Hambatan Dalam Pelaksanaan Partai Politik di Indonesia - Feel in Bali

Wednesday, June 12, 2013

Hambatan Dalam Pelaksanaan Partai Politik di Indonesia


Kita melihat beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab gagalnya sebuah partai politik di Indonesia menjalankan fungsinya.
Pertama adalah sistem kepartaian di Indonesia: Indonesia sejak zaman Kemerdekaan mengadopsi sistem multi partai dengan segala variannya sebagai wujud kemajemukan (beragamnya kepentingan dan kelompok sosial) Indonesia. Secara spesifik, pada negara berkembang partai politik yang ada akan membentuk sistem yang terpolarisasi sebagai akibat dari lebarnya jarak ideologi. Keadaan tersebut akan menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil karena partai politik yang ada cenderung untuk terlibat dalam konflik horizontal. Hal itu juga akan menyebabkan partai politik kurang dapat menjalankan fungsi komunikasi dan sosialisasi politik di masyarakat.

Kemudian kita juga melihat budaya elitisme sebagai alasan kedua mengapa partai politik d Indonesia kurang dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Pada partai politik di Indonesia, partisipasi politik masih dikuasai oleh kelompok-kelompok (faksi) tertentu. Pada perkembangannya, budaya tersebut membuat partai hanya dikuasai oleh elit-elit tertentu dan bahkan bisa berkembang menjadi semacam dinasti politik dalam partai. Hal itu mungkin menjadi strategi partai politik untuk mempertahankan ideologi dan kepentingannya. Kalau sudah begitu, fungsi rekruitmen partai politik tidak akan berjalan sempurna dan bisa menjadi preseden bruk dalam pendidikan politik di masyarakat.

Faktor lain yang bisa menjadi penyebab kegagalan fungsi partai politik di Indonesia adalah pragmatisme partai politik itu sendiri. Pada dasarnya ideologi partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh jalur-jalur agama, kelas dan kebangsaan. Menurut Ratnawati (2006) dalam bukunya “Sistem Kepartaian di Era Transisi”, Secara khusus kajian tentang partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh adanya politik aliran, yaitu beberapa aliran ideologis yang berkembang dan mempengaruhi kehidupan politik Indonesia. Namun pada dewasa ini, idealisme partai seakan dikalahkan oleh budaya pragmatisme yang menyebabkan partai politik di Indonesia lebih berpikir untuk mempertahankan kekuasaan politiknya saja daripada mempertahankan idealisme semata.

Sebenarnya kegagalan fungsi partai politik tersebut bukanlah suatu hal yang jarang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia masih mengalami masa transisi dari beberapa sistem politik untuk mencapai sistem yang stabil. Namun apabila partai politik gagal menjaga tugas dan fungsinya dengan baik, maka masa transisi tersebut hanya akan diwarnai oleh ketidakstabilan di bidang politik yang kemudian berimbas pada bidang sosial dan ekonomi. Secara sederhana rakyat akan melihat partai politik gagal dalam mengemban amanat rakyat dan hal itu akan menyebabkan rakyat menjadi apatis terhadap partai politik. Dampaknya adalah partisipasi rakyat dalam politik akan menurun tajam.

Asshiddiqie juga memaparkan bahwa yang dimaksud dengan kelemahan partai politik adalah potensi negatif yang dapat menghambat fungsi partai politik sebagaimana disebutkan diatas sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Diantara kelemahan yang diungkapkan Asshiddiqie antara lain adalah budaya oligarki, yaitu kecenderungan suatu partai politik untuk memperjuangkan kepentingan pengurusnya diatas kepentingan masyarakat secara umum. Potensi negatif oligarki ini dapat diatasi dengan adanya beberapa mekanisme penunjang, yaitu:
Pertama, mekanisme internal yang mendorong proses demokratisasi dengan cara meningkatkan partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan partai. Selain perlu dirumuskan secara formal dalam AD/ART, mekanisme ini perlu ditradisikan sebagai suatu rule of law yang berjalan secara informal. Bersama dengan AD dan ART diperlukan suatu panduan kode etik internal organisasi yang ketiganya menjadi panduan bagi seluruh anggota dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan di internal partai secara demokratis.
Kedua, menyediakan suatu mekanisme keterbukaan partai yang memungkinkan warga masyarakat di luar partai untuk dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang diperjuangkan partai politik. Keberadaan pengurus harus dapat berfungsi sebagai pelayan aspirasi dan kepentingan bagi konstituennya.
Ketiga, adanya suatu penyelenggaraan negara yang baik dengan kualitas pelayanan publik yang baik sebagai penunjang bagi terciptanya suatu iklim politik yang sehat. Dengan terbentuknya tata pemerintahan yang berintegritas dan profesional, peluang bagi para elite partai politik untuk memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dapat diminimalisir.
Terakhir, kebebasan pers yang disertai profesionalisme insan pers dan semangat mendidik masyarakat luas. Keberadaan pers menjadi suatu umpan balik dari sikap atau kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan di internal partai politik.