Realita Hukum Di Sekitar Kita Mengkaji Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 19 tahun2002 tentang Hak Cipta - Feel in Bali

Monday, February 4, 2013

Realita Hukum Di Sekitar Kita Mengkaji Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 19 tahun2002 tentang Hak Cipta


Kemajuan teknologi telah sedemikian pesatnya yang dahulu kita hanya bisa mendapatkan informasi hanya lewat sebuah tulisan atau buku tapi sekarang kita bisa mendapatkan informasi dari berbagai media yang sudah ditemukan seperti televisi, radio, video compact disk (VCD), dll.
Pengaruh perkembangan zaman dengan segala teknologinya samakin memfasilitasi dan memudahkan manusia untuk mengembangakan bakatnya. Tapi kemajuan teknologi pula semakin memudahkan atau memfasilitasi orang lain untuk memanfaatkan bakat-bakat atau hasila karya seni orang lain untuk segala hal yang bersifat komersial secara ilegal tanpa memikirkan efek atau dampaknya, terutama kepada para penciptanya.
Mengambil keuntungan dari hasil jerih payah orang lain secara ilegal  dengan mengcopy atau perbuatan yang lainnya lalu di komersialkan oleh pelaku bukan hanya merugikan secara materil tetapi juga akan berefek kepada semakin mundurnya perkembangan baik itu teknologi, seni, budaya yang diciptakan oleh para pencipta karena tidak mengembangkan lagi penemuanya, hasil karyanya dan lain sebagainya. Kenapa bisa demikian, coba bayangkan seseorang pencipta yang menemukan sesuatu atau membuat sebuah karya seni dengan menghabiskan banyak waktu, tenaga dan tidak sedikit materi yang harus dikeluarkan tapi setelah karya tersebut jadi ada seseorang pengusaha kaya yang mengcopy atau mengambil karyanya tersebut kemudian di komersialkan sehingga mendapatkan keuntungan yang luarbiasa dari hasil karya tersebut, sedagkan sepencipta tidak mendapatkan apa-apa, ini merupakan sebuah bentuk ketidak adilan yang bisa berefek sangat luas kepada para pencipta lainnya.
Disinilah pemerintah mempunyai peran untuk  mengikuti perkembangan zaman, peraturan perundang-udangan negara kita harus terus melihat, merasakan, serta mengikuti arus perkembangan jaman supaya aturan tersebut benar-benar mengisi rasa keadilan masyarakat. Dan memang sebetunya pemerintah sebenarnya sudah jauh-jauh hari peduli terhadap masalah ini, terbukti dengan diciptakannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1987 kemudian disepurnaka lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 yang diundangkan pada 17 mei 1997. Terakhir adalah Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 yang diundangkan tanggal 29 Juli 2003 dan mulai berlaku 12 bulan sejak tanggal pengundangannya.[1] Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997. Peran serta pemerintah ini tidak terlepas pula dari campurtangan kepentingan internasional terhadap masalah ini sebagai konsekuensi logis Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) maka indonesia dituntut untuk mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh organisasi tersebut yaitu Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRPIs) atau Aspek-aspek Perdagangan yang bertalian dengan Hak Milik Intelektual. Dan bergabungnya Indonesia menjadi anggota dari WTO secara otomatis Indonesia harus mematuhi aturan yang ada pada organisasi internasional tersebut.
Sebagai konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade Organization ) mengharuskan Indonesia menyesuaikan segala peraturan perundangannya di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan standar TRIP's (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang dimulai sejak tahun 1997 dan diperbaharui kemudian pada tahun 2000 dan tahun 2001. Hal ini juga akibat dari telah diratifikasinya konvensi-konvensi internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan juga telah menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang diharuskan yaitu Undang-undang tentang Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, Paten dan Merek.
Undang-undang Hak Cipta diberlakukan tidak terlepas dari ide dasar sistem hukum hak cipta yaitu melindngi wujud hasil karya yang lahir karena kemampuan intelektual manusia yang merupakan endapan perasaannya. Apa yang dimaksud hak cipta diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-udang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu:
“Hak eklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangan yang berlaku.”
Bukan hanya itu ketentuan pasal 1 ayat (1) Undag-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta diperkuat lagi oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan, yaitu:
“Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari uraian Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini bisa disimpulkan bahwa disini hak cipta merupakan hak eklusif untuk pencipta atau pemegang hak cipta yang merupakan hak monopoli untuk mengumumkan maupun memperbanyak ciptaannya.
Hak cipta dalam Burgerlijk Wetboek (BW) masuk dalam hukum benda (Zakenrecht). Di dalam Burgerlijk Wetboek (BW) pengertian zaak (benda) sebagai objek hukum tidak hanya meliputi benda yang berwujud yang ditangkap oleh panca indra tetapi juga benda yang tidak berwujud. Menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, benda dapat dibagi atas:
a.       Benda berwujud (lichamelijke zaken), yakni benda yang dapat ditangkap oleh panca indara
b.      Benda tidak berwujud (onlichamelijke zaken), yakni hak-hak subjektif.[2]
Hak cipta di kategorikan sebagai benda yang tidak berwujud dalam Burgerlijk Wetboek (BW) karena sesuai pasal 499 Burgerlijk Wetboek (BW) dikatakan bahwa pengertian benda secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi objek hak milik.[3]
Pemerintah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta terlihat serius melindungi hasil karya para pencipta dalam lapangan pengetahuan, seni dan sastra tetapi di tataran praktis atau pelaksanaan undang-undang pelanggaran terhadap undang-undang ini masih marak tanpa ada tindak lanjut dan tindak tegas dari pemerintah, khususnya yang masih terlihat adalah pelanggaran yang terjadi pada karya sinematografi, yang mana karya sinematografi ini tertera dalam pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi undang-undang ini. Pelanggaran dilakukan oleh para pengusaha  usaha rental Video Compact dis atau disingkat VCD, yang mana mereka merentalkannya untuk tujuan komersial tanpa meminta izin kepada pencipta atau pemegang karya cipta atas karya sinematografi tersebut berupa Video Compact disc (VCD ).
Seharusnya pemilik usaha rental Video Compact disc (VCD) tersebut meminta izin kepada pemilik atau pemegang atas karya sinematografi tersebut, karena pada dasarnya pada pemilik atau pemegang hak cipta karya sinematografi terdapat 2 hak yang melekat yang sifatnya mutual eksklusve, yaitu:
a.       Hak ekonomi (economic right) terdapat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
b.      Hak moral (moral right)terdapat dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Didalam hak ekonomi (economic right) terhapat hak menyewakan (rental right) [4]dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hak menyewakan adalah hak pencipta atau pemegang hak cipta  atas karya film (sinematografi) dan program komputer maupun produser rekaman suara berupa hak untuk melarang orang atau pihak lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial[5]. Terkait dengan ini tindakan para pengusaha rental tanpa meminta izin melakukan usaha rental film (sinematografi) untuk mencari nilai komersial maka disini jelas sangat merugikan pencipta atau pemegang hak cipta. Di Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta di katakan bahwa:
“Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.”
Pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha rental Video Compact Disc (VCD) adalah bentuk tidak berjalannya perlindungan hukum atas hak penyewaan bagi pencipta atau pemegang hak cipta karya sinematografi, ini juga disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidak pahaman pelaku usaha karya sinematografi atas hak penyewaan, serta budaya hukum masyarakat khususnya pelaku usaha persewaan Video Compact Disc (VCD) terbentuk pola pikir yang menganggap bahwa hakmilik atas benda berupa Video Compact Disc (VCD) merupakan hak yang bersifat mutlak dan penuh atas benda yang secara rill dikuasai.
Sebuah realitas bahwa para pelaku usaha penyewaan Video Compact disc (VCD) yang menganggap dengan membeli Video Compact disc (VCD) yang asli dan secara sah maka berarti terjadi peralihan hak milik secara langsung dan penuh dari penjuan kepada pembeli. Sehingga bagi para pelaku usaha mereka berfikir dan menganggap memiliki hak penuh atas Video Compact disc (VCD) tersebut seperti menjual kembali kepada orang lain atau menyewakannya kepada orang lain untukmendapatkan nilai komersial tanpa harus meminta izin kepada pencipta maupun pemegang hakcipta karya sinematografidalam bentuk Video Compact disc (VCD).