Gambaran Umum Lapangan Puputan Badung
Lapangan Puputan Badung berada di jantung Kota
Denpasar, yang lokasinya
tepat bersebelahan dengan Meseum Bali dan Pura Agung Jaganatha. Di tempat ini
pula terdapat tapal batas kota yang bertanda nol (0) yang memiliki makna
disitulah titik nol kota Denpasar berada. Kini, peristiwa heroik itu telah
berlalu sekitar 105 tahun. Dan Lapangan Puputan Badung telah menjelma menjadi
monumen hijau kota. Ia abadi dan begitu dicintai warga masyarakat Bali karena
hamparan rerimbunan pohon dan kesejukan yang disajikan. Makanya tak heran
setiap harinya tempat wisata bersejarah ini tak luput dari kedatangan para
wisatawan yang ingin bersantai dengan keluarga, sambil menikmati udara yang
sejuk dan makanan khas Kota Denpasar. Disatu sisi selayaknya Lapangan Puputan
dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau. Namun disisi lain, kebutuhan sebuah
kota yang sentral tentu tak mungkin melepaskan diri dari tuntutan modernisme dengan
diindikasikan oleh berdirinya berbagai bangunan seperti mall, pasar modern, dsb
yang tentunya akan membutuhkan banyak areal untuk dibangun.
SEJARAH PUPUTAN BADUNG
Puputan Badung adalah sebuah bentuk perang perlawanan
terhadap ekspedisi militer pemerintah kolonial Belanda V di Badung. Puputan
Badung berarti pula bentuk reaksi terhadap intervensi penguasa Belanda terhadap
kedaulatan masyarakat Badung. Bagi masyarakat Bali di Badung, puputan berarti
juga sikap mendalam yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur, yaitu ksatria sejati,
rela berkorban demi kedaulatan dan keutuhan negeri (Nindihin Gumi Lan Swadharmaning Negara) membela kebenaran dan
keadilan (Nindihin Kepatutan)
serta berperang sampai tetes darah terakhir.
Oleh karena itu ”Puputan” yang menjadi tekad bersama
raja-raja, para bangsawan dan seluruh rakyat di Badung sama sekali bukanlah
refleksi keputusasn, justru perang Puputan Badung 20 September 1906 merupakan
fakta sejarah tak terbantahkan tentang jiwa kepahlawanan dan keunggalan raja
dan rakyat Badung. Berdasarkan bukti-bukti historis yang ada, jelas bahwa
raja-raja dan rakyatnya betul-betul tulus iklas dan berani (lascarya)
melakukan perang ”Puputan” sebagai bentuk keputusan bersama untuk
mempertahankan kedaulatannya dari Belanda.
Fakta sejarah Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906,
akan tetap abadi tidak saja dalam catatan sejarah perjalanan negeri ini, namun
juga dalam hati sanubari rakyat di seluruh negeri. Perang yang menelan 7000 korban jiwa itu patut menjadi suri teladan tidak
hanya bagi rakyat Badung, namun bagi seluruh insan tanah air di masa kini,
untuk senantiasa berjuang mencapai cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia
sampai titik darah penghabisan.
Sehingga setiap 20 September dijadikan peringatan hari lahirnya Puputan Badung,
untuk mengingat perjuangan rakyat-rakyat dulu bertempur demi membela tanah air
Indonesia. Hingga kini Lapangan Puputan Badung masih menyisakan kenangan dan
cerita warga Pulau Dewata. Ada patung tiga orang, satu perempuan, satu
laki-laki, dan satu anak di bagian utara lapangan ini sebagai penanda
terjadinya perang besar tersebut. Karena peristiwa itulah alun-alun ini di beri
nama Lapangan Puputan Badung. Puputan berarti perang habis-habisan. Konon saat
perang puputan terjadi, di lokasi inilah ribuan manusia meregang nyawa, karena
dentuman meriam Belanda dan keangkuhan
manusia.
Lapangan Puputan Badung Kini
Kini, 106 tahun persitiwa itu sudah berlalu.
Lapangan Puputan Badung seperti menjelma menjadi monument hijau kota. Lapangan
Puputan Badung sangat abadi, karena masih menyisakan kesejukan dari rimbun pepohonan dan hamparan rerumputan.
Setiap harinya, ribuan orang berkunjung ke lapangan ini. Ada yang bermain atau
sakedar duduk santai bersama keluarga, sambil menikmati hidangan khas Pulau
Dewata, lumpia. Di hari libur atau minggu pagi, banyak orang jogging, lari pagi
atau sekadar menghirup udara segar mengelilingi lapangan atau alun-alun Puputan
Badung di tengah-tengah Kota Denpasar. Dalam kondisi seperti itu, batin serasa
segar, bebas, lepas dan ringan dari beban keseharian. Sementara sore harinya,
masyarakat pun tumpah ruah di ruang terbuka ini. Orang tua bersama anak-anak
bersuka ria menikmati lapangan ynag ada di sekitar Puputan Badung. Ada yang
bercanda, berlari-larian, atau anak-anak bermain sepak bola. Di sisi timur para
penghobi catur tekun bermain. Sementara di tepi utara lapangan berdiri Patung
Puputan Badung (simbol ayah, ibu dan anak -- satu keluarga) dalam posisi pekik
"puputan", gagah berani, dikelilingi air mancur yang muncul dari
sisi-sisi kolam. Pada sudut timur laut dan barat laut, terdapat bale bengong.
Sementara di sudut tenggara ada dua bale sakapat.
Lapangan Puputan Badung kini menjadi
tempat yang bisa dimanfaatkan dengan berbagai aktivitas. Lapangan Puputan
Badung buka 24 jam setiap harinya, sehingga wisatawan dapat berkunjung kapan
saja. Di sana juga terdapat beraneka dagang yang dapat memuaskan rasa lapar dan
haus, mulai dari harga 500 rupiah. Di Lapangan Puputan Badung juga gratis masuk
hanya membayar uang parkir, sepeda motor tarifnya 1000 rupiah per motor dan
roda empat tarifnya 2000 rupiah. Selain itu, kita dapat berfoto-foto di sekitar
Lapangan Puputan Badung.