Pemulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering) Adalah suatu hal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakanniatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapatdihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHPadalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukanapakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan.Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan perbuatanyang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan.
Unsur kedua ini merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan.
Bertolak dari pandangan atau teroi percobaan yang subjektif, van Hammel berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternayat adanya kepastian nit untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh van Hammel adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat .
Bertolak dari pandangan teori percobaan yang objektif materil, Simons berpendapat bahwa :
- Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik.
- Pada delik materil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh UU tanpa memerlukan perbuatan lain.
Menurut pendapat Prof.Moeljatno yang dapatdigolongkan penganut teori campuran. Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksaan dalam delik percobaan, beliau berpendapat yang harus diperhatikan :
1. Sifat atau inti dari delik percobaan;
2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya.
Mengingat kedua faktor tersbut, maka perbuatan pelaksaan harus memenuhi 3 syarat, yaitu :
1. Secara objektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang ditujukan atau harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
2. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan pada delik yang tertentu tadi.
3. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Dengan demikian menurut beliau, diakatak ada perbuatan pelaksanaan apabila seseorang telah melakukan perbuatan :
1. yang secara objektif mendekatkan pada suatu kejahatan tertentu;
2. Secara subjektif tidak ada keraguan lagi delik mana yang diniatkan;
3. Perbuatan itu sendiri bersifat melawan hukum.
Untuk menentukan apakah perbuatannya itu bersifat melwan hukum, Prof Moeljatno berpendapat bahwa segi subjektif dan objektif bersama-sama mempunyai pengaruh timbal balik menurut keadaan tiap-tiap perkara. Ada kalanya perbuatan lahir yang sepintas lalu merupakan perbuatan pelaksaan dari suatu kejahatan, tetapi karena jelas tak adanya niat untuk melakukan kejahatan itu, harus tidak dikualifisir sebagai melawan hukum.
Sebaliknya adakalanya juga bahwa perbuatan lahir yang tampaknya tidak jahat sama sekali, tetapi karena jelas didorong oleh niat untuk melakukan kejahatan maka harus ditentukan sebagai melwan hukum.
tentang ’peristiwa’ yang merupakan awal pelaksanaan, dengan dasar pemikiran yang ada dalam doktrin !
• Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak à Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kehendak” à TEORI POGING SUBYEKTIF
• Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “… tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara sistematis maka ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kejahatan” Ã TEORI POGING OBYEKTIF
Pemulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering) Adalah suatu hal yang musykil apabila seseorang akan mengutarakanniatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapatdihukum karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHPadalah unsur niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering).Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukanapakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan.Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan perbuatanyang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan.
Unsur kedua ini merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan.
Bertolak dari pandangan atau teroi percobaan yang subjektif, van Hammel berpendapat bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan telah ternayat adanya kepastian nit untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh van Hammel adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si pembuat .
Bertolak dari pandangan teori percobaan yang objektif materil, Simons berpendapat bahwa :
- Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik.
- Pada delik materil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh UU tanpa memerlukan perbuatan lain.
Menurut pendapat Prof.Moeljatno yang dapatdigolongkan penganut teori campuran. Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksaan dalam delik percobaan, beliau berpendapat yang harus diperhatikan :
1. Sifat atau inti dari delik percobaan;
2. Sifat atau inti dari delik pada umumnya.
Mengingat kedua faktor tersbut, maka perbuatan pelaksaan harus memenuhi 3 syarat, yaitu :
1. Secara objektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang ditujukan atau harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
2. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan pada delik yang tertentu tadi.
3. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Dengan demikian menurut beliau, diakatak ada perbuatan pelaksanaan apabila seseorang telah melakukan perbuatan :
1. yang secara objektif mendekatkan pada suatu kejahatan tertentu;
2. Secara subjektif tidak ada keraguan lagi delik mana yang diniatkan;
3. Perbuatan itu sendiri bersifat melawan hukum.
Untuk menentukan apakah perbuatannya itu bersifat melwan hukum, Prof Moeljatno berpendapat bahwa segi subjektif dan objektif bersama-sama mempunyai pengaruh timbal balik menurut keadaan tiap-tiap perkara. Ada kalanya perbuatan lahir yang sepintas lalu merupakan perbuatan pelaksaan dari suatu kejahatan, tetapi karena jelas tak adanya niat untuk melakukan kejahatan itu, harus tidak dikualifisir sebagai melawan hukum.
Sebaliknya adakalanya juga bahwa perbuatan lahir yang tampaknya tidak jahat sama sekali, tetapi karena jelas didorong oleh niat untuk melakukan kejahatan maka harus ditentukan sebagai melwan hukum.
tentang ’peristiwa’ yang merupakan awal pelaksanaan, dengan dasar pemikiran yang ada dalam doktrin !
• Secara gramatika, harus dihubungkan dengan kata yang mendahuluinya yaitu “voornemen”/ niat/kehendak à Niat sudah terwujud dengan adanya permulaan pelaksanaan. Jadi : pelaksanaan itu ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kehendak” à TEORI POGING SUBYEKTIF
• Tetapi, jika dihubungkan dengan anak kalimat berikutnya “… tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” maka secara sistematis maka ditafsirkan sebagai “pelaksanaan kejahatan” Ã TEORI POGING OBYEKTIF