleh ayat 2 Pasal 934 KUH Perdata.
Sedangkan oleh Pasal 937 ditetapkan,
jika testamen olosgrafis ini diserahkan kepada Notaris dengan cara tersebut
pada suatu sampul bersegel, maka Notaris tidaklah berhak membuka segel
tersebut. Jadi segel tersebut boleh dibuka setelah si peninggal warisan wafat, dengan
cara menyerahkannya kepada Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk dibuka dan
diselesaikan sebagaimana dengan testamen rahasia (Pasal 942 KUH Perdata), yakni
dengan membuat proses verbal atas pembukaan ini dan atas keadaan testamen yang
diketemukan, selanjutnya testamen tersebut harus diserahkan kembali kepada
notaris. Testamen olografis dapat diserahkan kepada Notaris dengan terbuka,
jadi bukan rahasia. Jika demikian maka akta penerimaan untuk disimpan ( akte
van bewaar eving ) tadi oleh Notaris ditulis pada testamennya sendiri dibawah
tulisan si peninggal warisan yang berisikan keinginan terakhir. Selanjutnya
akta tersebut ditandatangani oleh Notaris, para saksi dan si peninggal warisan.
Testamen terbuka (openbaar) diatur pada
Pasal 938 KUH Perdata menetapkan testamen terbuka (openbaar) wajib dibuat
dihadapan Notaris dengan mengajukan dua orang saksi. selanjutnya orang yang
meninggalkan warisan mengutarakan keinginannya kepada Notaris dengan secukupnya
(zakelijk) maka Notaris wajib mencatat keterangan – keterangan ini dalam
kalimat – kalimat yang jelas.
Ada perbedaan pendapat mengenai masalah
apakah keterangan dari orang yang meninggalkan warisan harus secara tertulis
atau dengan cara praktek langsung (gebaren).
Asser Mayers (halaman 198),
Suyling-Dubois (Nomor 99), Klaseen-Eggens (halaman 314 dan 315), dan Hoge Raad di
negeri Belanda (putusan tanggal 27 November 1908 WB.8773),yang dikutip dalam
buku oemarsalim berpendapat, bahwa pernyataan ini secara lisan, oleh karena
hanya dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pernyataan ini dilakukan dengan
dihadiri oleh dua orang saksi. Asser Mayers mengatakan, bahwa lazimnyalah testamen
terbuka ini sejak dahulu dinamakan testamen lisan.[3] Pernyataan
tersebut sesuai jika dinyatakan dengan lisan, tetapi sering juga seorang yang
meninggalkan warisan itu terserang flu sehingga tidak dapat membaca dan yang
bersangkutan lalu mencatat di atas kertas. Jika orang yang meninggalkan warisan
sesudah mendengarkan pembacaan ini menganggukkan kepalanya, maka cara pernyataan
ini sudah cukup dengan cara lisan.
Dalam Pasal 939 Ayat 2 KUH Perdata
menerangkan bahwa kemungkinan saat si peninggal warisan menyatakan keinginan
terakhirnya kepada Notaris tidak dihadiri oleh saksi-saksi dan Notaris
menulisnya, jika hal ini benar maka sebelum tulisan Notaris ini dibacakan
terlebih dahulu si peninggal warisan menyatakan keinginannya dengan singkat dan
jelas di hadapan saksi-saksi.
Selanjutnya menurut Pasal 939 Ayat 3 KUH
Perdata, tulisan Notaris ini baru bisa dibacakan dan dinyatakan terhadap si
peninggal warisan, apakah benar bahwa pernyataan yang dibacakan itu adalah
keinginan terakhir si wafat. Pengumuman dan pembacaan serta tanya jawab ini, harus
dilaksanakan pula. Jika pernyataan si peninggal warisan sebelumnya sudah
dinyatakan dihadapan saksi. Setelah itu akta Notaris tersebut ditandatangani
oleh Notaris, si peninggal warisan dan saksi-saksi. Seandainya si peninggal
warisan tidak dapat menandatangani atau
berhalangan
datang, maka dengan ini harus dijelaskan pada akta notaris dengan terperinci.
Di samping itu harus pula dijelaskan bahwa pada akta notaris
ketentuan-ketentuan selengkapnya yang dibutuhkan ini telah dilakukan semuanya.
Pada Pasal 944 ayat 2 KUH Perdata
tentang pembuatan testamen Terbuka (openbaar), menjelaskan orang yang tidak boleh
menjadi saksi yaitu:
•
Para ahli waris atau orang-orang yang diberi hibah atau sanak saudara mereka
sampai empat turunan
•
Anak-anak, cucu-cucu serta anak-anak menantu atau cucu-cucu menantu dari
Notaris.
•
Pembantu-pembantu Notaris.
Testamen Rahasia (geheim) ditetapkan
bahwa si peninggal warisan harus menulis sendiri atau dapat pula menyuruh orang
lain untuk menulis keinginan yang terakhir. Setelah itu ia harus menandatangani
tulisan tersebut. Selanjutnya tulisan tersebut dapat dimasukan dalam sebuah
amplop tertutup, dan disegel serta kemudian diserahkan ke Notaris ( Pasal 940
dan Pasal 941 KUHPerdata ). Penutup dan penyegelan ini dapat pula dilaksanakan
dihadapan Notaris dan empat orang saksi. Selanjutnya si peninggal warisan harus
membuat suatu pernyataan di hadapan Notaris dan saksi-saksi, bahwa yang ada di
dalam sampul itu adalah testamennya, dan menyatakan benar bahwa ia sendiri yang
menulis dan menandatanganinya atau yang ditulis orang lain serta ia menandatanganinya.
Kemudian Notaris membuat akta superscriptie yaitu untuk menyetujui keterangan
tersebut. Akta ini bisa ditulis dalam surat yang memuat keterangan tersebut
atau pada sampulnya. Notaris, peninggal warisan dan para saksi harus
menandatangani akta tersebut agar mempunyai suatu kekuatan hukum yang tetap.
Ayat terakhir dari Pasal 940 KUH Perdata
menetapkan bahwa testamen rahasia ini harus diarsipkan oleh Notaris bersama-sama
dengan akta-akta notaris lain yang asli. Pasal 941 KUH Perdata menjelaskan pada
keadaan dimana kemungkinan si peninggal warisan tidak bisa berbicara (bisu),
tetapi bisa menulis. Untuk hal ini testamen harus tetap ditulis, diberi tanggal
serta ditandatangani oleh si peninggal warisan. Selanjutnya testamen tersebut
diserahkan kepada Notaris, dan diatas akta superscriptie yang menjelaskan bahwa
tulisan yang diserahkan itu adalah testamennya. Jika si penghibah wasiat
meninggal dunia, maka yang berkewajiban memberitahukan kepada mereka yang berkepentingan
adalah Notaris, hal ini berdasarkan Pasal 943 KUH Perdata. Yang di maksud
dengan pemberitahuan ini adalah tentang adanya testamen-testamen. Selanjutnya
berdasarkan Pasal 935 KUH Perdata, bahwa si peninggal warisan diizinkan untuk
menuliskan keinginan terakhirnya dalam surat di bawah tangan, maksudnya adalah tidak
terdapatnya campur tangan seorang Notaris, namun dalam hal ini cuma mengenal
penunjukkan orang-orang yang diwajibkan melaksanakan testamen (executeur testamentair),
perihal pemesanan mengenai penguburan serta tentang penghibahan pakaian,
perhiasan serta alatalat rumah tangga.