Unikameral terdiri dari satu kamar parlemen, sedangkan bikameral terdiri dari dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Dalam struktur parlemen nasional pada unikameral tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seeprti adanya DPR dan Senat, ataupun majelis tinggi dan majelis rendah. Fungsi dewan atau majelis legislatif dalam sistem unikameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Bikameral biasanya terdiri dari Majelis Rendah dan Majelis Tinggi (yang kemudian dalam penerapan di negara-negara penganut bikameral, namanya berbeda-beda, tidak musti Majelis Rendah dan Majelis Tinggi). Salah satu alasan mengapa negara menganut sistem bikameral ini adalah adanya kebutuhan akan perlunya suatu keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislatif. Trikameral berarti bahwa struktur organisasi parlemen nasional terdiri atas tiga badan yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Pada perkembangannya, bikameral dapat dibagi lagi menjadi beberapa bentuk lagi. Giovanni Sartori membagi sistem parlemen bicameral menjadi tiga jenis, yaitu sistem bicameral yang lemah (soft bicameralism), sistem bicameral yang kuat (strong bicameralism), dan perfect bicameralism. Soft bicameralism terjadi apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kama lainnya. Sedangkan strong bicameralism terjadi apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat. Sedangkan perfect bicameralism terjadi ketika kekuatan diantara kedua kamarnya betul-betul seimbang.
Menurut Arend Lijphart, bahwa ada tiga prasyarat dari weak bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan anggota, dan kemungkinan kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan minoritas. Dengan demikian kedua kamar memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan wewenang, serta akan bersatu dalam sebuah joint session untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Penerapan sistem bikameral itu, dalam prakteknya, sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Seperti halnya negara federasi, negara kesatuan juga bertujuan melindungi wilayah tertentu, melindungi etnik dan kepentingan-kepentingan khusus dari golongan rakyat tertentu (seperti kelompok kepentingan, golongan minoritas dan sebagainya) dari suara mayoritas (tirani mayoritas).
Setelah melihat pengertian dari sistem kamar di dalam parlemen, kemudian kita akan beranjak pada fungsi ataupun tugas dari MPR, DPR, dan DPD sehingga nantinya kita bisa melihat sebenarnya Indonesia menganut sistem kamar yang mana. Adapun tugas dari MPR diantaranya adalah mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pemiliha umum dalam Sidang Paripurna MPR, memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK untuk memberhentikan Presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/ atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyapaikan penjelasan di dalam sidang Paripurna MPR. Jika dilihat fungsi MPR seperti itu, maka tampak bagaimana MPR sekarang sudah tidak sekuat dulu lagi pada masa Orde Baru, ada pengurangan wewenang di dalam tubuh MPR.
Fungsi dari DPR sesuai dengan pasal 20 A adalah Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; serta selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dna pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya eknomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (pasal 22d ayat 1). DPD ikut membahas sejumlah RUU yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22 D ayat 2). DPD dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya dalam anggota DPR.
Perdebatan kemudian dimulai, apakah yang sebenarnya dianut oleh Indonesia, bikameral, soft bicameralism, ataukah trikameral? Selain itu, perdebatan juga terjadi seputar bagaimana sebenarnya kedudukan MPR itu, apakah hanya sebuah joint session ataukah memang masih perlunya MPR sebagai sebuah lembaga negara yang masih harus tetap dipertahankan?
Setelah tadi melihat perdebatan sebelum terjadinya amandemen, maka kita akan melihat perdebatan mengenai sistem kamar setelah dilakukannya amandemen. Pertama, saya akan membahas mengenai kedudukan MPR terlebih dahulu. Seperti yang juga diperdebatkan sebelum amandemen, setelah amandemen juga masih diperdebatkan kedudukan MPR, apakah masih diperlukan atau tidak. Memang sekarang fungsi MPR tidak lagi sekuat pada masa Orde Baru. Menurut, Reni Dwi Purnomowati, SH, MH., MPR tidaklah tepat jika dikatakan sebagai sebuah lembaga. Alasannya antara lain adalah bahwa MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat lagi. Selain itu, menurutnya wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar itu hanya bersifat insidental, meskipun hal ini terlihat sebagai hal yang penting. Wewenang ini bukan hal yang harus dilakukan setiap hari. MPR juga sudah tidak lagi mempunyai kewenangan penting lagi dalam memilih Presiden, sehubungan dengan adanya pemilihan presiden langsung yang diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 hasil amandemen. Mengenai wewenang MPR untuk melakukan impeachment juga menurutnya bukanlah hal yang selalu terjadi.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh ketua MPR periode 2004-2009, Hidayat Nur Wahid, yang menyatakan pentingnya keberadaan MPR sebagai lembaga negara. Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa pendapat yang menyatakan MPR hanya sebagai forum dan tidak dapat dilembagakan merupakan pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai argumentasi yang kuat. Menurutnya, sebenarnya fungsi dan kewenangan MPR yang sekarang substansinya menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara.
Kemudian terkait dengan DPD, banyak perdebatan mengenai hal ini, tentunya mengenai fungsi, wewenang, dan kedudukan DPD yang lemah, bahkan terkesan berada di bawah subordinasi dari DPR. DPD sendiri dibentuk dengan tujuan untuk menyuarakan aspirasi rakyat daerah dan diharapkan dengan dibentuknya sistem ini, kepentingan rakyat daerah dapat terakomodasikan sehingga diharapkan dapat menghindari kesenjangan dan ketidakadilan antara pusat dan daerah dan diharapkan pula dengan sistem ini dapat mencegah disintegrasi bangsa.
Kewenangan DPD mengalami banyak diskriminasi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Pada pasal 7A dan 7B ayat (1) sampai dengan ayat (6) mengenai usulan pemberhentian Presiden hanya bisa dilakukan berdasarkan usul DPR tanpa melibatkan DPD sebagai elemen penting dari lembaga legislatif. Pasal 7C hanya disebutkan Presiden tidak dapat membubarkan DPR, tetapi tidak disebutkan Presiden tidak dapat membubarkan DPD.
Selain itu, di dalam pernyataan perang, damai, dan perjanjian internasional tidak disebutkan adanya pemibatan unsure DPD. Dalam hal ini hanya Presiden dan DPR lah yang dilibatkan. Seharusnya, DPD yang juga memiliki tingkat legitimasi yang sama dengan DPR, juga memiliki hak dan kewenangan tak berbeda untuk terlibat pengambilan keputusan sekrusial itu. Karena, ketika perang dinyatakan oleh seseorang presiden, masyarakat sipil di tingkat lokal pasti akan mendapat akibatnya.
Pasal 22 D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi yang sangat terbatas, yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undang-undang APBN.
Sekali pun DPD merupakan representasi daerah, dalam fungsi rekrutmen atau pengisian jabatan publik DPR jauh lebih superior. Misalnya, peran DPR begitu besar dalam pengangkatan Hakim Agung serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga mensyaratkan pertimbangan DPR, seperti: pengangkatan Duta dan menerima penempatan duta negara lain.
Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa kewenangan DPD amat nimimalis dibandingkan dengan DPR. Di sisi institusional DPR adalah pemegang mandat legislasi bersama-sama dengan Presiden; mempunyai fungsi pengawasan; dan mempunyai fungsi budgenting. DPD disini hanya terlihat sebagai “lembaga pemberi pertimbangan agung” kepada DPR. Selain itu, DPD juga tidak mempunyai proteksi konstitusional karena adanya kemungkinan untuk dibubarkan oleh Presiden, seperti yang telah disinggung dalam uraian sebelumnya. Anggota DPD dan DPR sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, bahkan dianggap sebagai representasi wakil rakyat dari daerah langsung bukan wakil dari partai politik, tetapi DPD dan DPR tidak mempunyai hak dari sisi institutsional yang sama.
Tidak hanya rentan secara institusional, DPD juga lemah secara personal. Bila anggota-anggota DPR dilindungi dengan hak imunitas di dalam konstitusi, maka anggota DPD tidak mempunyai garansi konstitusi demikian. Hak imunitas bagi anggota DPD baru hadir dalam UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD. Labih jauh, hak-hak lain yang dimiliki anggota DPR semuanya dijamin dalam UUD 1945, sedangkan hak-hak anggota DPD hanya diatur dalam UU Susduk. Perbedaan hierarki peraturan tersebut secara nyata menggambarkan inferiornya DPD di hadapan DPR.
Kewenangan DPD yang sangat kerdil di hadapan DPR menghilangkan salah satu fungsi kehadiran DPD, sebagai fungsi internal kontrol parlemen. Dominannya DPR menjadikan DPR sebagai lembaga yang hanya dapat dikontrol oleh kekuatan eksternal, misalnya Presiden dan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan kontrol internalnya hanya muncul dari diri internal DPR sendiri. Kontrol internal ini dapat dilakukan melalui dinamika politik fraksi-fraksi di DPR.
Melihat uraian di atas, terjawablah bagaimana wajah parlemen di Indonesia, tetapi belum terjawab apa yang sebenarnya sistem kamar yang dianut oleh parlemen di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., setelah Perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme). Ada juga Saldi Isra yang berpandangan bahwa dengan adanya kewenangan yang masih dimilik MPR, di samping kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR dan DPD, maka sebenarnya Indonesia menganut sistem tiga kamar.
Sebelum saya menjawab pertanyaan apakah sebenarnya sistem kamar yang dianut oleh Indonesia, saya akan mengajak pembaca untuk melihat sebentar sistem kamar di Amerika Serikat. Sistem kamar di parlemen Amerika Serika terdiri dari dua kamar, lebih tepatnya strong bicameralism, yaitu Senate dan House of Representative. Lembaga legislatif di Amerika Serikat disebut Congress. Senate terdiri dari dua orang perwakilan untuk setiap negara bagian. Masa jabatan Senator adalah enam tahun, namun satu senator dari tiap negara bagian dipilih setiap dua tahun sekali. Sedangkan masa jabatan House of Representative adalah empat tahun.
House of Representative dan Senate memiliki kewenangan yang seimbang. Setiap isu harus dibahas oleh kedua kamar secara bergantian dan keduanya mempunyai wewengan penuh untuk mengambil keputusan. Bila keputusan diantara keduanya berbeda, akan diadakan sidang gabungan untuk menyelesaikan perbedaan ini. Dalam fungsi legislasi, kedua kamar memiliki kekausaan untuk mengajukan rancangan undang-undang dalam semua hal, kecuali pajak yang hanya boleh diajukan oleh House of Representatives. Secara tradisi, anggaran negara akan diajukan oleh House of Representatives. Senate, berwenang untuk menyetujui perjanjian-perjanjian internasional dan menyetujui nominasi kandidat presiden (hal ini tidak diatur dalam kosntitusi, hanya sebuah tradisi).
Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia, dimana DPD tidak mempunyai kekuatan yang seimbang dengan DPR. DPD secara implicit berada di bawah Presiden dan DPR. DPD Mempunyai fungsi legislasi yang terbatas, hanya sebatas memberikan pertimbangan saja kepada DPR. Oleh karena itu, tidak mungkin sistem kamar di Indonesia dapat dikatakan sebagai strong bicameralism, layaknya sistem kamar di Amerika. Lalu apakah sebenarnya yang dianut oleh Indonesia?
Secara logika memang benar bahwa Indonesia mempunyai tiga kamar jika dilihat dari eksistensi keberadaan lembaga. MPR yang hanya dianggap sebagai joint session, toh mempunyai lembaga tersendiri, ada ketua dan wakil ketua, ada tata tertib dan kode etik, serta mempunyai wewenang yang ditetapkan di dalam UUD 1945. Akan tetapi, ketika dihubungkan dengan proses legislasi maka memang MPR tidak mempunyai fungsi legislasi layaknya fungsi legislasi yang terdapat dalam tubuh DPR. Oleh karena itu, saya tidak setuju dengan pendapat bahwa Indonesia menganut sistem tiga kamar (trikameral).
Dengan merujuk teori dari Giovanni Sartori, seperti yang telah diungkapkan di atas, maka saya melihat bahwa Indonesia menganut sistem weak bicameralism. Dengan alasan bahwa kedua kamar yang ada yaitu DPR dan DPD tidak mempunyai wewenang yang seimbang. DPD tidak mempunyai fungsi legislasi layaknya DPR. Fungsi budgeting nya pun terbatas. DPD tidak bisa menjadi lembaga pengontrol bagi DPR. DPD hanya memberikan pertimbangan bagi RUU yang terkait dengan hal-hal tertentu seperti yang telah disebutkan di atas.
Selain itu, saya juga melihat dari pandangan Arend Lijphart, bahwa tiga prasyarat dari weak bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan anggota, dan kemungkinan kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan minoritas. Kalau dilihat dari prasyarat tersebut maka Indonesia jelas menganut weak bicameralism. Alasannya adalah wewenang konstitusional antara DPR dan DPD itu berbeda. DPR mempunyai wewenang yang lebih besar daripada DPD. Selain itu, DPD merupakan wakil dari utusan daerah. Namun, yang menjadi permasalahan adalah kedudukan MPR itu, apakah MPR hanya sebuah joint session atau sebagai sebuah lembaga sendiri. Kalau saya mengatakan bahwa MPR hanya sebuah joint session antara DPR dan DPD maka kriteria Arend Lijphart mengenai weak bicameralism ini akan terpenuhi, tetapi kalau MPR dipandang sebagai sebuah lembaga maka Indonesia bukan termasuk weak bicameralism.
Menurut hemat saya, MPR hanya menjadi sebuah joint session saja. Meskipun sekarang keberadaan MPR itu ada tetapi tugas dan wewenangnya hanya insidental saja. Saya bahkan berpendapat secara ekstrem kalau MPR itu selama periode 2004-2009 ini hanya melakukan tugas pelantikan wakil presiden dan wakil presiden saja. Sedangkan tugas dan wewenang yang lain tidak dijalankan karena memang wewenang itu tidak diperlukan untuk dilakukan saat ini. Saya melihat tidak perlunya adanya keberadaan sebuah lembaga MPR itu. Untuk melantik presiden dan wakil presiden terpilih itu hanya membutuhkan waktu satu hari saja. Untuk tugas yang lain yaitu untuk impeachment dan mengubah dan menetapkan UUD 1945, sesuai dengan pendapat Reni Dwi Purnomowati, hal ini hanya tugas yang insidental. Untuk melakukan tugas mengubah dan menetapkan UUD 1945, menurut saya, bisa dilakukan oleh ketua DPR atau membentuk sebuah panitia khusus, tidak perlu adanya MPR. Soal masalah kepemimpinan sidang misalnya, bisa dilakukan bergantian antara ketua DPR dengan ketua DPD.
Jadi, kesimpulan terakhir saya adalah Indonesia menganut sistem weak bicameralism atau soft bicameralism. Dengan alasan yang telah saya uraikan diatas. Oleh karena itu, untuk saya melihat perlunya adanya penguatan dari DPD itu sendiri terkait dengan fungsi-fungsinya, terutama dari fungsi legislasinya. Hal ini kemudian bisa menjadikan penyeimbang bagi DPR. DPR tidak bisa seenaknya saja menetapkan UU, karena ada pengontrol dari DPD. Strong bicameralism, menurut saya, menjadi sebuah harapan untuk bisa menciptakan check and balances di dalam lembaga parlemen itu sendiri.
Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu mendapat tentangan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc Perubahan UUD 1945 di MPR 1999-2002, sehingga yang disepakati adalah rumusan yang sekarang yang tidak dapat disebut menganut sistem bikameral sama sekali. Dalam ketentuan UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan membentuk undang-undang. Namun, di bidang pengawasan, meskipun terbatas hanya berkenaan dengan kepentingan daerah dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang tertentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang legislasi, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai co-legislator, dari pada legislator yang sepenuhnya. Oleh karena itu, DPD dapat lebih berkonsentrasi di bidang pengawasan, sehingga keberadaannya dapat dirasakan efektifitasnya oleh masyarakat di daerah-daerah. Menurut ketentuan Pasal 22D UUD 1945
jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh struktur partai Indonesia pasca amandemen keempat UUD 1945 sama sekali tidak dapat disebut sebagai sistem bikameral. Pertama, ternyata bahwa DPD sama sekali tidak diberi kewenangan legislatif, meskipun hanya sederhana sekalipun. DPD hanya memberikan saran atau pertimbangan kepada DPR dan sama sekali tidak berwenang mengambil keputusan apa-apa di bidang legislatif. Kedua, Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang”, tidak seperti di Amerika Serikat yang dikatakan terdiri atas DPR dan Senat, atau Staten General Belanda yang terdiri atas “Eerste Kamer dan Tweede Kamer”. Ketiga, ternyata lembaga MPR juga mempunyai kewenangan dan Pimpinan tersendiri. Dari kedua hal itu, maka MPR dapat dikatakan sebagai institusi tersendiri, sehingga struktur parlemen Indonesia dapat disebut sebagai parlemen tiga kamar (tricameralism).
Apabila dilihat dari kasat mata, sistem perwakilan di Indonesia seolah-olah menjadi tiga kamar jika dilihat dari eksistensi keberadaan lembaga, dimana MPR memiliki wewenang dan pimpinan tersendiri. Akan tetapi, apabila kita hubungkan dengan proses legislasi maka memang MPR tidak memiliki fungsi legislasi layaknya fungsi legislasi yang terdapat dalam tubuh DPR.