December 2012 - Feel in Bali

Thursday, December 20, 2012

December 20, 2012

Unforgetable Experiences at Nusa Lembongan, Bali

Unforgetable Experiences at Nusa Lembongan, Bali

lembongan is an island in the south east of the bali island in one region of nusa penida archipelago which is called like it's biggest island.

you can go to this island from sanur, padang bay harbour, or benoe harbour. from sanur beach you can reach lembongan island in about one hour if you use a speed boat.

in this island you can see many beautiful beaches with amazing cliff. you can rent a villa on the cliff with sunset or sunrise beach view.

lembongan also have beautiful view under water, like colorful corals and beautiful fish. you also can get many water sport from your hotel facility like banana boat, flying fish, snorkeling, diving and many other.


read more : www.feelinbali.blogspot.com

Bali is a beautiful island and have a lot of unique culture. Your tour will be really fun, enjoyable and get Cheap Bali Tour Packages with number one service for your trip. Here you can choice your Bali private tour our Bali Tour package, Bali Traditional tours, Bali Spa, etc
December 20, 2012

Alone

Alone



a box of chocolate can have only one star for each branch because no one knows what it is actually. but I am like it although I don't even have a small chance to approach it as a man. I can only meet it as a brother who is always happy yet I always sight. may be I will be very sad on sunny days and become unfamiliar and there is no one who will give me a glass of water to quench my thirst from before. later when drizzle becomes a downpour and makes me shiver with the could, I can't get a suitable place from shelter between them. what should I do if all places that I love are already gone and there is no place for me. what if I'm only allowed to be silent by my self in the place where I stand and I can't go anywhere from my damp room.

Thursday, December 13, 2012

December 13, 2012

CONTOH RELASI GENDER DAN SEKS

CONTOH RELASI GENDER DAN SEKS

CONTOH RELASI GENDER DAN SEKS


A.      CONTOH RELASI GENDER

Ø  Di bali ada yang disebut kasta, dahulu seorang laki-laki tidak boleh menikahi perempuan yang kastanya lebih rendah, begitu pula sebaliknya. Namun sekarang, pernikahan tidak lagi terlalu mementingkan kasta.
Ø  Dahulu pekerjaan menyupir hanya dilakukan oleh laki-laki, namun sekarang pekerjaan tersebut juga dilakukan oleh perempuan, bahkan ada perempuan yang bekerja sebagai supir bus misalnya bus trans Jakarta.
Ø  Dulunya orang tua enggan menyekolahkan anak perempuannya di sekolah yang jaraknya jauh dari rumah, namun sekarang banyak perempuan yang bersekolah merantau ke tempat yang jauh.
Ø  Zaman dulu, jika seorang wanita bersekolah maka ia akan dimasukkan ke sekolah yang hanya khusus menyandang profesi perempuan, namun sekarang banyak wanita yang bersekolah mempelajari profesi laki-laki. Misalnya teknik mesin dan elektro.
Ø  Dahulu hanya wanita yang menyandang profesi perawat, namun sekarang laki-laki juga tidak sedikit yang mulai terjun ke dunia perawat.
  artikel ini bersumber pada www.feelinbali.blogspot.com

B.      CONTOH RELASI SEKS
Ø  Hanya perempuan yang bisa menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, monopouse dan memiliki sel telur.
Ø  Hanya laki-laki yang bisa memiliki jakun, mimipi basah, dan memiliki sperma.
December 13, 2012

CONTOH ISU GENDER DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

CONTOH ISU GENDER DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

   
       UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Das Sollen:
·         Pasal 4 ayat (1) , menyatakan bahwa :
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. “
·         Kemudian Pasal 4 ayat (2), menyatakan pula:
“Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
  artikel ini bersumber pada www.feelinbali.blogspot.com
Das Sein:
Dalam kenyataannya masih  banyak suami yang memiliki isteri lebih dari satu dengan alasan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada Pasal 4 ayat (2) tersebut. Meskipun seorang isteri telah dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, tidak cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, bahkan telah dapat melahirkan keturunan, nyatanya masih ada suami yang memiliki isteri lebih dari satu dengan alasan suka sama suka, bosan dengan isteri pertama, calon isteri kedua lebih menarik, pengertian, dan sebagainya. Bahkan dengan alasan demikian seorang suami bisa melakukan perkawinan secara diam-diam.
 artikel ini bersumber pada www.feelinbali.blogspot.com

2.       UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Das Sollen:
·         Pasal 5 ayat (1), menyatakan:
“Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.”


Das Sein : 
a.      Terkadang ada suami yang menikah tanpa persetujuan dari istri (menikah diam-diam)
b.      Meskipun mulanya seorang suami berjanji akan tetap memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anak mereka sebelumnya, namun ketika menikah lagi suami lupa akan kewajibannya tersebut bahkan ada seorang laki-laki yang memiliki isteri lebih dari satu padahal kemampuan ekonominya kurang.
c.       Nyatanya saat seorang suami menikah untuk kedua atau kesekian kalinya, ia lupa terhadap keadilan yang menjadi hak dari isteri/isteri-isterinya, terutama apabila sang isteri memiliki kekurangan seperti yang tertera pada Pasal 4 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 di atas sehingga menimbulkan kecemburuan social antara isteri lama terhadap isteri baru.

Sunday, December 9, 2012

December 09, 2012

EKSISTENSI SOSIOLOGI HUKUM DI INDONESIA

EKSISTENSI SOSIOLOGI HUKUM DI INDONESIA



Hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social instutions) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hidup berdampingan dengan lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh-mempengaruhi dengan lembaga-lembaga permasyarakatan tadi.

Sebelum menelaah tentang eksistensi sosiologi hukum serta peranannya dalam pembentukan hukum positif di Indonesia, maka kita wajib mengetahui dan memahami pengertian soaiologi hukum itu sendiri terlebih dahulu. Satjipto Rahardjo mendefinisikan sosiologi hukum sebagai ilmu yang mempelajari fenomena hukum. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka Beliau berpendapat bahwa :
“Dengan demikian, sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku dari luar saja, melainkan ingin juga memperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu yang meliputi moti-motif(hukum), maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang tidak sesuai dengan hukum yang menyimpang. Kedua-duanya sama-sama merupakan objek pengamatan dan penyelidikan ilmu”.[1]
Namun demikian Timasheff berpendapat bahwa :
The sociology of law can formulate propositions in which the ends of positive legal regulations would be stated. But wether one or another of these ends should be persuade by the law, wether within the competition of ultimate end systems(for instance, those of conservatism liberalism, socilalism, or fascism) this or that system should be preverent, can never be decided by scientif methods. Such question being bion the scope of science.
Hal ini tidak berarti bahwa teori hukum hanya berurusan dengan teori semata, dan sosiologi hukum dengan praktek. Sesungguhnya terdapat hubungan erat antara nilai tertinggi dan pelaksanaan praktis dari hukum. Oleh karena itu, teori hukum dan sosiologi hukum harus bekerja sama di dalam ilmu perundang-undangan.
Sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya, adalah hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses. Seorang ahli sosiologi menaruh perhatian yang besar pada hukum yang bertujuan untuk mengkoordinasikan aktivitas warga masyarakat sserta memelihara integrasinya. Akan tetapi, dia tak dapat berhenti sampai di sini karena hukum tak mungkin berfungsi atas dasar kekuatan sendiri. Warga masyarakat menggunakan, menerapkan, dan menafsirkan hukum, dan dengan memahami proses tersebut, barulah akan dapat dimengerti bagaimana hukum berfungsi dan bagaiman suatu organisasi sosial member bentuk atau  bahkan mengalang-halangi proses hukum. Misalnya, bagi seorang ahli sosiologi hukum tidaklah cukup untuk hanya mengetahui struktur dan organisasi peradilan dalam sistem hukum di Indonesia, tetapi dia juga harus mengetahui asal usul hakim-hakimnya, bagaimana cara mereka mencapai kata sepakat dalam menjatuhkan vonis, bagaimana perasaan keadilan para hakim, sampai sejauh mana efek keputusan pengadilan terhadap masyarakat dan seterusnya.






Memuat nilai-nilai hukum yang dihargai
Eksistensi nilai-nilai hukum dalam masyarakat sangat dipengaruhi seberapa besar nilai-nilai itu dihargai. Hal ini disebabkan karena masyarakat memandang-nilai-nilai hukum yang ideal jika semua unsur/golongan  dapat menerima sebagai media dalam penyelesaian persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Begitu banyak produk hukum atau perundang-undangan yang ada belum merupakan aspirasi masyarakat secara kolektif sehingga pada tahap penerapannya masyarakat memandang produk hukum tidak lebih dari sebuah kepentingan politik tertentu sebab hukum tersebut tidak bersumber dari nilai-nilai hukum yang hidup  dan berkembang di masyarakat. Kenyataan tersebut mengakibatkan tidak sedikit produk hukum perundang-undangan perlu direvisi agar memenuhi aspirasi hukum masyarakat.
artikel ini bersumber pada :www.feelinbali.blogspot.com
Faktor utama yang banyak mempengaruhi nilai-nilai hukum itu hidup dan berkembang tergantung seberapa besar masyarakat menghargai nilai-nilai hukum itu sebagai kenyataan sosial yang diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.



[1] Otje Salman, Anthon F. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung : PT. Alumni. 2004, hlm.29
December 09, 2012

Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum




Dewasa ini, ilmu pengetahuan telah berkembang, yang mana dalam satu ilmu pengetahuan terdapat cabang – cabang ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mengkhusus. Dimana ilmu pengetahun ini berlomba – lomba dalam menganalisa sesuatu permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, baik itu dalam bidang eksak maupun dalam bidang non eksak. Dalam menganalisa permasalahan yang bersifat social ilmu pengetahuan tersebut bersifat non eksak yang mana kaitannya dengan manusia itu sendiri. Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan manusia lainnya di dalam suatu wadah yang bernama masyarakat[1]. Mula – mula manusia tersebut berhubungan dengan orang tuanya dan meningkatlah pergaulan, semakin luas pula di dalam masyarakat. Secara sepintas manusia pun mengetahui bahwa dalam berbagai hal – hal lain manusia tersebut memiliki  perbedaan dan persamaan yang khas dan berlaku bagi diri sendiri yang mana tiap manusia mempunyai keperluan tersendiri[2]. Semakin bertambahnya umur , manusia pun mengetahui bahwa apa yang ia lakukan dapat dilakukan secara bebas dimanapun ia berada tetapi di sisi lain ia tidak boleh berbuat semaunya.
Pembelajaran terhadap tindakan – tindakan apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh manusia, itu sudah didapatkannya sejak kecil dari orang tuanya dan keluarga kecilnya secara terbatas. Beberapa lama kemudian, manusia pun sadar bahwa dalam kehidupan di masyarakat sebetulnya terdapat suatu pedoman yang mengikat dirinya dan bersifat memaksa sehingga manusia tidak bisa melakukan segala perbuatannya dengan  bebas. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu aturan / kaedah / norma yang mengatur hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya di dalam kehidupan bersosial yang disebut dengan hukum.
artikel ini bersumber pada :www.feelinbali.blogspot.com
Hukum dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perkembangan. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan hukum itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai factor. Hukum yang ada sekarang merupakan hasil perkembangannya tersendiri yang artinya bahwa terdapat hubungan yang erat dan timbal balik antara hukum dengan masyarakat[3]. Hukum tanpa masyarakat tidak aka nada artinya, karena dalam pembuatan aturan – aturan yang bersifat mengikat dan memaksa tersebut berkaitan dengan perkembangan masyarakat, dengan kata lain mau tidak mau hukum harus menyesuaikan substansinya dengan perkembangan masyarakat. Dalam menyesuaikan tersebut, diperlukan cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala – gejala social lainnya[4] yang disebut dengan Sosiologi Hukum. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebab, faktor-faktor yang berpengaruh dan sebagainya. Kemudian sosiologi hukum untuk menguji kesahihan empiris dari sautu peraturan atau pernyataan hukum sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai atau tidak sesuai di masyarakat tertentu. Perkembangan Sosiologi Hukum tidak terlepas dari faktor ruang lingkup dan objek kajian sosiologi hukum yang bersandar pada disiplin ilmu filsafat hukum, dan sosiologi hukum merupakan sebagai aliran Positivisme yang artinya hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih diatas derajatnya.(Grundnorm yaitu dasar atau basis sosial dari hukum). Dengan demikian upaya pembangunan sistim hukum harus memperhatikan Konsitusi dan Kebiasaan yang hidup didalam masyarakat, karena jika hukum positif yang diberlakukan didalam masyarakat jiga tidak sejalan dan bertentangan dengan hukum yang hidup didalam masyarakat maka dapat dipastikan hukum posirif atau undang-undang tersebut tidak dapat berjalan dengan efektif.


[1] Soerjono Soekanto. Pokok – pokok Sosiologi Hukum. 2009. PT Raja Gravindo Persada : Jakarta. Hlm 1
[2] Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. PN Balai Pustaka. Hlm 33
[3] Otje Salman dan Susanto, Anthon F. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung : PT Alumni, 2004, hlm. 2
[4] H.  Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hlm. 1
December 09, 2012

Melasti Ceremony, Balinese culture

Melasti Ceremony, Balinese culture



Before the Balinese Hindi people perform “Nyepi”—The Silent Day, a Hindi’s sacred day–, there is a ritual of praying which have to be done that is called “Melasti” or “Melis”, a ceremony to clean up “pratima”–the sacred property of the temple—at any nearest water fount, such as sea as well as lake.  People of Balinese Hindi who live around beach usually perform the ceremony “Melasti” with seawater whereas they who live around the mountain usually perform it by the lake water. “Melasti” was held at almost every beach in Bali such as Kuta, Jimbaran, Tanah Lot, also Nusa Dua, Batu Bolong in Canggu where as Denpasar people commonly perform it at Padanggalak Beach which located in Sanur Beach area.
Melasti Ceremony is a Hindu religious ceremony to purify Bhuana Alit (small world) andBhuana Agung (the universe). This ceremony is performed with a parade procession followed by thousand of Hindu people by bringing all the equipment ceremonies and the symbol of gods to the sea or other water sources that are believed by Hindus as a place to purify all the elements of this universe. The usual symbols of gods brought to the sea are Keris, spears, banners (Umbul-umbul), statues, Barong etc. This procession is one of the unique Hindu ceremonies where the procession was followed by thousands of Hindus who wear the clothes and other accessories in white to indicate the purity.
postingan ini dapat ditemukan di www.feelinbali.blogspot.com
Melasti is the annual washing of the temple implements before the biggest day of the year, Nyepi Day, which is tomorrow. Priests and banjars from every part of Bali have to wash their temple equipment in the sea as part of a ritual cleansing and Pura Petitenget is ideally placed to handle large crowds with easy access to the temple and the ocean. Balinese temple ceremonies involve plenty of offerings made of flowers and other natural products. The Melasti ceremony left the beach covered in trampelled offerings and somewhat like a waste dump. Not to worry I guess if its all bio-degradable and the sea takes it out.
The purpose of this Melasti ceremony is to purify Bhuana Alit (small world) and Bhuana Agung (this universe) from bad influences, bad deeds and bad thoughts. Bhuana Alit (small world) is meaning the heart / soul of each individual who lives in this world while Bhuana Agung was the wide world or this universe. This ceremony is very important value to remind /realize how important this life and we need a day to purify ourselves and the universe. With this ceremony, all the components that live in this world have a clean soul so the world can survive from the threat of a bad thing. 
The ceremony was ended with a ritual of encircle the beach. As the age shifts and for some considerations, this ritual does not any longer applied as walking encircle through along the seaside. According to Agung from community of sub-village Kangin (Banjar Kangin) of Denpasar—one of the practitioner–the beach encircling ritual, nowadays, symbolically appears by walking encircle the spot of the ceremony “Melasti” only. People of each “banjar” alternately walking carried each of their “pratima” for some circling. A flamboyant banners, magnificence flags, serenely traditional umbrellas, various antique package of offerings, and more sacred symbols of each of temple was lifted up above their head, momentary impressing a gush of majesty, splendour, and vigour of them those were celebrated ‘respected’ yet full of humility—in a folksy way, solemn, and–once again—almost silent.
Melasti ceremony held once a year to coincide the welcome of Nyepi Day / Silent Day. Melasti procession is usually held four / three days before Nyepi / Silent Day. This is done because in accordance to the purpose of this ceremony where before Nyepi Day that all the elements at Bhuana Alit and Bhuana Agung should be clean and pure. This is very important because the feelings / heart clean and pure, we can implement Nyepi Day perfectly.
Every “banjar” that has done with the “encircling beach” ritual continued their cavalcade toward their own temple to put their “pratima” back. As like as their arrival so does their homing, they went back to their temple by feet. Cavalcade of Balinese Hindus people within white nuance clothing carrying the sacred worship symbols—pratima—once again enliven along the road of Sanur-Denpasar. Colourful of magnificence, majesty, and splendour of Bali wrapped by such a white nuance of purity move and march as if fence in the coast of Padanggalak Beach, Sanur Beach area, Badung District, Bali.
December 09, 2012

Pasal-pasal mana sajakah dalam KUHP yang terkait dengan Euthanasia?

  Pasal-pasal mana sajakah dalam KUHP yang terkait dengan Euthanasia?



  Pasal-pasal mana sajakah dalam KUHP yang terkait dengan Euthanasia?
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 344 KUHP
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalm perbuatan itu atau member sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal  359 KUHP
Barang siapa dengan kesalahannya (kealpaan) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
December 09, 2012

Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?

Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?


Bagaimanakah perkembangan Euthanasia? Serta konsep tentang kematian?
A.    Perkembangan Euthanasia di Indonesia
Euthanasia di Indonesia dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana, karena merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap nyawa, hal ini terbukti dengan adanya Pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP yang berbunyi: "Barang siapa yang merampas nyawa orang lain yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun".
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “Euthanasia aktif”. Mengenai “Euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination).

B. Perkembangan Euthanasia di Luar Negeri.
Masalah hak untuk mati ini di beberapa negara maju sudah ada pengaturannya di dalam Perundang-undangan negara tersebut, seperti negara Eropa, tetapi hak untuk mati itu tidak bersifat mutlak, seperti adanya keputusan dari Pengadilan Negeri Leeuwarden yang menetapkan tolak ukur perumusan “tidak dikenai hukum” atau “tanpa hukuman” terhadap Euthanasia yang dilakukan. Sedangakan menurut negara Belanda yang pertama kali melegalkan Euthanasia, Euthanasia hanya dapat dilakukan kalau si pasien sendiri yang meminta dan telah memenuhi syarat-syarat untuk dilaksanakannya euthanasia.
Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan Euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
- Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.
- Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.
- Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
- Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan Euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru Euthanasia dapat dilaksanakan.


Konsep Tentang Kematian
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan kemajuan IPTEK kedokteran telah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan telah mati. Beberapa konsep tentang kematian adalah
  • Mati sebagai berhentinya darah mengalir
  • Mati sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh
  • Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
  • Hilangnya manusia secara permanen untuk kemali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Konsep mati dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan juga diatur dalam PP. 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkin jantung dan paru yang semua terhenti, kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis kembali.
Kosep mati terlepasnya ruh dari tubuh sering meinimbulkan keraguan, misalnya tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikan menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.
Mengenai konsep mati, dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara terpadu, juga dipertanyakan karena organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak talah mati. Untuk kepentingan tranplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secara moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
Pusat pengendalian ini terdapat dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati (brain stem death) dapat diyakini bahwa manusisa itu secara fisik dan social telah mati.
Dalam keadaan demikian, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi (DNR, do not resuscitation).
Ciri-ciri dari refleksinya batang otak adalah
  • Tidak ada respon terhadap cahaya
  • Tidak ada refleks kornea
  • Tidak ada reflek vestibule-okuler
  • Tidak adanya respon motor dalam distribusi saraf carnial terhadap rangasangan adekuat pada area somatic
  • Tidak ada reflek muntah atau reflek batuk terhadap rangsangan kateter isap yang dimasukkan dalam trakea
Dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 117 juga dijelaskan mengenai kematian, yakni seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.
December 09, 2012

Bagaimanakah pengertian Euthanasia dan apa sajakah jenis-jenis tindakan euthanasia dalam pelayanan kedokteran?

  Bagaimanakah pengertian Euthanasia dan apa sajakah jenis-jenis tindakan euthanasia dalam pelayanan kedokteran?



Bagaimanakah pengertian Euthanasia dan apa sajakah jenis-jenis tindakan euthanasia dalam pelayanan kedokteran?
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang). Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi, euthanasia diartikan: 1). Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien. 2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien 3). Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.
Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti: 1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir. 2). Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang. 3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
  1. euthanasia aktif
  2. euthanasia pasif
  3. euthanasia volunter
  4. euthanasia involunter
1.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:
  1. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
  2. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2.      Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.

3.         Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
4.         Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
December 09, 2012

Sosiologi Hukum Masalah Penyalahgunaan Narkoba

Sosiologi Hukum Masalah Penyalahgunaan Narkoba


Masalah penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika) dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional karena itu, upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika dalam negeri harus disenergikan dan diitegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun internasional.
    Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk :
  1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional.
  2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan
  3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas
text ini di copy dari www.feelinbali.blogspot.com
    Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menmgulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.
    Dealam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme (UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Hawana, Cuba. Resolosi ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain dengan : (a) meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika; (b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis,  psikiatris, maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.
     Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia Tenggara disepakati dalam ESEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan :
  1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan narkotika.
  2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika
  3. Membentuk badang koordinasi di tingkat nasional; dan
  4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan internasional.
    text ini di copy dari www.feelinbali.blogspot.com
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL) yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di wilayah ASEAN. Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic Boarrd dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian. Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional, regional, maupun internasional.
    Bagaimanakah upya penanggulangan penyalahgunaan narkotika di dalam negeri indonesia melalui penegakan huku (law enforcement) di bidang narkotika ?; dan bagimanakah kinerja penegakan hukum di bidang narkotika di Indonesia ?
    Sebelum Indonesia merdekan, pada masa pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan Ordonansi Obat Bius yang disebut Verdoovende Middellen Ordonantie (Staatsblad 1927 No. 278 jo. No. 536). Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium verpakkings Bepalingen (Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlaukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
    Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan UU No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul diberlakukan UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
text ini di copy dari www.feelinbali.blogspot.com
    Aspek kelembagaan yang dibangun untuk penegakan hukum (law enforcement) penyalahgunaan narkotika didasarkan pada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971 dengan membentuk satu badan khusus yang disebut Badan Koordinasi Pelaksana (BaKoLak) untuk meningkatkan efektifitas penanngulangan (pencegahan maupun penindakan) masalah-masalah keamanan negara. Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dimasukkan sebagai salah satu masalah nasional yang dapat mengancam ketertiban umum dan keamanan negara selain tindak pidana uang palsu, subversi, penyelundupan, korupsi, dan kenakalan remaja.
    Kedati demikian, kenyataan memperlihatkan bahwa kuantitas kejahatan di bidang penyalahgunaan narkotika terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin meningkatnya operasi peredaran narkotika secara ilegal melalui jaringan sindikat internasional ke negara-negara sedang berkembang. Pada awalnya Indonesia, dan Filipina, Thailand, Malasia, dan Papua New-Guinea, hanya dijadikan sebagai negara-negara transit (tansit states) oleh jaringan sindikat internasional untuk operasi perdagangan narkotika secara internasional. Tetapi, kemudian sejak akhir tahun 1993 wilayah Indonesia mulai dijadikan sebagai negara tujuan transit (point of transit) perdagangan narkotika ilegal ke Australia dan Amereka Serikat dari pusat pruduksi dan distribusi narkotika di wilayah segi tiga emas (the golden triangle) yang terlek didaerah perbatasan antara Thailand, Laos, dan Kamboja.
    Internasional Criminal Police Organization Interpol Singapora dan Australia melaporkan bahwa antara tahun 1992-1993 dapat ditangkap pelaku pembuat dan pengedar narkotika sindikat internasional berkebangsaan asing setelah transit di indonesia. Mereka mengakui bahwa putugas bea cukai di bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Ngurah Rai Bali dengan mudah dapat dikelabuhi sehungga lolos sampai di Australia (dalam Atmasasimita, 1997) dalam perkembangan selanjutnya Indonesia bukan saja dijadikan transit0-state atau point of transit perdagangan narkotika trasnasional, tetapi juga telah menjadi market yang sangat menguntungkan di wilayah Asia Tenggara paling tidak karena 3 alasana :
  1. Intrumen hukum nasional yang mengatur penyalahgunaan narkotika, yaitu UU No. 9 Tahun 1996 maupun UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti UU Narkotika 1976 secara khusus tidak mengatuir ketentuan mengenai tindak pidana narkotika transnasional yang dilakukan di luar batas teritorial Indonesia. Karena itu, instrumen hukum narkotika nasional tidak mampu menjangkau tindak pidana narkotika yang bersifat transnasional (Atmasasmita, 1997)
  2. Secara normatif ancaman sanksi pidana yang diatur dalam UU Narkotika 1976 maupun UU Narkotika 1997 sudah berat (mulai dari pidana penjara sampai pidana mati plus pidana denda secara kumulatif),, tetapi kelemahan mendasar justru terjadi pada tingkatan implementasi atau penegakan hukumnya (law enforcement).
  3. Ketentuan sanksi pidana penjara dan denda yang diatur dalam UU Narkotikqa 1976 dan UU Narkotika 1997 hanya mencantumkan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus terhadap jenis tindak pidana tertentu dan pada setiap obyek narkotika tertentu. Tetapi, tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum, sehingga menimbulkan disparitas penjatuhan pidana (disparity of sentencing)4 dalam hal lamanya masa pidana (strafmaat) dan jenis pidananya (strafsoort) tanpa dasar pembenar yang jelas terhadap perkara-perkara pidana narkotika di pengadilan. Implikasi hukum dari adanya disparitas penjatuhan pidana ini dikaitkan dengan correction administration, karena salah tujuan penjatuhan pidana adalah agar orang menghormati hukum; jika terpidana yang satu mengetahui ada terpidana lain dijatuhi pidana yang lebih ringan dari dirinya, atau sebaliknya padahal perbuatan yang dilakukan sama maka terpidana tersebut cenderung semakin tidak menghormati hukum. Akibatnya, tujuan dari penjatuhan pidana maupun perlindungan masyarakat untuk ketertiban dan keamanan juga menjadi tidak tercapai (Muladi dan Arief, 1998)
  4. Lemahnya kinerja penegakan hukum (law enforcement) tidak saja karena faktor perundang-undangan narkotika (substance), tetapi juga karena kinerja aparat penegak hukum (structure) dalam penanggulangan (pencegahan maupun penindakan) tindak pidana narkotika. Kelemahan dari faktor UU Narkotika 1997 antara lain : (a) jarak antara ancaman pidana minimum khusus dengan maksimum khusus (toleransi disparitas) sangat jauh dan bervariasi tanpa disertai dengan pedoman penentuannya; (b) tidak diatur mengenai ancaman pidana minimum umum dan maksimum umum pedoman penjatuhan pidana (sentencing standard guidelines), sehingga memberi peluang judicial discretion yang terlalu luas bagi hakim dalam memutus perkara narkotika; (c) terdapat inkonsistensi dalam penggunaan prinsip pencantuman ancaman pidana, karena terdapat beberapa pasal yang tidak mengatur ancaman pidana minimal khusus dan maksimum khusus sedangkan pasal-pasal yang lain mengaturnya; (d) tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh nkorporasi hanya diancam dengan pidana dengan disertai dengan pidana tambahan seperti pencabutan ijin atu penutupan sebagaian atau keseluruhan korporasi; (e) ancaman pidana denda untuk korporasi jumlahnya milyaran rupiah tanpa menegaskan ancaman minimum khususnya, sehingga memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana dengan dengan minimum umum yang jumlahnya sangat kecil bagi suatu korporasi,
Sedangkan, kelemahan dari kenerja aparat penegak hukum (polisi), jaksa maupun hakim) dalam penanaggulangan tindak pidana narkotika dapat ditinjau dari aspek-aspek seperti berikut : (a) personalitas dan moralitas aparat penegak hukum (personality and morality), manajemen dan sarana penegakan hukum (management and equipment/facilities), sistem rekruitmen dan promosi (recruitment and promotion system), serta sistem penghargaan dan penghukuman (reward and punisment system). Integritas moral menjadi fundamental ketika seseorang memilih profesi sebagai aparat penegak hukum dan keadilan; integritas moral dan personalitas seorang akan diuji dalam pelaksanaan wewenang dan swadharma penegakan hukum, karena profesi penegak hukum merupakan profesi (swadharma) yang mulai dan terhormat (honorable and respectable profession).
Agar aparat penegak hukum dapat melaksanakan tugasnya secara efesien, efektif, dan profesional, maka harus didukung oleh sistem manajemen, sarana dan fasilitas yang memadai, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) penegak hukum. Hal ini harus dimulai dari penataan sistem rekruitmen dan promosi yang konsisten dan obyektif, disertai dengan sistem rewart bagi yang berprestasi dan penjatuhan punisment bagi yang berwanprestasi dalam kinerja penegakan hukum.