Saat ini, proses demokrasi di Indonesia telah memasuki tahap perkembangan yang sangat penting. Perkembangan itu ditandai dengan berbagai perubahan dan pembentukan institusi baru dalam struktur dan sistem kekuasaan negara. perkembangan ini merupakan hasil koreksi terhadap cara dan sistem kekuasaan lama sebagai tuntutan reformasi serta aspirasi keadilan dalam masyarakat, sekaligus upaya untuk mendorong terwujudnya cita-cita negara demokrasi, tegaknya hak asasi manusia dan hukum yang berkeadilan, serta pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Amandemen UUD 1945, sebagai salah satu tuntutan reformasi, telah dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebanyak empat kali sejak tahun 1999 hingga tahun 2002. bersamaan dengan perubahan tersebut, beberapa lembaga negara baru dibentuk, diantaranya MK (Mahkamah Konstitusi). Mahkamah Konstitusi dibentuk berdasarkan pasal 24 C perubahan ketiga UUD 1945.
salah satu kewenangan MK yang ditentukan dalam pasal 24 C (1) UUD 1945 adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Jika memeriksa dan menelusuri kembali seluruh hasil perubahan UUD 1945, terdapat lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, DPD, Presidan dan Wakil Presiden, BPK, MA, MK dan KY. Diluar ketentuan UUD, terdapat lembaga-lembaga yang biasa disebut komisi negara atau lembaga negara pembantu (state auxiliary agencies) yang dibentuk berdasarkan UU ataupun peraturan lainnya. Perkembangan pembentukan lembaga-lembaga negara yang berbentuk komisi itu sangat pesat sepanjang reformasi. Lembaga-lembaga tersebut merupakan badan khusus untuk menjalankan fungsi tertentu dan selalu diidealkan bersifat indepanden. Pembentukan lembaga-lembaga komisi menjadi suatu hal yang lazim dan banyak terjadi di negara-negara lain, sekalipun dengan konteks dan latar belakang berbeda-beda.
Masalahnya di Indonesia, keberadaan lembaga-lembaga negara yang dibentuk dan diadakan itu masih belum diletakan pada konsepsi ketatanegaraan yang lebih jelas menjamin keberadaan dan akuntabilitas mereka. Perubahan UUD 1945, sekalipun telah
megubah desain kelembagaan negara, tidak mengakomodasi perkembangan pesat keberadaan komisi-komisi negara yang dbentuk diluar ketentuan UUD disebut lembaga negara.
Dengan demikian, jika melihat kembali rumusan ketentuan pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 sehubungan dengan kewenangan MK, penggunaan istilah lemnbaga negara bisa mengundang berbagai penafsiran dalam melihat dan mengimplementasikannya. Itu disebabkan UUD 1945 tidak menegaskan hal tersebut. Demikian pula halnya dengan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, yang tidak menjelaskan lebih lanjut apa dan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara.
Beberapa penafsiran yang muncul tentang lembaga negara, diantaranya :
a. Penafsiran luas, yaitu mencakup semua lembaga yang nama dan kewenangannya disebut/dicantumkan dalam UUD 1945.
b. Penafsiran Moderat, yakni hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara.
c. Penafsiran sempit, yakni hanya merujuk secara implisit pada ketentuan Pasal 67 UU MKRI.
Pengaturan MA No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 1 butir 12 menyebutkan MPR, Presiden, DPR, BPK, dan bank sentral sebagai lembaga negara yang menjadi subyek sengketa wewenang antarlembaga negara. padahal, bank sentral tidak diberikan kewenangannya oleh UUD 1945. UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK malah membatasi, bahwa MA tidak dapat menjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Berbagai permasalahan yang telah dikemukakan tersebut yang berasal dari ketiadaan pengertian lembaga negara semestinya dapat dijelaskan terlebih dahulu. Penjelasan itu penting untuk memberikan pemahaman komperhensif terhadap keberadaan lembaga-lembaga negara. Selanjutnya, hal itu akan menentukan berbagai sengketa yang timbul diantara lembaga negara dan pada akhirnya sengketa lembaga mana yang dapat diselesaikan di MK.