Sumber Gambar: http://blogperadilan.blogspot.co.id/2015/04/beberapa-permasalahan-perkawinan_13.html |
1.1 Latar Belakang
Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, rekreasi, penunjang beribadah dan sebagainya dapat tepenuhi. Dalam perkawinan, kedudukan harta benda disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut diatas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan. Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang memiliki banyak harta benda dalam perkawinan menjadi sumber masalah dan penyebab terjadinya perselisihan dan perceraian suami iastri. Oleh karena itu perlu ditinjau dari babarapa segi agar hal yang tidak baik dapat dihindari.
Ada aspek lain yang perlu ditinjau dari segi hukum karena status harta benda sebagai salah satu symbol duniawi sering membawa malapetaka yang fatal antara suami dan istri.
Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan sejak tahun 1945 dan telah memiliki landasan dasr Negara, yaitu pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Namun, sampai sekarang pengaruh hukum belanda masih mendominasi dalam system perundang-undangan Indonesia. Conto yang paling kongkrit adalah di bidang hukum privat, Indonesia masih mengunakan kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Tetapi dalam rangka pembentukan hukum nasional, beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku, seperti dalam bidang hukum kebendaan yang sudah diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta hukum perorangan dan kekeluargaan yang telah diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Salah satu bagian yang diatur di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tentang harta benda perkawinan. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 macam-macam harta perkawinan dibagi menjadi :
- Harta pribadi, yaitu harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sabagi hadiah atau warisan.
- Harat bersama, yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami isteri selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Status harta perkawinan pun menjadi berbeda ketika adanya suatu ikatan maupun tidak adanya ikatan dengan tali perkawinan, oleh karena itu, status harta perkawinan dibagi menjadi 2 yaitu :
- Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta pribadi masing-masing karena perkawinan.
- Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing, kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Adapun tanggung jawab suami isteri tarhadap harta perkawinan :
- Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri dan hartanya sendiri.
- Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersamam maupun harta suaminya yang ada padanya.
- Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
- Apabila ada hutang suami atau istri, maka dibebankan pada hartanya masing-masing. Hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi baru dibebankan harta isteri.
Status harta bersama dalam perkawinan poligami :
- Masing- masing istri memiliki harta bersama secara terpisah dan sendiri-sendiri.
- Pemilikan harta bersamanya dihitung pada saat berlangsunganya akad nikah yang kedua, ketiga atau keempat.
Pembagian harta bersama :
- Jika terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
- Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas setengah harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan pengaturan didalam KUHPerdata menyatakan bahwa semua harta bawaan yang berasal dari bawaan suami maupun harta bawaan istri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri tersebut, kecuali diadakan perjanjian perkawinan sebelum perkawiinan tersebut dilangsungkan.
Perbedaan pengertian harta perkawinan menurut UU no. 1 tahun 1974 dan pengertian harta perkawinan menurut KUHPerdata inilah yang membuat terjadinya pertentangan dalam kasus yang akan dibahas dalam makalah ini
1.2 Rumusan Masalah
- Mungkinkah memisahkan harta perkawianan?
- Berhakkah janda mendapatkan harta warisan suami?
- Kumulasi gugat cerai dengan pembagian harta bersama dan apa akibat hukumnya terhadap anak?
1.3 Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian harta perkawinan dalam perkawinan setelah berlakunya UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
- Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang telah terdapat dalam pembagian harta perkawinan dalam perkawinan dan upaya penyelesaiannya.
1.4 Manfaat Penulisan
- Manfaat teoritis
Dari penulisan ini diharaokan dapat membantu penulis dalam memahami perbedaan-perbedaan yang terjadi antara konsep/teori dengan praktek pembagian harta perkawinan.
- Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan untuk evaluasi kinerja dalam praktek pembagian harta perkawinan.
2.1 Mungkinkah memisahkan harta perkawinan
Dalam hukum perkawinan dikenal dengan istilah perjanjian perkawinan. Sebelum perkawinan dilangsungkan atau sah secara hukum, kedua belah pihak dapat membuat perjanjian perkawinan yang menyangkut harta masing-masing (harta bawaan). Artinya, harta bawaan masing-masing tersebut tidak bercampur dan dikuasai oleh masing-masing.
Perjanjian perkawinan dibuat oleh notaris sebelum perkawinan dilangsungkan dan mulai berlaku pada saat perkawinan disahkan. Jika terjadi perceraian, maka harta yang diperoleh selama perkawinan saja yang dibagi.
Harta selama perkawinan tidak bisa diwariskan kepada orang selain istri, karena dalam hukum perkawianan sudah ditentukan bahwa harta gono-gini harus dibagi sama rata antara suami dan istri.[1]
Dan dalam membuat perjanjian perkawinan tidak diperbolehkan menentukan sebaliknya yang menyimpang dari UU perkawinan.
Kecuali untuk harta bawaaan, bisa saja tidak diberikan kepada istri, tetapi kepada anak maupun adiknya.
Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi harta bersama. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan dalam Pasal 119 bahwa :
Kekayaan masing-masing yang dibawanya kedalam perkawinan itu dicampur menjadi satu.
Lebih lanjut pada ayat 2 nya:
Persatuan (percampuran) harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami istri.
Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan bersama itu harus dibagi dua sehingga masing-masing mendapat separuh.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) di dalam Pasal 35 dinyatakan bahwa :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[2]
Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.
Perjanjian harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan dan tidak boleh ditarik kembali atau diubah selama berlangsungnya perkawinan. Mengenai perjanjian inidiatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Perjanjian Perkawinan harus dibuat dengan akte notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pengawas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu berlangsung dan ia mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.
Materi yang diatur didalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaaan. Perjanjian semacam ini biasanya berisi janji tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Lazimnya berupa perolehan harta kekayaan terpisah, masing-masing pihak memperoleh apa yang diperoleh atau didapat selama perkawinan itu termasuk keuntungan dan kerugian.
Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini tersangkut.[3]
2.2 Berhakkah Janda mendapat harta warisan suami
Pada dasrnya, janda dan anak-anak kandung dari suami berhak menerima harta warisan. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung :
Barang asal dapat dikuasai oleh janda untuk kepentingan hidupnya dan para ahli waris dari si peninggal itu dapat memperoleh warisan itu apabila janda telahkawin lagi atau meninggal dunia.
Dengan demikian, berdasarkan Yurisprudensi MA itu, seorang janda dapat menguasai harta peninggalan suaminya yang merupakan harta asal/bawaan selama janda tersebut tidak kawin lagi.[4]
Sedangkan mengenai bekas istri almarhum suami yang terdahulu, menurut hukum, ia tidak berhak lagi menerima warisan. Karena istri sudah diceraikan bukan merupakan ahli waris dari bekas suaminya (begitu pula sebaliknya), sebab tidak mempunyai hubungan hukum lagi. Hukum yang berlaku dalam pembagian warisan tersebut dapat ditentukan dengan kesepakatan ahli waris. Yakni bisa diberlakukan dengan hukum islam, menurut KUHPerdata atau hukum adat. Bila diberlakukan dengan hukum islam, maka pembagiannya 1:2. Dengan demikian, misalkan janda tersebut mempunyai 4 anak, tiga anak permpuan dan 1 anak laki-laki, maka janda tersebut dan 3 orang anak perempuannya mendapatkan masing-masing 1/6. Sedangkan anak laki-lakinya memperoleh 2/6.[5]
Menurut Praktek Badan Peradilan
Kedudukan janda menurut putusan Peradilan Agama, Pada hakekatnya sama dengan ketentuan hukum islam sebagaimana yang diuraikan di atas. Karena para hakim dalam memutuskan perkar waris yang diajukan kepadanya juga berpedoman pada ketentuan hukum islam.
Hanya saja oleh hakim Pengadilan Agama dalam menerapkan hukum islam pada setiap putusannya bukan semata-mata bersumberkan kepada Al-Quran dan Hadis-hadis Nabi serta Ijma dan Qiyas serta kitab fiqh para madzhab dan sumber hukum lainya, tetapi para hakim juga menjadikan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu rujukan dalam pengambilan putusannya.
Dimana dalam setiap perkara waris yang diajukan kepadanya, bilaman salah seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, maka istri atau suami yang hidup memperoleh setengah dari harta bersama selama masa perkawinan. Dan setengah bagiannya itu menjadi harta warisan bagi pewaris terhadap para pewarisnya.[6]
Hal tersebut sebagimana dimuat dalam KHI pasal 96 ayat (1) menyatakan:
“apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan hidup yang lebih lama”
Dan pasal 171 sub Ekonomi menyatakan bahwa:
“harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.
Dengan demikian, bila seorang istri (janda) ditinggal mati oleh suaminya dimana keduanya mempunyai harta yang diperoleh selama masa perkawinan tersebut sebagi harta bersama, maka si janda memperoleh setengah dari harta bersama ditambah sepermpat bila tidak ada anak almarhum suaminya, atau seperdelapan bila mempunyai anak dari setengah harta bersama yang disatukan dengan harta bawaan suaminya.
Bila diberlakukan dengan menurut KUHPerdata, masing-masing menerima bagian yang sama yaitu 1/5 bagian warisan. Sedangkan bila mengikuti hukum adat, mengikuti aturan adat setempat. Apabila terjadi penyimpangan, janda tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dimana par ahli waris tersebut tinggal.[7]
Dari apa yang di uraikan diatas bisa disimpulkan bahwa:
- Kedudukan janda janda dalam hukum waris adat secara umum tidak termasuk dalam kelompok ahli waris dan tidak pula mendapat harta warisan dari harta peninggalan suaminya. Janda hanya dapat menikmati harta peninggalan suaminya sebagai jaminan nafkah hidup.
- Bahwa kedudukan janda dalam hukum waris Islam sama dengan kedudukan ahli waris lainya seperti kedudukan suami,istri,ayah,ibu,anak laki-laki,anak permpuan tidak pernah terhalang. Dan mendapat bagian seperempat bila tidak ada anak dan seperdelapan bila ada anak. Dan menurut praktek Badan Peradilan Agama, setengah bagian dari harta bersama diberikan kepada janda yang ditinggal mati almarhum suaminya.
2.3 Kumulasi Gugat Cerai dengan Pembagian Harta Bersama dan Akibat Hukum Terhadap Anak Keturunan
Praktek dalam lingkungan peradilan umum tidak dibenarkan kumulasi antara gugat cerai dengan pembagian harta bersama.
Alasannya adalah :
1) Pembagian harta bersama adalah accesor/ikutan.
Oleh karena sifatnya yang ikutan tersebut pembagian harta bersama tidak dapat disengketakan secara serentak dengan gugatan perceraian.
2) Persoalan pembagian harta bersama baru muncul secara efektif setelah adanya keputusan perceraian dan itupun harus mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
3) Sepanjang gugatan perceraian belum pada tingkat keputusan yang berkekuatan tetap maka soal harta bersama masih bersifat terlalu dini.
4) Sifat accesor, premature dan belum terbuka mengakibatkan pula harta bersama itu belum mempunyai kewenangan/kecakapan untuk dapat diajukan sebagai suatu tuntutan hukum.[8]
Dalam lingkup peradilan agama menurut UU No. 1989 dibolehkan adanya kumulasi antara gugat perceraian dengan pembagian harta bersama. Sementara itu akibat hukum tarhadap anak keturunan adalah sebagimana disinggung diatas perkawinan tidak hanya berakibat terhadap suami istri, juga terhadap harta kekayaan dan terakhir tehadap anak keturunannya.
Jika di dalam perkawinan yang sah melahirkan keturunan maka :
1) Anak tersebut menjadi anak sah
2) Anak tersebut dapat menggunakan nama yang berkaitan dengan nama keluarga bapaknya.
3) Anak tersebut mempunyai hubungan yang sah dengan kedua orang tuanya.
4) Keturunan mengikuti garis keturunan sesuai denagn kekerabatan yang ada.
5) Anak tersebut berhak atas perlindungan, pemeliharaan dan pendidikan pasangan suami istri yang bersangkutan.
Jika dibaca secara diteliti dan mendalam ketentuan dalam pasal-pasal undang-undang perkawinan tidak ada yang mengatur secara rinci dan khusus mengenai hak-hak seseorang anak.
Mengenai hak-hak seorang anak diatur dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia. Adapun yang dimaksud adalah :
- UU No. tahun 1979 tantang Kesejahteran anak diatur melalui pasal 2 sampai dengan 8.
Dicantumkannya hak-hak seorang anak dalam undang-undang ini sebagai usaha untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar dan baik secara rohani, jasmani maupun social, tetutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.[9]
Melalui undang-undang dapat kita pahami dibedakan hak-hak seorang anak secara umum dan hak-hak seorang anak secara khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan rohani,jasmani, maupun sosial dan memerlukan pelayanan khusus.
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asai Manusia diatur melalui pasal 15 sampai 52.
Dari pasal di atas dapat disimpulkan bahwa hak anak diakui dan diberi perlidungan hukum yaitu:
a) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari orang tuanya dan harus mendapat jaminan untuk diasuh dan dirawat oleh mereka.
b) Untuk mengetahui siapa orang tuanya dan harus mendapat jaminan untuk diasuh dan dirawat oleh mereka.
c) Hak untuk memperoleh pendidikan, pengajaran, beristrirahat, bergaul dan berintegrasi dengan lingkungannya.
d) Hak untuk menerima informasi dan mendapatkan perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi yang mendapatkan perlindungan dari kegiatan yang dapat membahayakan dirinya.
e) Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan yang dapat mengancam keselamatan dirinya.
f) Hak untuk memperoleh perlakuan yang berbeda dari pelaku tindak pidana dewasa.
- UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak diatur melalui Pasal 4 sampai dengan pasal 18.
Melalui pasal-pasal diatas disamping memberikan perlindungan juga memberikan jaminan pemenuhan hak-hak anak tersebut dan tidak adanya perlakuan diskreminatif terhadap anak-anak.
Dalam hukum perkawinan tidak semua keturunan yang dilahirkan dari perkawinan adalah anak sah.
Hal ini terjadi mengingat ada upaya huku yang dapat ditempuh oleh si bapak untuk melakukan penyangkalan terhadap anak yang dilahirkan oleh istrinya.[10]
Kalau terbukti penyangkalannya dipengadialn, maka si anak tersebut hanyalah anak yang mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya.
Jadi dengan demikian jika upaya hukum itu ditempuh dan terbukti di pengadilan maka dalam perkawinan tersebut akan terdapat da macam status anak yaitu disamping anak sah dan juga anak diluar perkawianan.
3.1 Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang bias diambil dari kasus diatas yakni:
a. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974,macam-macam harta perkawinan, yaitu:
· Harta pribadi dalah harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
· Harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami istri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
b. Status harta perkawinan pada dasrnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena perkawinan. Suami dan istri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing, kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
c. Tamggung jawab suami istri terhadap harta perkawian, yaitu suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya sendiri; istri ikut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya;suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama; dan apabila ada hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi pada harta suami, selanjutnya dibebankan pada harta istri apabila masih belum mencukupi.
3.2 Saran
Saran yang penulis berikan atas adanya kasus harta perkawinan ini adalah: diperlukan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing pihak agar status harta bawaan tersebut jelas dan pasti. Karena ketentuan di dalam UU No.1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta bawaan dengan harta bersama tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat akan dilangsungkannya perkawinan atau sebelum dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari, terutama dalam segi pembuktian asal-usul harta pada waktu pembagian harta saat perceraian.
[1] Wawan Tunggul Wijaya. SH, 2008, Kasus-Kasus Hukum dalam Kehidupan Sehari-hari, Bentara Cipta Pratama Jakarta, h.34
[2] Wawan Tunggul Wijaya. SH,2008, Kasus-Kasus Hukum dalm Kehidupan Sehari-hari,Bentara Cipta Pratama, Jakarta,h.34
[3] Wawan Tunggul Wijaya.SH,2008,Kasus-Kasus Dalam Kehidupan Sehari-hari,Bentara Cipta Pratama Jakarta, h.34
[4] Afandi, Ali.2000.Hukum Waris,Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Jakarta : PT.Rineka Cipta
[5] Wawan Tunggul Alam.2008.Kasus-Kasus Hukum dalam Kehidupan Sehari-hari.Bentara Cipta Prima
[6] Afandi, Ali.2000.Hukum Waris,Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian.Jakarta, Bentara Cipta Prima. H.21
[7] Bambang Waluyo,Penelitian Hukum dalam Praktek.Jakarta: Sinar Grafika,1991 hal.2.
[8] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Cetakan 2, Jakarta : penerbit Universitas Indonesia,1989.
[9] Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti,2004, hal.134
[10] Hilman Hadikusumo,Hukum Perkawinan Indonesia,Bandung: Mandar Maju,1990,hal.7.