Skip to main content

Perkembangan hukum administrasi sejak masa absolutisme sampai dengan masa dianutnya negara kemakmuran




1.Masa Absolutisme
Masa absolutisme mulai dicatat dalam sejarah imperium Romawi, sejak masa republik. Pada masa itu pimpinan Negara dipegang oleh konsul – konsul yang menyelenggarakan dan menjalankan pemerintah demi kepentingan umum. Biasanya pemerintahan itu dipegang oleh dua orang konsul. Akan tetapi bila ada keadaan bahaya atau darurat, maka warga Negara memilih seseorang untuk ditunjuk sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan itu selama keadaan bahaya tersebut. Si pemegang kekuasaan tunggal itulah yang disebut sebagai diktator. Lama atau tidaknya kekuasaan itu tergantung oleh keadaan bahaya yang terjadi. Cincinnatus menjadi diktator selama 6 bulan lalu mengembalikan kekuasaannya kepada rakyat. Tapi tidak semua diktator seperti Cincinnatus. Mayoritas diktator yang berkuasa di masa romawi mengindahkan konstitusi lalu memegang kekuasaan dengan absolut dan menindas rakyat, seperti yang dilakukan Marius dan Caesar. Keadaan seperti ini dinamakan diktator purba.
Setelah masa republik, ada masa prinsipat. Pada waktu ini, para raja Romawi belum memiliki kewibawaan, namun mereka pada hakikatnya merupakan orang yang memerintah secara mutlak. Kemutlakan ini didasarkan kepada caesarismus yaitu adanya perwakilan yang menghisap, dari pihak Caesar terhadap kedaulatan rakyat (absorptieve representation). Untuk keperluan ini beberapa ahli hukum romawi kemudian mencari landasan hukumnya agar segala tindakan raja yang menyeleweng dari kedaulatan rakyat dapat dibenarkan. Ulpianus, salah satu ahli kemudian menelurkan Konstruksi Ulpianus, yang berisi “kedaulatan rakyat itu diberikan kepada raja melalui suatu perjanjian yang termuat di dalam undang – undang yang termaktub dalam Lex Regia”.
Pada dasarnya pemerintahan untuk kepentingan umum dan kepentingan itu dirumuskan dalam bentuk undang – undang, sehingga kepentingan umum itu derajatnya lebih tinggi daripada undang – undang (solus publica suprema lex). Akan tetapi dengan timbulnya undang – undang tersebut maka yang merumuskan kepentingan umum itu bukanlah rakyat, melainkan raja (princep legibus solutus est). Sudah pasti dalam merumuskan itu raja akan memikirkan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan umum. Di masa ini sesungguhnya romawi telah berwujud sebagai monarki mutlak yang memuat caesarismus akibat penyalahgunaan Lex Regia.
Masa dominat hadir setelah masa principat. Di masa ini, kaisar Romawi bertindak sewenang – wenang, kejam dan tanpa prikemanusiaan. Selang beberapa abad kemudian, abad ke 4 dan 5, imperium romawi jatuh diserang oleh kaum barbar bangsa jerman kuno dan turki. Meski begitu, kekuasaan yang timbul setelahnya pun masih bersifat absolut. Bukan Cuma di roma, tetapi di seluruh daratan Eropa. Pada masa pertengahan, pemerintahan sangat religius karena Gereja memegang kuasa. Masa Renaissance, Abad 16, di prancis terdapat pemerintahan absolut Henry IV. Jean bodin kemudian membenarkan pemerintahan absolut tersebut dengan memberikan landasan hukum. Ia berkata, tidak ada kedaulatan mutlak melainkan kedaulatan terbatas baik di dalam maupun di luar wilayah negara. Suatu kedaulatan yang dibatasi oleh hak – hak pokok manusia dan oleh hukum yang berlaku dalam hubungan antar negara. Menurut pendapatnya, bentuk negara terbaik adalah monarki secara turun temurun dan hanya laki – laki yang boleh memerintah. Teori kedaulatan ala Jean Bodin ini kemudian dipakai sebagai landasan hukum Louis XIV dalam memerintah secara mutlak pada abad ke 17.

2. Masa Negara Hukum
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum telah dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M) . Dalam bukunya Politikos, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel I, tahun 1949, hlm. 383, dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah Negara Hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad tujuh belas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi hak dan kebebasan daripada kawula negara serta peraturan penganti raja di Inggris.
Kemudian muncullah teori Trias Politica dari Montesquieu. Teorinya adalah teori pemisahan kekuasaan atau separation of power , yang memisahkan badan kekuasaan menjadi tiga, yaitu;
  1. kekuasaan membuat undang – undang (legislatif),
  2. kekuasaan menjalankan undang – undang (eksekutif),
  3. kekuasaan mengawasi jalannya undang – undang (yudikatif).
Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme raja. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system. Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats, yaitu negara sebagai penjaga malam. Paham ini menurut Van Vollenhoven membatasi negara dalam bertindak dan menjamin pada yang diperintah. Immanuel Kant menjelaskan teori Trias Politica Montesquieu;
  1. Maksud dari teori pemisahan adalah menginginkan jaminan kemerdekaan individu terhadap kesewenang – wenangan penguasa,
  2. Tujuan negara adalah membuat dan mempertahankan hukum. Negara bukan menjadi alat kekuatan melainkan alat hukum.
Teori pemisahan kekuasaan hanya dapat dipraktekkan dalam negara hukum dalam arti sempit saja. Kelebihan dari teori ini adalah, badan Negara diberi fungsi yang berlainan sehingga bisa saling mengawasi, tidak ada kesewenang – wenangan dan kemerdekaan individu terjamin. Kelemahannya adalah bila terjadi pemisahan kekuasaan secara mutlak, tidak akan ada pengawasan kepada setiap lembaga sehingga tiap lembaga dapat melampaui batas kekuasaannya dan merugikan rakyat.




3. Masa Negara Kesejahteraan
Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state. Bagi Negara kesejahteraan, konsep modernitas dimaknai sebagai kemampuan Negara dalam memberdayakan masyarakatnya. Peran Negara menjadi begitu besar terhadap warga karena negara akan memposisikan dirinya sebagai “teman” bagi warga negaranya. Makna kata teman merujuk pada kesiapan dalam memberikan bantuan jika warga negaranya mengalami kesulitan. Pemerintah dikehendaki agar terlibat secara aktif dalam kehidupan masyarakat sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum di samping menjaga ketertiban dan keamanan.

4. Perkembangan Hukum Administrasi Dari Masa Ke Masa
Pada masa nachtwachkerstaat, negara hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban. Peran hukum administrasi negara sangatlah kecil karena semakin kecil campur tangan negara dalam masyarakat, semakin kecil pula peran han didalamnya. Dalam konsepsi legal state (nama lain negara penjaga malam), terdapat prinsip staatsonthounding atau pembatasan peran negara dan pemerintah dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil ”the best government is the least government”. Akibat pembatasan ini administrasi negara menjadi pasif, inilah mengapa negara hukum disebut sebagai negara penjaga malam. Pembatasan ini menyengsarakan kehidupan warga negara yang kemudian memunculkan reaksi dan kerusuhan sosial. Kegagalan implementasi konsep nachtwachkerstaat tersebut kemudian memunculkan gagasan yang membuat pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, yaitu welfare state (welvaarstaat, negara kesejahteraan). Dalam konsep welfare state, administrasi negara diwajibkan untuk berperan secara aktif di seluruh segi kehidupan masyarakatnya. Dengan begitu sifat khas dari suatu pemerintahan modern (negara hukum modern) adalah, terdapatnya pengakuan dan penerimaan terhadap peranan-peranan yang dilakukannya sehingga suatu kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan fungsinya. Makin meningkatnya kebutuhan manusia modern juga merupakan salah satu faktor peralihan menjadi negara kesejahteraan. Banyak fasilitas yang bila diusahakan oleh pihak swasta akan menimbulkan ketidakadilan sosial, sehingga masyarakat memercayakannya pada pemerintah. Lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Agar dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga negara, dan sebagainya secara baik, maka administrasi memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian soal – soal genting yang timbul dan yang peraturan penyelenggaraannya belum ada. Pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu lazim dikenal dengan freies ermessen atau discretionary power. Nata Saputra mengartikan bahwa freies ermessen adalah kebebasan yang diberikan pada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan daripada berpegang teguh pada ketentuan hukum, atau kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas – tugas untuk mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga negara. Dengan berdasar pada konsep ini, administrasi negara memiliki kewenangan luas untuk melakukan berbagai tindakan hhukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kepentingan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum. Artinya, administrasi negara, selain diberi kewenangan untuk bertindak, diberi juga kewenangan untuk membuat peraturan atau instrumen hukum.
Menurut E. Utrecht, kekuasaan administrasi negara dalam bidang legislasi ini meliputi:
1. Kewenangan untuk membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi keadaan genting yang belum ada peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang – undang pusat.
2. Pemerintah diberi tugas menyesuaikan peraturan yang diadakan dengan kejadian yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat.
3. Droit Function, yaitu kekuasaan administrasi negara untuk menafsirkan sendiri berbagai peraturan, yang berarti administrasi negara berwenang mengoreksi (corrigeren) hasil pekerjaan pembuat undang – undang. 
© 2020 Feel in Bali

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.