Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk :
- Menciptakan satu konvensi internasional yang
dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan
mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang
terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional.
- Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran
narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan
- Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas
text ini di copy dari www.feelinbali.blogspot.com
Indonesia
adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan
kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1976 Tentang
Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya.
Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menmgulangi kejahatan
narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No.
9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan
pemerintah kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927
(Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan
penggunaan obat bius.Dealam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme (UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Hawana, Cuba. Resolosi ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain dengan : (a) meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika; (b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.
Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ESEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan :
- Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta
strategi penanggulangan kejahatan narkotika.
- Keseragaman peraturan perundang-undangan di
bidang narkotika
- Membentuk badang koordinasi di tingkat
nasional; dan
- Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara
bilateral, regional, dan internasional.
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN. Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional.
Bagaimanakah upya penanggulangan penyalahgunaan narkotika di dalam negeri indonesia melalui penegakan huku (law enforcement) di bidang narkotika ?; dan bagimanakah kinerja penegakan hukum di bidang narkotika di Indonesia ?
Sebelum Indonesia merdekan, pada masa pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan Ordonansi Obat Bius yang disebut Verdoovende Middellen Ordonantie (Staatsblad 1927 No. 278 jo. No. 536). Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium verpakkings Bepalingen (Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlaukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul diberlakukan UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
text ini di copy dari www.feelinbali.blogspot.com
Aspek kelembagaan yang dibangun untuk penegakan hukum (law enforcement) penyalahgunaan narkotika didasarkan pada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971 dengan membentuk satu badan khusus yang disebut Badan Koordinasi Pelaksana (BaKoLak) untuk meningkatkan efektifitas penanngulangan (pencegahan maupun penindakan) masalah-masalah keamanan negara. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dimasukkan sebagai salah satu masalah nasional yang dapat mengancam ketertiban umum dan keamanan negara selain tindak pidana uang palsu, subversi, penyelundupan, korupsi, dan kenakalan remaja.
Kedati demikian, kenyataan memperlihatkan bahwa kuantitas kejahatan di bidang penyalahgunaan narkotika terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin meningkatnya operasi peredaran narkotika secara ilegal melalui jaringan sindikat internasional ke negara-negara sedang berkembang. Pada awalnya Indonesia, dan Filipina, Thailand, Malasia, dan Papua New-Guinea, hanya dijadikan sebagai negara-negara transit (tansit states) oleh jaringan sindikat internasional untuk operasi perdagangan narkotika secara internasional. Tetapi, kemudian sejak akhir tahun 1993 wilayah Indonesia mulai dijadikan sebagai negara tujuan transit (point of transit) perdagangan narkotika ilegal ke Australia dan Amereka Serikat dari pusat pruduksi dan distribusi narkotika di wilayah segi tiga emas (the golden triangle) yang terlek didaerah perbatasan antara Thailand, Laos, dan Kamboja.
Internasional Criminal Police Organization Interpol Singapora dan Australia melaporkan bahwa antara tahun 1992-1993 dapat ditangkap pelaku pembuat dan pengedar narkotika sindikat internasional berkebangsaan asing setelah transit di indonesia. Mereka mengakui bahwa putugas bea cukai di bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Ngurah Rai Bali dengan mudah dapat dikelabuhi sehungga lolos sampai di Australia (dalam Atmasasimita, 1997) dalam perkembangan selanjutnya Indonesia bukan saja dijadikan transit0-state atau point of transit perdagangan narkotika trasnasional, tetapi juga telah menjadi market yang sangat menguntungkan di wilayah Asia Tenggara paling tidak karena 3 alasana :
- Intrumen hukum nasional yang mengatur
penyalahgunaan narkotika, yaitu UU No. 9 Tahun 1996 maupun UU No. 22 tahun
1997 tentang Narkotika sebagai pengganti UU Narkotika 1976 secara khusus
tidak mengatuir ketentuan mengenai tindak pidana narkotika transnasional
yang dilakukan di luar batas teritorial Indonesia. Karena itu, instrumen
hukum narkotika nasional tidak mampu menjangkau tindak pidana narkotika
yang bersifat transnasional (Atmasasmita, 1997)
- Secara normatif ancaman sanksi pidana yang
diatur dalam UU Narkotika 1976 maupun UU Narkotika 1997 sudah berat (mulai
dari pidana penjara sampai pidana mati plus pidana denda secara
kumulatif),, tetapi kelemahan mendasar justru terjadi pada tingkatan
implementasi atau penegakan hukumnya (law enforcement).
- Ketentuan sanksi pidana penjara dan denda
yang diatur dalam UU Narkotikqa 1976 dan UU Narkotika 1997 hanya
mencantumkan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus terhadap
jenis tindak pidana tertentu dan pada setiap obyek narkotika tertentu.
Tetapi, tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum
umum, sehingga menimbulkan disparitas penjatuhan pidana (disparity of
sentencing)4 dalam hal lamanya masa pidana (strafmaat)
dan jenis pidananya (strafsoort) tanpa dasar pembenar yang jelas
terhadap perkara-perkara pidana narkotika di pengadilan. Implikasi hukum
dari adanya disparitas penjatuhan pidana ini dikaitkan dengan correction
administration, karena salah tujuan penjatuhan pidana adalah agar
orang menghormati hukum; jika terpidana yang satu mengetahui ada terpidana
lain dijatuhi pidana yang lebih ringan dari dirinya, atau sebaliknya
padahal perbuatan yang dilakukan sama maka terpidana tersebut cenderung
semakin tidak menghormati hukum. Akibatnya, tujuan dari penjatuhan pidana
maupun perlindungan masyarakat untuk ketertiban dan keamanan juga menjadi
tidak tercapai (Muladi dan Arief, 1998)
- Lemahnya kinerja penegakan hukum (law
enforcement) tidak saja karena faktor perundang-undangan narkotika (substance),
tetapi juga karena kinerja aparat penegak hukum (structure) dalam
penanggulangan (pencegahan maupun penindakan) tindak pidana narkotika.
Kelemahan dari faktor UU Narkotika 1997 antara lain : (a) jarak antara
ancaman pidana minimum khusus dengan maksimum khusus (toleransi
disparitas) sangat jauh dan bervariasi tanpa disertai dengan pedoman
penentuannya; (b) tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan
maksimum umum pedoman penjatuhan pidana (sentencing standard guidelines),
sehingga memberi peluang judicial discretion yang terlalu luas bagi hakim
dalam memutus perkara narkotika; (c) terdapat inkonsistensi dalam
penggunaan prinsip pencantuman ancaman pidana, karena terdapat beberapa
pasal yang tidak mengatur ancaman pidana minimal khusus dan maksimum
khusus sedangkan pasal-pasal yang lain mengaturnya; (d) tindak pidana
narkotika yang dilakukan oleh nkorporasi hanya diancam dengan pidana
dengan disertai dengan pidana tambahan seperti pencabutan ijin atu
penutupan sebagaian atau keseluruhan korporasi; (e) ancaman pidana denda
untuk korporasi jumlahnya milyaran rupiah tanpa menegaskan ancaman minimum
khususnya, sehingga memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana
dengan dengan minimum umum yang jumlahnya sangat kecil bagi suatu
korporasi,
Sedangkan,
kelemahan dari kenerja aparat penegak hukum (polisi), jaksa maupun hakim) dalam
penanaggulangan tindak pidana narkotika dapat ditinjau dari aspek-aspek seperti
berikut : (a) personalitas dan moralitas aparat penegak hukum (personality
and morality), manajemen dan sarana penegakan hukum (management and
equipment/facilities), sistem rekruitmen dan promosi (recruitment and
promotion system), serta sistem penghargaan dan penghukuman (reward and
punisment system). Integritas moral menjadi fundamental ketika seseorang
memilih profesi sebagai aparat penegak hukum dan keadilan; integritas moral dan
personalitas seorang akan diuji dalam pelaksanaan wewenang dan swadharma
penegakan hukum, karena profesi penegak hukum merupakan profesi (swadharma)
yang mulai dan terhormat (honorable and respectable profession).
Agar
aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugasnya secara efesien, efektif, dan
profesional, maka harus didukung oleh sistem manajemen, sarana dan fasilitas
yang memadai, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar (basic need)
penegak hukum. Hal ini harus dimulai dari penataan sistem rekruitmen dan
promosi yang konsisten dan obyektif, disertai dengan sistem rewart bagi
yang berprestasi dan penjatuhan punisment bagi yang berwanprestasi dalam
kinerja penegakan hukum.