June 2012 - Feel in Bali

Friday, June 29, 2012

June 29, 2012

Studi Tentang Hukum Harta Waris

Studi Tentang Hukum Harta Waris
Sumber Gambar: http://blogperadilan.blogspot.co.id/2015/04/beberapa-permasalahan-perkawinan_13.html

1.1 Latar Belakang
Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, rekreasi, penunjang beribadah dan sebagainya dapat tepenuhi. Dalam perkawinan, kedudukan harta benda disamping sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut diatas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan. Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang memiliki banyak harta benda dalam perkawinan menjadi sumber masalah dan penyebab terjadinya perselisihan dan perceraian suami iastri. Oleh karena itu perlu ditinjau dari babarapa segi agar hal yang tidak baik dapat dihindari.
Ada aspek lain yang perlu ditinjau dari segi hukum karena status harta benda sebagai salah satu symbol duniawi sering membawa malapetaka yang fatal antara suami dan istri.
Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan sejak tahun 1945 dan telah memiliki landasan dasr Negara, yaitu pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Namun, sampai sekarang pengaruh hukum belanda masih mendominasi dalam system perundang-undangan Indonesia. Conto yang paling kongkrit adalah di bidang hukum privat, Indonesia masih mengunakan kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Tetapi dalam rangka pembentukan hukum nasional, beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku, seperti dalam bidang hukum kebendaan yang sudah diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta hukum perorangan dan kekeluargaan yang telah diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Salah satu bagian yang diatur di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tentang harta benda perkawinan. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 macam-macam harta perkawinan dibagi menjadi :
  1. Harta pribadi, yaitu harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sabagi hadiah atau warisan.
  2. Harat bersama, yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami isteri selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Status harta perkawinan pun menjadi berbeda ketika adanya suatu ikatan maupun tidak adanya ikatan dengan tali perkawinan, oleh karena itu, status harta perkawinan dibagi menjadi 2 yaitu :
  1. Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta pribadi masing-masing karena perkawinan.
  2. Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing, kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Adapun tanggung jawab suami isteri tarhadap harta perkawinan :
  1. Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri dan hartanya sendiri.
  2. Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersamam maupun harta suaminya yang ada padanya.
  3. Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
  4. Apabila ada hutang suami atau istri, maka dibebankan pada hartanya masing-masing. Hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi baru dibebankan harta isteri.
Status harta bersama dalam perkawinan poligami :
  1. Masing- masing istri memiliki harta bersama secara terpisah dan sendiri-sendiri.
  2. Pemilikan harta bersamanya dihitung pada saat berlangsunganya akad nikah yang kedua, ketiga atau keempat.
Pembagian harta bersama :
  1. Jika terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
  2. Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas setengah harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan pengaturan didalam KUHPerdata menyatakan bahwa semua harta bawaan yang berasal dari bawaan suami maupun harta bawaan istri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri tersebut, kecuali diadakan perjanjian perkawinan sebelum perkawiinan tersebut dilangsungkan.
Perbedaan pengertian harta perkawinan menurut UU no. 1 tahun 1974  dan pengertian harta perkawinan menurut KUHPerdata inilah yang membuat terjadinya pertentangan dalam kasus yang akan dibahas dalam makalah ini

1.2 Rumusan Masalah
  1. Mungkinkah memisahkan harta perkawianan?
  2. Berhakkah janda mendapatkan harta warisan suami?
  3. Kumulasi gugat cerai dengan pembagian harta bersama dan apa akibat hukumnya terhadap anak?
1.3 Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian harta perkawinan dalam perkawinan setelah berlakunya UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
  2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang telah terdapat dalam pembagian harta perkawinan dalam perkawinan dan upaya penyelesaiannya.
1.4 Manfaat Penulisan
  1. Manfaat teoritis
Dari penulisan ini diharaokan dapat membantu penulis dalam memahami perbedaan-perbedaan yang terjadi antara konsep/teori dengan praktek pembagian harta perkawinan.
  1. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan untuk evaluasi kinerja dalam praktek pembagian harta perkawinan.


  2.1 Mungkinkah memisahkan harta perkawinan
Dalam hukum perkawinan dikenal dengan istilah perjanjian perkawinan. Sebelum perkawinan dilangsungkan atau sah secara hukum, kedua belah pihak dapat membuat perjanjian perkawinan yang menyangkut harta masing-masing (harta bawaan). Artinya, harta bawaan masing-masing tersebut tidak bercampur dan dikuasai oleh masing-masing.
Perjanjian perkawinan dibuat oleh notaris sebelum perkawinan dilangsungkan dan mulai berlaku pada saat perkawinan disahkan. Jika terjadi perceraian, maka harta yang diperoleh selama perkawinan saja yang dibagi.
Harta selama perkawinan tidak bisa diwariskan kepada orang selain istri, karena dalam hukum perkawianan sudah ditentukan bahwa harta gono-gini harus dibagi sama rata antara suami dan istri.[1]
Dan dalam membuat perjanjian perkawinan tidak diperbolehkan menentukan sebaliknya yang menyimpang dari UU perkawinan.
Kecuali untuk harta bawaaan, bisa saja tidak diberikan kepada istri, tetapi kepada anak maupun adiknya.
Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi harta bersama. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan dalam Pasal 119 bahwa :
Kekayaan masing-masing yang dibawanya kedalam perkawinan itu dicampur menjadi satu.
Lebih lanjut pada ayat 2 nya:
Persatuan (percampuran) harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami istri.
Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan bersama itu harus dibagi dua sehingga masing-masing mendapat separuh.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) di dalam Pasal 35 dinyatakan bahwa :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang  diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[2]
Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.
Perjanjian harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan dan tidak boleh ditarik kembali atau diubah selama berlangsungnya perkawinan. Mengenai perjanjian inidiatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Perjanjian Perkawinan harus dibuat dengan akte notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pengawas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu berlangsung dan ia mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.
Materi yang diatur didalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaaan. Perjanjian semacam ini biasanya berisi janji tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Lazimnya berupa perolehan harta kekayaan terpisah, masing-masing pihak memperoleh apa yang diperoleh atau didapat selama perkawinan itu termasuk keuntungan dan kerugian.
Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini tersangkut.[3]
  2.2 Berhakkah Janda mendapat harta warisan suami
Pada dasrnya, janda dan anak-anak kandung dari suami berhak menerima harta warisan. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung :
Barang asal dapat dikuasai oleh janda untuk kepentingan hidupnya dan para ahli waris dari si peninggal itu dapat memperoleh warisan itu apabila janda telahkawin lagi atau meninggal dunia.
Dengan demikian, berdasarkan Yurisprudensi MA itu, seorang janda dapat menguasai harta peninggalan suaminya yang merupakan harta asal/bawaan selama janda tersebut tidak kawin lagi.[4]
Sedangkan mengenai bekas istri almarhum suami yang terdahulu, menurut hukum, ia tidak berhak lagi menerima warisan. Karena istri sudah diceraikan bukan merupakan ahli waris dari bekas suaminya (begitu pula sebaliknya), sebab tidak mempunyai hubungan hukum lagi. Hukum yang berlaku dalam pembagian warisan tersebut dapat ditentukan dengan kesepakatan ahli waris. Yakni bisa diberlakukan dengan hukum islam, menurut KUHPerdata atau hukum adat. Bila diberlakukan dengan hukum islam, maka pembagiannya 1:2. Dengan demikian, misalkan janda tersebut mempunyai 4 anak, tiga anak permpuan dan 1 anak laki-laki, maka janda tersebut dan 3 orang anak perempuannya mendapatkan masing-masing 1/6. Sedangkan anak laki-lakinya memperoleh 2/6.[5]
Menurut Praktek Badan Peradilan
Kedudukan janda menurut putusan Peradilan Agama, Pada hakekatnya sama dengan ketentuan hukum islam sebagaimana yang diuraikan di atas. Karena para hakim dalam memutuskan perkar waris yang diajukan kepadanya juga berpedoman pada ketentuan hukum islam.
Hanya saja  oleh hakim Pengadilan Agama dalam menerapkan hukum islam pada setiap putusannya bukan semata-mata bersumberkan kepada Al-Quran dan Hadis-hadis Nabi serta Ijma dan Qiyas serta kitab fiqh para madzhab dan sumber hukum lainya, tetapi para hakim juga menjadikan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu rujukan dalam pengambilan putusannya.
Dimana dalam setiap perkara waris yang diajukan kepadanya, bilaman salah seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, maka istri atau suami yang hidup memperoleh setengah dari harta bersama selama masa perkawinan. Dan setengah bagiannya itu menjadi harta warisan bagi pewaris terhadap para pewarisnya.[6]
Hal tersebut sebagimana dimuat dalam KHI pasal 96 ayat (1) menyatakan:
“apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan hidup yang lebih lama”

Dan pasal 171 sub Ekonomi menyatakan bahwa:
“harta warisan adalah  harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.

            Dengan demikian, bila seorang istri (janda) ditinggal mati oleh suaminya dimana keduanya mempunyai harta yang diperoleh selama masa perkawinan tersebut sebagi harta bersama, maka si janda memperoleh setengah dari harta bersama ditambah sepermpat bila tidak ada anak almarhum suaminya, atau seperdelapan bila mempunyai anak dari setengah harta bersama yang disatukan dengan harta bawaan suaminya.
            Bila diberlakukan dengan menurut KUHPerdata, masing-masing menerima bagian yang sama yaitu 1/5 bagian warisan. Sedangkan bila mengikuti hukum adat, mengikuti aturan adat setempat. Apabila terjadi penyimpangan, janda tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dimana par ahli waris tersebut tinggal.[7]
            Dari apa yang di uraikan diatas bisa disimpulkan bahwa:
  • Kedudukan janda janda dalam hukum waris adat secara umum tidak termasuk dalam kelompok ahli waris dan tidak pula mendapat harta warisan dari harta peninggalan suaminya. Janda hanya dapat menikmati harta peninggalan suaminya sebagai jaminan nafkah hidup.
  • Bahwa kedudukan janda dalam hukum waris Islam sama dengan kedudukan ahli waris lainya seperti kedudukan suami,istri,ayah,ibu,anak laki-laki,anak permpuan tidak pernah terhalang. Dan mendapat bagian seperempat bila tidak ada anak dan seperdelapan bila ada anak. Dan menurut praktek Badan Peradilan Agama, setengah bagian dari harta bersama diberikan kepada janda yang ditinggal mati almarhum suaminya.
2.3  Kumulasi Gugat Cerai dengan Pembagian Harta Bersama dan Akibat Hukum Terhadap Anak Keturunan
Praktek dalam lingkungan peradilan umum tidak dibenarkan kumulasi antara gugat cerai dengan pembagian harta bersama.
Alasannya adalah :
1)      Pembagian harta bersama adalah accesor/ikutan.
Oleh karena sifatnya yang ikutan tersebut pembagian harta bersama tidak dapat disengketakan secara serentak dengan gugatan perceraian.
2)      Persoalan pembagian harta bersama baru muncul secara efektif setelah adanya keputusan perceraian dan itupun harus mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
3)      Sepanjang gugatan perceraian belum pada tingkat keputusan yang berkekuatan tetap maka soal harta bersama masih bersifat terlalu dini.
4)      Sifat accesor, premature dan belum terbuka mengakibatkan pula harta bersama itu belum mempunyai kewenangan/kecakapan untuk dapat diajukan sebagai suatu tuntutan hukum.[8]
Dalam lingkup peradilan agama menurut UU No. 1989 dibolehkan adanya kumulasi antara gugat perceraian dengan pembagian harta bersama. Sementara itu akibat hukum tarhadap anak keturunan adalah sebagimana disinggung diatas perkawinan tidak hanya berakibat terhadap suami istri, juga terhadap harta kekayaan dan terakhir tehadap anak keturunannya.
            Jika di dalam perkawinan yang sah melahirkan keturunan maka :
1)      Anak tersebut menjadi anak sah
2)      Anak tersebut dapat menggunakan nama yang berkaitan dengan nama keluarga bapaknya.
3)      Anak tersebut mempunyai hubungan yang sah dengan kedua orang tuanya.
4)      Keturunan mengikuti garis keturunan sesuai denagn kekerabatan yang ada.
5)      Anak tersebut berhak atas perlindungan, pemeliharaan dan pendidikan pasangan suami istri yang bersangkutan.
Jika dibaca secara diteliti dan mendalam ketentuan dalam pasal-pasal undang-undang perkawinan tidak ada yang mengatur secara rinci dan khusus mengenai hak-hak seseorang anak.
            Mengenai hak-hak seorang anak diatur dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia. Adapun yang dimaksud adalah :
  1. UU No. tahun 1979 tantang Kesejahteran anak diatur melalui pasal 2 sampai dengan 8.
Dicantumkannya hak-hak seorang anak dalam undang-undang ini sebagai usaha untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar dan baik secara rohani, jasmani maupun social, tetutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.[9]
Melalui undang-undang dapat kita pahami dibedakan hak-hak seorang anak secara umum dan hak-hak seorang anak secara khusus bagi anak-anak yang mengalami hambatan rohani,jasmani, maupun sosial dan memerlukan pelayanan khusus.
  1. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asai Manusia diatur melalui pasal 15 sampai 52.
Dari pasal di atas dapat disimpulkan bahwa hak anak diakui dan diberi perlidungan hukum yaitu:
a)      Hak untuk mendapatkan perlindungan dari orang tuanya dan harus mendapat jaminan untuk diasuh dan dirawat oleh mereka.
b)      Untuk mengetahui siapa orang tuanya dan harus mendapat jaminan untuk diasuh dan dirawat oleh mereka.
c)      Hak untuk memperoleh pendidikan, pengajaran, beristrirahat, bergaul dan berintegrasi dengan lingkungannya.
d)     Hak untuk menerima informasi dan mendapatkan perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi yang mendapatkan perlindungan dari kegiatan yang dapat membahayakan dirinya.
e)      Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan yang dapat mengancam keselamatan dirinya.
f)       Hak untuk memperoleh perlakuan yang berbeda dari pelaku tindak pidana dewasa.
  1. UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak diatur melalui Pasal 4 sampai dengan pasal 18.
Melalui pasal-pasal diatas disamping memberikan perlindungan juga memberikan jaminan pemenuhan hak-hak anak tersebut dan tidak adanya perlakuan diskreminatif terhadap anak-anak.
Dalam hukum perkawinan tidak semua keturunan yang dilahirkan dari perkawinan adalah anak sah.
Hal ini terjadi mengingat ada upaya huku yang dapat ditempuh oleh si bapak untuk melakukan penyangkalan terhadap anak yang dilahirkan oleh istrinya.[10]
Kalau terbukti penyangkalannya dipengadialn, maka si anak tersebut hanyalah anak yang mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya.
Jadi dengan demikian jika upaya hukum itu ditempuh dan terbukti di pengadilan maka dalam perkawinan tersebut akan terdapat da macam status anak yaitu disamping anak sah dan juga anak diluar perkawianan.


3.1  Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang bias diambil dari kasus diatas yakni:
a.       Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974,macam-macam harta perkawinan, yaitu:
·         Harta pribadi dalah harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
·         Harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami istri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
b.      Status harta perkawinan pada dasrnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena perkawinan. Suami dan istri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing, kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
c.       Tamggung jawab suami istri terhadap harta perkawian, yaitu suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya sendiri; istri ikut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya;suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama; dan apabila ada hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi pada harta suami, selanjutnya dibebankan pada harta istri apabila masih belum mencukupi.
3.2  Saran
Saran yang penulis berikan atas adanya kasus harta perkawinan ini adalah: diperlukan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing pihak agar status harta bawaan tersebut jelas dan pasti. Karena ketentuan di dalam UU No.1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta bawaan dengan harta bersama tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat akan dilangsungkannya perkawinan atau sebelum dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari, terutama dalam segi pembuktian asal-usul harta pada waktu pembagian harta saat perceraian.



[1] Wawan Tunggul Wijaya. SH, 2008, Kasus-Kasus Hukum dalam Kehidupan Sehari-hari, Bentara Cipta Pratama Jakarta, h.34
[2] Wawan Tunggul Wijaya. SH,2008, Kasus-Kasus Hukum dalm Kehidupan Sehari-hari,Bentara Cipta Pratama, Jakarta,h.34
[3] Wawan Tunggul Wijaya.SH,2008,Kasus-Kasus Dalam Kehidupan Sehari-hari,Bentara Cipta Pratama Jakarta, h.34
[4] Afandi, Ali.2000.Hukum Waris,Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Jakarta : PT.Rineka Cipta
[5] Wawan Tunggul Alam.2008.Kasus-Kasus Hukum dalam Kehidupan Sehari-hari.Bentara Cipta Prima
[6] Afandi, Ali.2000.Hukum Waris,Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian.Jakarta, Bentara Cipta Prima. H.21
[7] Bambang Waluyo,Penelitian Hukum dalam Praktek.Jakarta: Sinar Grafika,1991 hal.2.
[8] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Cetakan 2, Jakarta : penerbit Universitas Indonesia,1989.
[9] Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti,2004, hal.134
[10] Hilman Hadikusumo,Hukum Perkawinan Indonesia,Bandung: Mandar Maju,1990,hal.7.
June 29, 2012

Perbedaan Bentuk Negara dan Pemerintahan

Perbedaan Bentuk Negara dan Pemerintahan
           



 





     Apakah perbedaan bentuk Negara dan bentuk pemerintahan ?
Bentuk Negara            :
dimana dalam bentuk Negara membahas sistem penjelmaan politis daripada unsur –
unsur Negara
Bentuk Pemerintahan  : 
dimana dalam bentuk pemerintahan meninjau bentuk Negara secara yuridis, yang\
bermaksud mengungkapkan hubungan antara alat – alat perlengkapan Negara tertinggi
dalam menentukan kebijaksanaan kenegaraan, hal ini ditemui di dalam konstitusi Negara.
Bentuk pemerintahan kadangkala disebut sebagai sistem pemerintahan.
2.      Bagaimanakah perbedaan pandangan Machiavelli dan G Jellinek mengenai criteria pembedaan bentuk Negara/pemerintahan atas Republik dan Monarki ?
Menurut Machiavelli   :
di dalam bukunya “II Principe” menyatakan bahwa bentuk suatu Negara jika tidak
Republik tentulah Monarchi. Ia mengartikan Negara sebagai bentuk genusnya sedangkan
Monarchi dan Republik sebagai bentuk spesiesnya.
Menurut G Jellinek      : 
di dalam bukunya “Allgemene Staatlehre” mengemukakan bentuk – bentuk Negara
sebagai pembagian yang pertama sekali Monarchi dan Republik dan bentuk ini dianggap
sebagai spesies daripada Negara. Pembedaan dalam kedua bentuk itu didasarkan atas
perbedaan terjadinya pembentukan kemauan Negara itu hanya ada 2 kemungkinan yaitu :
·      Apabila terjadinya pembentukan kemauan Negara itu semata – mata secara psikhologis atau secara alamiah, yang terjadi dalam jiwa / badan seseorang dan nampak sebagai kemauan seseorang/individu, maka bentuk negaranya adalah Monarchi
·      Apabila cara terjadinya pembentukan Negara secara yuridis, jadi secara sengaja dibuat menurut kemauan orang banyak sehingga kemauan itu Nampak sebagai kemauan dewan, maka bentuk negaranya adalah Republik.
3.      Perbedaan pandangan antara Polybios dan Aristoteles mengenai bentuk Negara!
Menurut Polybios      :  mengajarkan enam bentuk Negara yang terdiri atas 3 bentuk Negara ideal dan 3 bentuk kemerosotan. Tetapi disini Polybios menjelaskan secara tegas hubungan sebab akibat pergeseran dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Menurut Polybios bentuk Monarki adalah bentuk tertua yang dipegang oleh satu orang, yang mempunyai sifat lebih unggul daripada masyarakat lainnya, sehingga mendapatkan kepercayaan untuk memerintah demi kepentingan umum, tetapi lama kelamaan pengganti raja atau keturunannya tidak lagi memerintah demi kepentingan umum melainkan kepentingan diri sendiri, sehingga bentuk Negara tersebut berubah menjadi Tirani. Dimana pemerintahan tersebut dipegang oleh 1 orang tetapi dengan cara sewenang – wenang. Akibat kesewenang wenangan tersebut, rakyat pun tertindas, lalu munculah beberapa orang berani dan mempunyai sifat yang baik. Mereka bersatu dan mengadakan pemberontakan dan jika kekuasaan jatuh di tangan mereka, maka mereka akan menjalankan pemerintahannya demi kepentingan umum sehingga terjadi pergeseran bentuk Negara menjadi Aristokrasi. Tetapi lama kelamaan mengalami kemerosotan karena para aristocrat tidak lagi menjalankan pemerintahan untuk kepentingan umum melainkan kepentingan sendiri, sehingga terjadi pergeseran bentuk Negara yaitu Oligarki. Dalam bentuk oligarki sama sekali tidak adanya keadilan, sehingga rakyat berontak dan mengambil alih kekuasaan, sehingga pemerintahan dipegang oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat sehinnga bentuk Negara menjadi Demokrasi. Semula kekuasaan yang dilaksanakan oleh rakyat baik, namun lama kelamaan korupsi merajalela, hukum kehilangan kekuatan mengikat dan timbullah kekacauan sehingga demokrasi bergeser menjadi Okhlorasi. Dalam keadaan serba kacau tersebut, muncullah keinginan untuk memperbaiki nasibnya sehingga pada saat itu pula muncul seorang yang berani dan kuat untuk mengambil kekuasaan dan memerintah demi kepentingan rakyatnya, sehinnga bentuk Negara bergeser kembali ke Monarki.
Menurut Aristoteles  :  bentuk Negara dibedakannya berdasarkan 2 kriteria pokok yaitu; berdasarkan jumlah orangnya dan berdasarkan kualitas pemerintahannya. Maka bentuk Negara yang dimaksud adalah:
1.      Kekuasaan di tangan satu orang dan demi kepentingan umum disebut Monarki
2.      Kekuasaan di tangan 1 orang tetapi demi kepentingan pribadi penguasa disebut Tirani
3.      Kekuasaan di tangan beberapa orang yang pandai dan untuk kepentingan umum disebut Aristokrasi
4.      Kekuasaan di tangan beberapa orang dan ditujukan untuk kepentingan umum disebut Oligarki
5.      Kekuasaan di tangan seluruh rakyat dan untuk kepentingan umum disebut Politea
6.      Kekuasaan di tangan seluruh rakyat tetapi tidak memperhatikan kepentingan umum melainkan kepentingan orang – orang wakil rakyat disebut Demokrasi

          
1.      Jelaskan perbedaan Negara Kesatuan dan Negara Federal merujuk pada pendapat C F Strong!
Negara Kesatuan adalah bentuk Negara dimana wewenang legislative tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat, walaupun Negara dibagi dalam beberapa wilayah, tetapi kekuasaan sesungguhnya terletak pada pemerintah pusat.
Ciri – ciri Negara Kesatuan :
a.       Adanya supremasi parlemen/lembaga perwakilan rakyat pusat
b.      Tidak adanya badan – badan bawahan yang mempunyai kedaulatan
Negara Federal adalah Negara yang terdiri dari beberapa Negara bagian, yang semula berdiri sendiri tetapi kemudian Negara – Negara tersebut bergabung menjadi satu dengan mengadakan ikatan kerjasama untuk kepentingan mareka bersama.
Ciri – ciri Negara Federal :
a.       Adanya supremasi konstitusi
b.      Adanya pembagian kekuasaan antara Negara – negara bagian
c.       Adanya suatu lembaga yang diberikan wewenang untuk menyelesaikan perselisihan antara pemerintah federal dengan pemerintah Negara bagian
2.      Apakah Negara RI menganut sistem Negara Kesatuan yang sentralistik atau desentralistik? (Dimana jawaban merujuk pada UUD 1945)
Negara Indonesia pernah menganut Negara Kesatuan Sentralistik terbukti dengan UU No.5 1974 tentang pemerintah daerah sedangkan sekarang Indonesia menganut Negara Kesatuan Desentralistik sesuai dengan UU No.32 tahun 2004. Sistem desentralisasi adalah dimana pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi.




June 29, 2012

Mencari Presiden Di Negeri Penuh Korupsi

Mencari Presiden Di Negeri Penuh Korupsi

   Latar Belakang
Presidensial hanyalah salah satu system pemerintahan. System presidensial berkait erat dengan fungsi eksekutif. System pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan, pun tidak sama dengan bentuk Negara. Bentuk pemerintahan ada dua : republik dan kerajaan. Bentuk Negara terbagi menjadi tiga : kesatuan, federal dan konfederasi. Meski berbeda, system pemerintahan mempunyai korelasi kuat dengan bentuk pemerintahan. Presidensial adalah system pemerintahan dalam bentuk republik. Sedangkan pemerintah kerajaan, system pemerintahannya adalah monarki. Korelasi yang serupa, tidak ada antara system pemerintahan dengan bentuk Negara. System pemerintahan presidensial terdapat di bentuk Negara kesatuan, federal maupun konfederasi.
            Selain system pemerintahan presidensial dan monarki, ada tiga system pemerintahan yang lain : system parlementer, system campuran (hybrid), system kolegial (collegial system).[1]

System pemerintahan parlementer diantaranya dilaksanakan di Inggris, Australia dan Malaisya. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menter. Perdana menteri dingkat dari partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas parlemen. Sedangkan kepala Negara tidak dilaksanakan oleh perdana menteri. Di inggris di pegang oleh Ratu, di Australia oleh gubernur jenderal, yang masih dibawah Ratu Inggris, di Malaysia oleh Yang Dipertuan Agung.
Perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen, dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sedangkan Raja (Ratu atau Sultan) selaku kepala Negara tidak dapat diganggu gugat (the king can do not wrong). Berdasarkan system pertanggung jawaban demikian maka perdana menteri dan kabinetnya diklasifikasikan sebagai eksekutif sesungguhnya (real executive), disisi lain, kepala Negara hanya sebagai posisi yang simbolik (nominal executive).[2] Sebagai pemimpin simbolik raja lebih banyak melaksanakan keja-kerja seremonial.
Berbeda dengan system pemerintahan presidensial yang hanya diterapkan dalam bentuk Negara republik saja, system parlementer bentuk pemerintahannya dapat dilaksanakan pada bentuk Negara republik maupun kerajaan.[3]
System campuran pertama kali dikembangkan oleh perancis, system ini menggabungkan beberapa elemen system pemerintahan parlementer dan presidensial. Peran kepala Negara dipegang oleh presiden, kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri. Meskipun sebagai kepala Negara, presiden tidak hanya menjalankan tugas-tugas seremonial yang simbolik. Hal itu karena presiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Berbeda dengan kepala pemerintahan, yangselain bertanggung jawab kepada presiden, pun bertanggung jawab kepada parlemen.
Ketika partai sang presiden menguasai kursi mayoritas di National assembly maka Presiden leluasa bekerjasama dengan parlemen dan perdana menteri. Sebaliknya, jika partai lawan politik dari sang presiden yang menguasai mayoritas kursi di National Assembly maka ia akan termarginalisasi. Meski perdana menteri dipilih oleh presiden, sang presidan harus tetap mematuhi aturan parlemen untuk memilih pemimpin partai mayoritas di parlemen. Jika presiden dan perdana menteri tidak dalam satu aliansi partai politik maka terjadilah Cohabitation[4], hal ini terjadi pada tahun 1985, ketika presiden Chirac (Partai Sosialis) memberikan lebih banyak kewenangan kepada perdana menteri Miterrand (Partai Gaullist).[5] System campuran yang awalnya dikembangkan oleh Charles de Gaulle ini diadopsi oleh Finlandia,Rusia dan Sri lanka.[6]


System kolegal diterapkan di Swiss. Jabatan kepala Negara sama-sama dipegang tujuh orang dewan Federal Swiss. Presiden dipilih dari dewan federal oleh Parlemen Swiss (federal assembly). Masa jabatan presiden adalah satu tahun dipilih secara bergantian diantara ketujuh anggota dewan federal. Pergantian presiden dilakukan pada saat awal tahun baru.[7] Meski secara domestic, kepala Negara dijabat secara bersama oleh tujuh anggota Dewan Federal, secara internasional presiden terpilih diakui sebagai kepala Negara, dan karenanya menerima surat-surat kepercayaan (Letters of Credence) dari duta besar Negara sahabat.[8]
System Negara Monarki meletakkan fungsi kepala Negara dan kepala pemerintahan kepada sang raja. Salah satu ciri khas system monarki adalah jabatan raja diwariskan secara turun menurun. Conto Negara yang masih menerapkan system ini adalah Brunai Darussalam dan Saudi Arabia.
System Presidensial meletakan presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pusat kekuasaan Negara. Artinya, presiden tidak hanya kepala pemerintahan (chief of executive) tetapi juga kepala Negara (chief of state). Itulah sebabnya rentang kekuasaan presiden tidak hanya menyentuh kekuasaan eksekutif, tetapi juga sedikit banyakmerambah pada proses legalisasi serta kewenangan di bidang yudikatif.

Sistem Presidensial dan Parlementer
System presidensial mempunyai pesaing utama dan sering diperhadapakan dengan system parlementer. Karena itu, perlu dipahami secara benar perbedaan diantara keduanya. Karekteristik system parlementer adalah :
  1. Ada kepala Negara yang perannya hanya sebagai simbolik dan seremonial, mempunyai pengaruh politik (political influence) yang amat terbatas. Kepala Negara mungkin seorang presiden sebagaimana di Jerman,India dan italia. Meski ada kaisar di Jepang dan ratu di Inggris.
  2. Cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana mentri atau kanselir, yang bersama-sama dengan cabinet, adalah bagian dari parlemen, dipilih oleh parlemen dan setiap saat dapat diberhentikan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.
  3. Paerlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya bervariasi, ditentukan oleh kepala Negara berdasarkan masukan dari perdana menteri atau kanselir.[9]
Diantara Negara-negara yang menerapakan system parlementer, masih terdapat perbedaan-perbedaan. Beberapa factor yang mempengaruhi (1) berbeda jenis parlemen, bicameral atu unicameral; (2) perbedaan kekuatan eksekutif untuk membubarkan perlemen dan mempercepat pemilu dan sebaliknya kekuatan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri; (3) perbedaan adanya kewenangan judicial review; (4) perbedaan jumlah dan tipe partai politik.
Ciri system presidensial adalah :
  1. Presiden adalah kepala Negara dan kepala pemerintahan
  2. Presiden tidak dipilah langsung oleh parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular elected).
  3. Presiden bukan bagian dari parlemen dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen kecuali dalam proses Pemakzulan (impeachment).
  4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Wakil Presiden
            The executive branch of the government of the united states has but two elected members : the president and the vice-president. Only the former matter for what it is, the latter merely for what he might become.[10]
Di Amerika serikat, pertumbuhan pemerintahan yang pesat di abad 20 tidak membawa perubahan yang signifikan pada eksistensi dan fungsi wakil presiden. Setiap wakil presiden tidak mempunyai peran penting selain menunggu presiden wafat, atau berharap, magangnya sebagai wakil presiden berujung pada promosi menjadi presiden.
Meski pada akhirnya tidak mempunyai kewenangan konstitusional yang signifikan,seleksi kandidat calon wakil presiden masih tetap dipandang strategis. Calon wakil presiden dipilih berdasrkan factor-faktor yang dapat saling melengkapi dengan kandidat presiden.
Presiden dan Lembaga Kepresidenan
Presiden berbeda dengan lembaga kepresidenan. Presiden berhubungan dengan pemangku jabatan (personal, president, ambstrager). Sedang lembaga kepresidenan berkait dengan lingkungan jabatan (institusional, presidency, ambt)[11]
Berbeda dengan jabatan legislative dan yudisial yang “multiple membership”, jabatan presiden merupakan jabatan tunggal, posisi “a club of one” yang hanya diisi oleh satu orang pemangku jabatan.[12] Tidak mengherankan karenanya presiden akan menikmati legitimasi pemilu yang sangat kokoh, menjadikannya national figure yang amat sangat berpengaruh.[13] Mengenai strateginya menurut Ningel Bolwes:
A president’s greatest political asset is that the executive power in the United States is not collective but singular…. A member of congress is one of a body 435, a Senator of a hundred, a governor of fifty, a president of one.


  1.2 Rumusan Masalah
  1. Presidensial, presiden Sial atau “Presidensialan”?
  2. Bagaimanakah Presidensial di Era Presiden Yudhoyono?
  3. Bagaimana mencari Lembaga Kepresidenan yang Efektif?
  1.3 Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui bagaimana system presidensial di Indonesia dan mencoba menganalisa bagaimana mencari lembaga Kepresidenan yang efektif.
  2. Untuk mengetahui problematika yang timbul dari system presidensial yang diterapkan di Indonesia.
  1.4 Manfaat Penulisan
  1. Manfaat teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat membantu penulis dalam memahami system-sistem pemerintahan, di dunia maupun khususnya di Indonesia.
  1. Manfaat praktis
Hasil ini diharapkan dapat dipergunakan sesebagai bahan masukan untuk perencanaan,pelaksanaan dan evaluasi.


2.1  Presidensial, presiden Sial atau “Presidensialan”
Berdasarkan pengalaman Indonesia, penulis mengklasifikasikan ada tiga macam pemerintahan presidensial: (1) presiden sial (minority presidential);(2) Presidensialan (majority presidential); dan (3) presidensial (effective presidential).[14]
System presidensial akan menjadi pemerintahan yang efektif dan demokratis bila ditopang dua hal utama :personal presiden yang baik dan desain konstitusional yang kratik. Namun keduanya tidak  pernah hadir bersamaan di Indonesia. Yang pernah terjadi justru, adanya presiden yang bermoral problematic dan konstitusi yang buruk. Atau, kalaupun presidennya relative baik,desain konstitusinya relative buruk. Seharusnya system presidensial yang kokoh dijamin dalam konstitusi, dan pada saat yang bersamaan, dikontrol oleh system parlemen yang krisis, sebagai hasil dari system kepartaian sederhana.
“Presiden Sialan” adalah presiden yang didukung suara mayoritas di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan kolotif ( unified government). Kekuatan politik memusat di tangan presiden, dan parlemen menjadi “macan ompong”. “presiden sialan” lebih mungkin terjadi dalam system presidensial yang berpadu dengan system mono partai,atau didominasi oleh satu partai.
Di Indonesia, system “Presiden sialan” lahir jika terjadi penggabungan antara unsur personal yang buruk moral, dengan kekuasaan konstitusional dan partisan yang tanpa control, ditambah system parlemen dan system kepartaian yang mandul. Itulah system presidansial Indonesia sebelum amandemen UUD 1945. Kekuasaan presiden di dalam konstitusi sangat kokoh. Meski tidak dipilih langsung oleh rakyat, sang presiden jauh lebih berkuasa dari pada lembaga perwakilan rakyat. Partai politik hanya direkayasa hanya tiga. Satu yang asli, dua lainya  hanya sebagi penggembira. Hasilnya terbentuklah struktur kekuasaan yang berbentuk pyramid, dengan presiden yang berada dipuncak kekuasaan.[15] Lahirlah presiden yang bertingkah sebagai raja yang hanya wajib disembah dan haram disanggah.
Setelah masa “presiden sialan selesai”, Indonesia pernah hidup di bawah system Presiden sial. Secara moral, sang presiden berjiwa democrat. Ia amat dekat, bahkan sering bersenda gurau dengan Tuhan, apalagi rakyat. Banyak yang menyebutnya kiai, tidak sedikit yang menganggapnya wali. Sayangnya, ia hanya presiden yang hanya bertahan hanya dalam “ hitungan hari “. Selanjutnya – meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan ( Kompas 18/04/2000) –‘Kiai Sang Presiden’ mengalami ujian langsung  dari Tuhan sahabatnya, dan lulus dengan predikat summa cum laude sebagai presiden yang sial.
Kesialan sang Kiai lebih disebsbkan karena empat faktor utama, yaitu: melemahnya jaminan kekuasaan di tingkat konstitusi, menguatnya kontrol parlemen, minimnya dukungan atau kekuasaan partisan, sebagai konsekuensi hadirnya system multi partai yang tidak sederhana. Di era pemerintahannya, perubahan pertama dan kedua UUD 1945 dilakukan. Pasca amandemen ini, desain konstitusi yang muncul adalah presiden yang bagaikan macan ompong.
Presiden sial adalah presiden yang disokong minoritas suara di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan terbelah (divided government). Kekuatan politik terpecah antara presiden dan parlemen. Presiden lebih mungkin terjadi jika system presidensial dipadukan dengan system multi-partai.[16]
Pasca system presiden sialan dan presiden sial, rakyat Indonesia banyak belajar. Peta perjalanan untuk menuju system presidensial yang efektif dan demokratis sudah mulai dibaca dengan seksama. Mengacu pada pengalaman Negara-negara di Amerika Latin, kkonsep Mainwaring coba diterapkan. Jaminan kekuasaan konstitusi (constitutional power) lebih ditingkatkan. Dukungan kekuasaan partisan( partisan power) di parlemen lebih di upayakan.
Di tingkat konstitusi setelah amandemen keempat, Indonesia menuju ke system presidensial murni.[17]
  2.2 Presidensial di Era Presiden Yudhoyono Beserta Kabinet dan Koalisinya
            Dengan cabinet pelangi, logikanya setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan parlemen. Nyatanya tidak. Karena itu, lebih baik ada koalisi terbatas dan oposisis yang kuat dibandingkan mengakomodasi semua dalam cabinet pelangi.
            Dalam system presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogratif presiden. Namun teori  dan praktik sering kali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar pada hak prerogratif, namun juga bergantung pada kompromi dan akomodasi politik. Justru malah kompromi inilah yang lebih dominan mengenai penyusunan kabinet. Dominasi tersebut semakin terang benderang apabila system presidensial berdiri diatas multi partai. Dalam kondisi yang demikian, presiden sering tidak menguasai mayoritas kursi di parlemen. Hadirlah presiden minoritas,lahirlah pemerintahan terbelah. Yaitu pemerintahan yang agenda politik eksekutifnya bersebrangan jalan dengan mayoritas aspirasi politik legislatif.
            Perbedaan yang parah antara presiden dan parlemen dapat berujung pada pemakzulan presiden. Perbedaan yang biasa-biasa saja sering menghambat agenda kerja presiden. Untuk mengantisipasi hal itulah presiden membeli dukungan parlemen dengan menjual kursi di kabinet. Inilah ciri parlementer yang diadopsi presidensial dengan multi-partai. Muncullah koalisi pemerintahan, ciri utama sistem parlementer. Untuk menciptakan keseimbangan,seharusnya kelahiran koalisi tersebut diikuti dengan hadirnya oposisi. Namun, keinginan untuk menduduki kursi menteri, menyebabkan posisi koalisi lebih bergengsi ketimbang oposisi.
Koalisi pemerintahan dapat dibagi menjadi tiga : koalisi pas terbatas ( minimal winning coalition), koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisis kebesaran (over sized coalition).[18] Koalisi pas terbatas adalah koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen, jumlah partai yang berkoalisi dibatasi hanya untuk mendepat dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisis yang tidak mendapat dulkungan sederhana dari parlemen. Sebaliknya, koalisi kebesaran adalah potret pemerintahan yang nyaris mengikutsertakan semua parpol ke dalam kabinetnya.
            Koalisi kabinet yang kekecilan memunculkan presiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya koalisi yang kebesaran dapat menghasilkan pemerintahan yang gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik kedepan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.
            Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik di parlemen; koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Bagi rakyat, koalisi dan kabinet pas terbatas diharapakan, karena melahirkan interksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen. Sedangkan bagi partai politik, koalisi pas terbatas juga menguntungkan. Terbatasnya jumlah partai menyebabkan jatah kue kabinet (power sharing) yang dinikmati oleh masing-masing anggota koalisi akan lebih besar.
            Berapa idealkah angka dukungan partai politik parlemen yang pas terbatas tersebut? Seharusnya kisarannya adalah 275 hingga 300 kursi di DPR. Mengapa demikian? DPD- sayangnya- relatif dapat dinafikan karena tidak mempunyai kekuatan kostitusi yang berbahaya bagi presiden. Sebaliknya DPR dapat mempelopori  proses impeachment, menghambat proses legislasi dan proses rekrutmen politk orang-orang yang didukung presiden.
            Momentum reshuffle kabinet harus menjadi saat untuk kembali menyehatkan kabinet menjadi ramping alias pas-terbatas, tidak lagi overweight. Namun semua itu tergantung pada komitmen Presiden Yudhoyono untuk konsisten dengan ucapannya sendiri untuk menciptakan koalisi pas terbatas. Sayangnya, keinginan untuk menguasai parlemen agaknya lebih besar ketimbang  tujuan untuk membangun relasi yang lebih konstruktif. Disisi parlemen sendiri, hanya sedikit partai politik yang sadar bahwa posisi sebagai oposisi juga penting demi terciptanya atmosfer politik yang dinamis dan demokratis. Untuk menghindari koalisi dan kabinet yang semata-mata menjadi dagangan kekuasaan, kehadiran Undang-Undang Kementerian Negara wajib ada. Kebutuhan akan regulasi kabinet makin nyata karena miskinnya etika politik para elite kita. Sebab, seandainya intergeritas politisi kita dapat diandalkan, aturan tertulis hanyalah pelengkap semata. Tapi agaknya sudah menjadi hukum alam bahwa etika dan kehidupan politik bukanlah kawan sejalan, melainkan lawan yang tak pernah searah setujuan.
  2.3 Mencari Lembaga Kepresidenan yang Efektif
            Berangkat dari pendasaran teori, pengalaman paradox serta anomaly system presidensial di Indonesia tersebut diatas; sebuah pertanyaan krusial sangat mendesak untuk dikemukakan : apakah solusi untuk keluar dari buah simalakama presiden sial atau presiden sialan? Bagaimanakah sebenarnya format ideal presidensial yang efektif?
            Yang diamksud efektifitas disini adalah suatu keadaan atau suatu kondisi dimana lembaga kepresidenan (dengan segala kewenangan yang dimilikinya) bisa merealisasikan platform politik dan program kerja pemerintahan secara efektif  karena adanya hubungan konstruktif-bukan kolutif ataupun konfrontatif-dengan semua lembaga Negara alin, khususnya parlemen. Untuk menciptakan lembaga kepresidenan yang efektif ditengah multi partai, maka perlu dilakukan beberapa langkah rekayasa hukum yang cerdas, sekaligus tetap demokratis.
            Pertama, system multi partai adalah keniscayaan bagi heterogennya alur dan pola pikir partai politik masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, orde baru mempunyai kesalahan fatal ketika mendesakkan penyederhanaan system kepartaian menjadi tiga : Golkar, PDI dan PPP. Bentuk pengkrangkengan partai politik melalui rekayasa politik dari atas ( top Down ) tersebut jelas membunuh demokrasi dan mematikan keberagaman yang nyata-nyata ada di Indonesia.
            System multi partai karenanya tidak bisa dihilangkan. Yang perlu dilakukan berkaitan dengan penciptaan lembaga kepresidenan yang efektif adalah mengarahkan agar system multi partai partai itu menjadi lebih sederhana. Pengarahan dilakukan tidak dengan pembatasan tetapi dengan seleksi alam pemilu. Itu artinya mekanisme electoral threshold  yang sekarang sudah diadopsi oleh Undang-undang tentang partai politik dan pemilu sudahlah tepat.
            Kedua, namun dalam praktinya, electoral threshold  itu masih bisa diakali dan dismpangi. Partai-partai yang tidak lolos ambang batas masih saja bisa melakukan manipulasi politik hukum sehingga merenkarnasi partainya untuk tetap menjadi paserta pemilu. Maka, penerapan ambang batas harus lebih tegas oleh Komisi Pemilihan Umum, disamping itu,  ambang batastidak hanya dilakukan kepada partai politik, namun larangan sebagai peserta pemilu juga waji diberlakukan kepada orang atau pengurus partai yang partainya tidak lolos electoral threshold. Meski, agar tidak bertentangan dengan hak asasi untuk berserikat dan berkumpul, maka pelarangan itu hanya diberlakukan untuk satu kali pemilu. Dengan larangan tidak hanya terhadap partai politik tetapi juga orang demikian, maka petualang politik yang membuat partai  semata untuk kepentingan sesaat akan berkurang dan akhirnya tujuan penyelenggaraan partai akan mungin diwujudkan.
            Ketiga, perlu diatur bahwa calon presiden dan wakil presiden haruslah berasal dari partai yang sama, atau keduanya adalah calon independen sama sekali di luar partai. Hal ini penting untuk menyamakan platform politik lembaga kepresidenen. Tanpa antisipasi yang cerdas tidak mustahul kedepan pemerintahan tidak hanya terbelah antara presiden dengan parlemen (divided government), tetapi bahkan sudeh terbelah secara internal diantara presiden dan wakil presidennya-salah satunya- karena perbedaan partai dan kepentingan politik antara keduanya. Aturan demikian sebaliknya ada dalam undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden.
            Keempat, perlu disegerakan lahirnya undang-undang tentang kementerian Negara yang akan membantu terciptanya kolalisi pas terbatas (minimal winning coalition) serta kabinet yang professional. Undang-undang demikian akan meminimalisir terlalu bebasnya seorang presiden membentuk dan/atau membubarkan departemen semata-mata karena ingin mengakomodasi kawan politiknya, atau membunuh lawan politiknya. Kabinet yang gemuk dan tidak efisien hasil dagang sapi politik antara presiden dengan partai politik akan terkontrol dengan jelasnya departemen-departemen apa yang sewajibnya ada.
            Kelima, undang-undang dewan pertimbangan presiden yang sudah menghasilkan para penasihat presiden harus segera bekerja untuk member masukan yang berbobot. Meskipun bobot masukan itu hanya berupa pertimbangan, namun jika kualitasnya terjaga tidak ada alasan bagi presiden untuk tidak memperhatikannya.
Perbaikan diatas sebagian besar dapat dilakukan pada level amandemen undamg-undang. Kecuali masalah calon presiden yang harus dibuka pada level aturan konstitusi. Karena monopoli pencalonan presiden oleh partai politik atau koalisi partai politik saat ini adalah materi muatan konstitusi.
Di luar pengaturan internal kepresidenan, system check and balances pada level Undang-Undang Dasar 1945 harus juga diperbaiki, itu artinya tidak hanya pada relasi presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang harus diperbaiki, tetapi Dewan Perwakilan Daerah ada baiknya diperbaiki. Dengan Dewan Perwakilan Daerah yang berdaya kontrol dan dinamisnya kehidupan internal di internal parlemen akan tarjadi, membatasi kewenangan oligarki partai yang saat ini nyaris tak tertandingi.




  3.1 Kesimpulan
Ì  System presidensial akan menjadi pemerintahan yang efektif dan demokratis bila ditopang dua hal utama :personal presiden yang baik dan desain konstitusional yang kratik.
Ì  Koalisi kabinet yang kekecilan memunculkan presiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya koalisi yang kebesaran dapat menghasilkan pemerintahan yang gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik kedepan sebainya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.
Ì  Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik di parlemen; koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Bagi rakyat, koalisi dan kabinet pas terbatas diharapakan, karena melahirkan interksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen. Sedangkan bagi partai politik, koalisi pas terbatas juga menguntungkan. Terbatasnya jumlah partai menyebabkan jatah kue kabinet (power sharing) yang dinikmati oleh masing-masing anggota koalisi akan lebih besar.
Ì  Format ideal presiden yang efektif adalah suatu keadaan atau suatu kondisi dimana lembaga kepresidenan (dengan segala kewenangan yang dimilikinya) bisa merealisasikan platform politik dan program kerja pemerintahan secara efektif karena adanya hubungan konstruktif-bukan kolutif ataupun konfrontatif -dengan semua lembaga Negara alin, khususnya parlemen. Untuk menciptakan lembaga kepresidenan yang efektif ditengah multi partai, maka perlu dilakukan beberapa langkah rekayasa hukum yang cerdas, sekaligus tetap demokratis.
  3.2 Saran
            Dalam hal koalisi:
1.      untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik kedepan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.
2.      Untuk menghindari koalisi dan kabinet yang semata-mata menjadi dagangan kekuasaan, kehadiran Undang-Undang Kementerian Negara wajib ada. Kebutuhan akan regulasi kabinet makin nyata karena miskinnya etika politik para elite kita. Sebab, seandainya intergeritas politisi kita dapat diandalkan, aturan tertulis hanyalah pelengkap semata.
Dalam format ideal presidensial yang efektif:
1.      System multi partai karenanya tidak bisa dihilangkan. Yang perlu dilakukan berkaitan dengan penciptaan lembaga kepresidenan yang efektif adalah mengarahkan agar system multi partai partai itu menjadi lebih sederhana. Pengarahan dilakukan tidak dengan pembatasan tetapi dengan seleksi alam pemilu.
2.      penerapan ambang batas harus lebih tegas oleh Komisi Pemilihan Umum, disamping itu,  ambang batastidak hanya dilakukan kepada partai politik, namun larangan sebagai peserta pemilu juga waji diberlakukan kepada orang atau pengurus partai yang partainya tidak lolos electoral threshold.
3.      perlu diatur bahwa calon presiden dan wakil presiden haruslah berasal dari partai yang sama, atau keduanya adalah calon independen sama sekali di luar partai.
4.      perlu disegerakan lahirnya undang-undang tentang kementerian Negara yang akan membantu terciptanya kolalisi pas terbatas (minimal winning coalition) serta kabinet yang professional
5.      undang-undang dewan pertimbangan presiden yang sudah menghasilkan para penasihat presiden harus segera bekerja untuk member masukan yang berbobot.




[1] Tulisan ini pernah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara , Melanjutkan Perubahan UUD 1945 negara RI 1945”,diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi(PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah RI, Bukit Tinggi, tanggal 11-13 Mei 2007
[2] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (1990) hal.17
[3] Ibid
[4] Ensiklopedia Wikipedia, http:/en.wikipedia.org/wiki/presiden diakses pada 11 Juni 2012
[5] Alan R.Ball dan B. Guy Peters,Modern Politic and govermment (6th edition ,2000) hal 201,216.
[6] Ensiklopedia Wikipedia,http:/en.wikipedia.org/wiki/presiden diakses pada 11 Juni 2012
[7] Jimmly Asshiddiqie, Presidensialisme versus Parlementarisme dalam gerak Politik Yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-Prinsip Lembaga Kepresidenan(2002) h. 42-43
[8] Ensiklopedia Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/president  diakses 11 Juni 2012.
[9] Ball dan Piters, n 6, hal. 62
[10] Nigel Bowles,Government And politic of the united states (1998) hal. 98
[11] Manan, n 3, hal. 1-2
[12] Alrasid, n 11, hal.12;bowles, n 28,hal.98.
[13] Bowles, n 28, hal. 98.
[14] Paparan dibawah ini berasak dari Denny Indrayana,Effective Presidential, Minority Presidential, Majority Presidential, Kompas 13 Mei 2004
[15] William Lidde, Leadership and Culture in Indonesian Politic (1996) hal.17
[16] Scott Mainwaring dan Mattew S. Shugart,Presidentialsm and Democracy in Latin America (1990)
[17] Andrew ellis,’The Indonesian Constitutional Transition : Conservatism or fundamental Change’(2002) 6, Singapore Jurnal of International and Comparative Law.
[18] Arendt Lipjhart,Pattren of Democracy (1999)
BAB I
PENDAHULUAN
  1.1 Latar Belakang
Presidensial hanyalah salah satu system pemerintahan. System presidensial berkait erat dengan fungsi eksekutif. System pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan, pun tidak sama dengan bentuk Negara. Bentuk pemerintahan ada dua : republik dan kerajaan. Bentuk Negara terbagi menjadi tiga : kesatuan, federal dan konfederasi. Meski berbeda, system pemerintahan mempunyai korelasi kuat dengan bentuk pemerintahan. Presidensial adalah system pemerintahan dalam bentuk republik. Sedangkan pemerintah kerajaan, system pemerintahannya adalah monarki. Korelasi yang serupa, tidak ada antara system pemerintahan dengan bentuk Negara. System pemerintahan presidensial terdapat di bentuk Negara kesatuan, federal maupun konfederasi.
            Selain system pemerintahan presidensial dan monarki, ada tiga system pemerintahan yang lain : system parlementer, system campuran (hybrid), system kolegial (collegial system).[1]

System pemerintahan parlementer diantaranya dilaksanakan di Inggris, Australia dan Malaisya. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menter. Perdana menteri dingkat dari partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas parlemen. Sedangkan kepala Negara tidak dilaksanakan oleh perdana menteri. Di inggris di pegang oleh Ratu, di Australia oleh gubernur jenderal, yang masih dibawah Ratu Inggris, di Malaysia oleh Yang Dipertuan Agung.
Perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen, dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sedangkan Raja (Ratu atau Sultan) selaku kepala Negara tidak dapat diganggu gugat (the king can do not wrong). Berdasarkan system pertanggung jawaban demikian maka perdana menteri dan kabinetnya diklasifikasikan sebagai eksekutif sesungguhnya (real executive), disisi lain, kepala Negara hanya sebagai posisi yang simbolik (nominal executive).[2] Sebagai pemimpin simbolik raja lebih banyak melaksanakan keja-kerja seremonial.
Berbeda dengan system pemerintahan presidensial yang hanya diterapkan dalam bentuk Negara republik saja, system parlementer bentuk pemerintahannya dapat dilaksanakan pada bentuk Negara republik maupun kerajaan.[3]
System campuran pertama kali dikembangkan oleh perancis, system ini menggabungkan beberapa elemen system pemerintahan parlementer dan presidensial. Peran kepala Negara dipegang oleh presiden, kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri. Meskipun sebagai kepala Negara, presiden tidak hanya menjalankan tugas-tugas seremonial yang simbolik. Hal itu karena presiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Berbeda dengan kepala pemerintahan, yangselain bertanggung jawab kepada presiden, pun bertanggung jawab kepada parlemen.
Ketika partai sang presiden menguasai kursi mayoritas di National assembly maka Presiden leluasa bekerjasama dengan parlemen dan perdana menteri. Sebaliknya, jika partai lawan politik dari sang presiden yang menguasai mayoritas kursi di National Assembly maka ia akan termarginalisasi. Meski perdana menteri dipilih oleh presiden, sang presidan harus tetap mematuhi aturan parlemen untuk memilih pemimpin partai mayoritas di parlemen. Jika presiden dan perdana menteri tidak dalam satu aliansi partai politik maka terjadilah Cohabitation[4], hal ini terjadi pada tahun 1985, ketika presiden Chirac (Partai Sosialis) memberikan lebih banyak kewenangan kepada perdana menteri Miterrand (Partai Gaullist).[5] System campuran yang awalnya dikembangkan oleh Charles de Gaulle ini diadopsi oleh Finlandia,Rusia dan Sri lanka.[6]


System kolegal diterapkan di Swiss. Jabatan kepala Negara sama-sama dipegang tujuh orang dewan Federal Swiss. Presiden dipilih dari dewan federal oleh Parlemen Swiss (federal assembly). Masa jabatan presiden adalah satu tahun dipilih secara bergantian diantara ketujuh anggota dewan federal. Pergantian presiden dilakukan pada saat awal tahun baru.[7] Meski secara domestic, kepala Negara dijabat secara bersama oleh tujuh anggota Dewan Federal, secara internasional presiden terpilih diakui sebagai kepala Negara, dan karenanya menerima surat-surat kepercayaan (Letters of Credence) dari duta besar Negara sahabat.[8]
System Negara Monarki meletakkan fungsi kepala Negara dan kepala pemerintahan kepada sang raja. Salah satu ciri khas system monarki adalah jabatan raja diwariskan secara turun menurun. Conto Negara yang masih menerapkan system ini adalah Brunai Darussalam dan Saudi Arabia.
System Presidensial meletakan presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pusat kekuasaan Negara. Artinya, presiden tidak hanya kepala pemerintahan (chief of executive) tetapi juga kepala Negara (chief of state). Itulah sebabnya rentang kekuasaan presiden tidak hanya menyentuh kekuasaan eksekutif, tetapi juga sedikit banyakmerambah pada proses legalisasi serta kewenangan di bidang yudikatif.

Sistem Presidensial dan Parlementer
System presidensial mempunyai pesaing utama dan sering diperhadapakan dengan system parlementer. Karena itu, perlu dipahami secara benar perbedaan diantara keduanya. Karekteristik system parlementer adalah :
  1. Ada kepala Negara yang perannya hanya sebagai simbolik dan seremonial, mempunyai pengaruh politik (political influence) yang amat terbatas. Kepala Negara mungkin seorang presiden sebagaimana di Jerman,India dan italia. Meski ada kaisar di Jepang dan ratu di Inggris.
  2. Cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana mentri atau kanselir, yang bersama-sama dengan cabinet, adalah bagian dari parlemen, dipilih oleh parlemen dan setiap saat dapat diberhentikan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya.
  3. Paerlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya bervariasi, ditentukan oleh kepala Negara berdasarkan masukan dari perdana menteri atau kanselir.[9]
Diantara Negara-negara yang menerapakan system parlementer, masih terdapat perbedaan-perbedaan. Beberapa factor yang mempengaruhi (1) berbeda jenis parlemen, bicameral atu unicameral; (2) perbedaan kekuatan eksekutif untuk membubarkan perlemen dan mempercepat pemilu dan sebaliknya kekuatan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri; (3) perbedaan adanya kewenangan judicial review; (4) perbedaan jumlah dan tipe partai politik.
Ciri system presidensial adalah :
  1. Presiden adalah kepala Negara dan kepala pemerintahan
  2. Presiden tidak dipilah langsung oleh parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular elected).
  3. Presiden bukan bagian dari parlemen dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen kecuali dalam proses Pemakzulan (impeachment).
  4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Wakil Presiden
            The executive branch of the government of the united states has but two elected members : the president and the vice-president. Only the former matter for what it is, the latter merely for what he might become.[10]
Di Amerika serikat, pertumbuhan pemerintahan yang pesat di abad 20 tidak membawa perubahan yang signifikan pada eksistensi dan fungsi wakil presiden. Setiap wakil presiden tidak mempunyai peran penting selain menunggu presiden wafat, atau berharap, magangnya sebagai wakil presiden berujung pada promosi menjadi presiden.
Meski pada akhirnya tidak mempunyai kewenangan konstitusional yang signifikan,seleksi kandidat calon wakil presiden masih tetap dipandang strategis. Calon wakil presiden dipilih berdasrkan factor-faktor yang dapat saling melengkapi dengan kandidat presiden.
Presiden dan Lembaga Kepresidenan
Presiden berbeda dengan lembaga kepresidenan. Presiden berhubungan dengan pemangku jabatan (personal, president, ambstrager). Sedang lembaga kepresidenan berkait dengan lingkungan jabatan (institusional, presidency, ambt)[11]
Berbeda dengan jabatan legislative dan yudisial yang “multiple membership”, jabatan presiden merupakan jabatan tunggal, posisi “a club of one” yang hanya diisi oleh satu orang pemangku jabatan.[12] Tidak mengherankan karenanya presiden akan menikmati legitimasi pemilu yang sangat kokoh, menjadikannya national figure yang amat sangat berpengaruh.[13] Mengenai strateginya menurut Ningel Bolwes:
A president’s greatest political asset is that the executive power in the United States is not collective but singular…. A member of congress is one of a body 435, a Senator of a hundred, a governor of fifty, a president of one.


  1.2 Rumusan Masalah
  1. Presidensial, presiden Sial atau “Presidensialan”?
  2. Bagaimanakah Presidensial di Era Presiden Yudhoyono?
  3. Bagaimana mencari Lembaga Kepresidenan yang Efektif?
  1.3 Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui bagaimana system presidensial di Indonesia dan mencoba menganalisa bagaimana mencari lembaga Kepresidenan yang efektif.
  2. Untuk mengetahui problematika yang timbul dari system presidensial yang diterapkan di Indonesia.
  1.4 Manfaat Penulisan
  1. Manfaat teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat membantu penulis dalam memahami system-sistem pemerintahan, di dunia maupun khususnya di Indonesia.
  1. Manfaat praktis
Hasil ini diharapkan dapat dipergunakan sesebagai bahan masukan untuk perencanaan,pelaksanaan dan evaluasi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Presidensial, presiden Sial atau “Presidensialan”
Berdasarkan pengalaman Indonesia, penulis mengklasifikasikan ada tiga macam pemerintahan presidensial: (1) presiden sial (minority presidential);(2) Presidensialan (majority presidential); dan (3) presidensial (effective presidential).[14]
System presidensial akan menjadi pemerintahan yang efektif dan demokratis bila ditopang dua hal utama :personal presiden yang baik dan desain konstitusional yang kratik. Namun keduanya tidak  pernah hadir bersamaan di Indonesia. Yang pernah terjadi justru, adanya presiden yang bermoral problematic dan konstitusi yang buruk. Atau, kalaupun presidennya relative baik,desain konstitusinya relative buruk. Seharusnya system presidensial yang kokoh dijamin dalam konstitusi, dan pada saat yang bersamaan, dikontrol oleh system parlemen yang krisis, sebagai hasil dari system kepartaian sederhana.
“Presiden Sialan” adalah presiden yang didukung suara mayoritas di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan kolotif ( unified government). Kekuatan politik memusat di tangan presiden, dan parlemen menjadi “macan ompong”. “presiden sialan” lebih mungkin terjadi dalam system presidensial yang berpadu dengan system mono partai,atau didominasi oleh satu partai.
Di Indonesia, system “Presiden sialan” lahir jika terjadi penggabungan antara unsur personal yang buruk moral, dengan kekuasaan konstitusional dan partisan yang tanpa control, ditambah system parlemen dan system kepartaian yang mandul. Itulah system presidansial Indonesia sebelum amandemen UUD 1945. Kekuasaan presiden di dalam konstitusi sangat kokoh. Meski tidak dipilih langsung oleh rakyat, sang presiden jauh lebih berkuasa dari pada lembaga perwakilan rakyat. Partai politik hanya direkayasa hanya tiga. Satu yang asli, dua lainya  hanya sebagi penggembira. Hasilnya terbentuklah struktur kekuasaan yang berbentuk pyramid, dengan presiden yang berada dipuncak kekuasaan.[15] Lahirlah presiden yang bertingkah sebagai raja yang hanya wajib disembah dan haram disanggah.
Setelah masa “presiden sialan selesai”, Indonesia pernah hidup di bawah system Presiden sial. Secara moral, sang presiden berjiwa democrat. Ia amat dekat, bahkan sering bersenda gurau dengan Tuhan, apalagi rakyat. Banyak yang menyebutnya kiai, tidak sedikit yang menganggapnya wali. Sayangnya, ia hanya presiden yang hanya bertahan hanya dalam “ hitungan hari “. Selanjutnya – meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan ( Kompas 18/04/2000) –‘Kiai Sang Presiden’ mengalami ujian langsung  dari Tuhan sahabatnya, dan lulus dengan predikat summa cum laude sebagai presiden yang sial.
Kesialan sang Kiai lebih disebsbkan karena empat faktor utama, yaitu: melemahnya jaminan kekuasaan di tingkat konstitusi, menguatnya kontrol parlemen, minimnya dukungan atau kekuasaan partisan, sebagai konsekuensi hadirnya system multi partai yang tidak sederhana. Di era pemerintahannya, perubahan pertama dan kedua UUD 1945 dilakukan. Pasca amandemen ini, desain konstitusi yang muncul adalah presiden yang bagaikan macan ompong.
Presiden sial adalah presiden yang disokong minoritas suara di parlemen. Pemerintahan yang terjadi adalah pemerintahan terbelah (divided government). Kekuatan politik terpecah antara presiden dan parlemen. Presiden lebih mungkin terjadi jika system presidensial dipadukan dengan system multi-partai.[16]
Pasca system presiden sialan dan presiden sial, rakyat Indonesia banyak belajar. Peta perjalanan untuk menuju system presidensial yang efektif dan demokratis sudah mulai dibaca dengan seksama. Mengacu pada pengalaman Negara-negara di Amerika Latin, kkonsep Mainwaring coba diterapkan. Jaminan kekuasaan konstitusi (constitutional power) lebih ditingkatkan. Dukungan kekuasaan partisan( partisan power) di parlemen lebih di upayakan.
Di tingkat konstitusi setelah amandemen keempat, Indonesia menuju ke system presidensial murni.[17]
  2.2 Presidensial di Era Presiden Yudhoyono Beserta Kabinet dan Koalisinya
            Dengan cabinet pelangi, logikanya setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan parlemen. Nyatanya tidak. Karena itu, lebih baik ada koalisi terbatas dan oposisis yang kuat dibandingkan mengakomodasi semua dalam cabinet pelangi.
            Dalam system presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogratif presiden. Namun teori  dan praktik sering kali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar pada hak prerogratif, namun juga bergantung pada kompromi dan akomodasi politik. Justru malah kompromi inilah yang lebih dominan mengenai penyusunan kabinet. Dominasi tersebut semakin terang benderang apabila system presidensial berdiri diatas multi partai. Dalam kondisi yang demikian, presiden sering tidak menguasai mayoritas kursi di parlemen. Hadirlah presiden minoritas,lahirlah pemerintahan terbelah. Yaitu pemerintahan yang agenda politik eksekutifnya bersebrangan jalan dengan mayoritas aspirasi politik legislatif.
            Perbedaan yang parah antara presiden dan parlemen dapat berujung pada pemakzulan presiden. Perbedaan yang biasa-biasa saja sering menghambat agenda kerja presiden. Untuk mengantisipasi hal itulah presiden membeli dukungan parlemen dengan menjual kursi di kabinet. Inilah ciri parlementer yang diadopsi presidensial dengan multi-partai. Muncullah koalisi pemerintahan, ciri utama sistem parlementer. Untuk menciptakan keseimbangan,seharusnya kelahiran koalisi tersebut diikuti dengan hadirnya oposisi. Namun, keinginan untuk menduduki kursi menteri, menyebabkan posisi koalisi lebih bergengsi ketimbang oposisi.
Koalisi pemerintahan dapat dibagi menjadi tiga : koalisi pas terbatas ( minimal winning coalition), koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisis kebesaran (over sized coalition).[18] Koalisi pas terbatas adalah koalisi yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen, jumlah partai yang berkoalisi dibatasi hanya untuk mendepat dukungan mayoritas sederhana. Koalisi kekecilan adalah koalisis yang tidak mendapat dulkungan sederhana dari parlemen. Sebaliknya, koalisi kebesaran adalah potret pemerintahan yang nyaris mengikutsertakan semua parpol ke dalam kabinetnya.
            Koalisi kabinet yang kekecilan memunculkan presiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya koalisi yang kebesaran dapat menghasilkan pemerintahan yang gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik kedepan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.
            Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik di parlemen; koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Bagi rakyat, koalisi dan kabinet pas terbatas diharapakan, karena melahirkan interksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen. Sedangkan bagi partai politik, koalisi pas terbatas juga menguntungkan. Terbatasnya jumlah partai menyebabkan jatah kue kabinet (power sharing) yang dinikmati oleh masing-masing anggota koalisi akan lebih besar.
            Berapa idealkah angka dukungan partai politik parlemen yang pas terbatas tersebut? Seharusnya kisarannya adalah 275 hingga 300 kursi di DPR. Mengapa demikian? DPD- sayangnya- relatif dapat dinafikan karena tidak mempunyai kekuatan kostitusi yang berbahaya bagi presiden. Sebaliknya DPR dapat mempelopori  proses impeachment, menghambat proses legislasi dan proses rekrutmen politk orang-orang yang didukung presiden.
            Momentum reshuffle kabinet harus menjadi saat untuk kembali menyehatkan kabinet menjadi ramping alias pas-terbatas, tidak lagi overweight. Namun semua itu tergantung pada komitmen Presiden Yudhoyono untuk konsisten dengan ucapannya sendiri untuk menciptakan koalisi pas terbatas. Sayangnya, keinginan untuk menguasai parlemen agaknya lebih besar ketimbang  tujuan untuk membangun relasi yang lebih konstruktif. Disisi parlemen sendiri, hanya sedikit partai politik yang sadar bahwa posisi sebagai oposisi juga penting demi terciptanya atmosfer politik yang dinamis dan demokratis. Untuk menghindari koalisi dan kabinet yang semata-mata menjadi dagangan kekuasaan, kehadiran Undang-Undang Kementerian Negara wajib ada. Kebutuhan akan regulasi kabinet makin nyata karena miskinnya etika politik para elite kita. Sebab, seandainya intergeritas politisi kita dapat diandalkan, aturan tertulis hanyalah pelengkap semata. Tapi agaknya sudah menjadi hukum alam bahwa etika dan kehidupan politik bukanlah kawan sejalan, melainkan lawan yang tak pernah searah setujuan.
  2.3 Mencari Lembaga Kepresidenan yang Efektif
            Berangkat dari pendasaran teori, pengalaman paradox serta anomaly system presidensial di Indonesia tersebut diatas; sebuah pertanyaan krusial sangat mendesak untuk dikemukakan : apakah solusi untuk keluar dari buah simalakama presiden sial atau presiden sialan? Bagaimanakah sebenarnya format ideal presidensial yang efektif?
            Yang diamksud efektifitas disini adalah suatu keadaan atau suatu kondisi dimana lembaga kepresidenan (dengan segala kewenangan yang dimilikinya) bisa merealisasikan platform politik dan program kerja pemerintahan secara efektif  karena adanya hubungan konstruktif-bukan kolutif ataupun konfrontatif-dengan semua lembaga Negara alin, khususnya parlemen. Untuk menciptakan lembaga kepresidenan yang efektif ditengah multi partai, maka perlu dilakukan beberapa langkah rekayasa hukum yang cerdas, sekaligus tetap demokratis.
            Pertama, system multi partai adalah keniscayaan bagi heterogennya alur dan pola pikir partai politik masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, orde baru mempunyai kesalahan fatal ketika mendesakkan penyederhanaan system kepartaian menjadi tiga : Golkar, PDI dan PPP. Bentuk pengkrangkengan partai politik melalui rekayasa politik dari atas ( top Down ) tersebut jelas membunuh demokrasi dan mematikan keberagaman yang nyata-nyata ada di Indonesia.
            System multi partai karenanya tidak bisa dihilangkan. Yang perlu dilakukan berkaitan dengan penciptaan lembaga kepresidenan yang efektif adalah mengarahkan agar system multi partai partai itu menjadi lebih sederhana. Pengarahan dilakukan tidak dengan pembatasan tetapi dengan seleksi alam pemilu. Itu artinya mekanisme electoral threshold  yang sekarang sudah diadopsi oleh Undang-undang tentang partai politik dan pemilu sudahlah tepat.
            Kedua, namun dalam praktinya, electoral threshold  itu masih bisa diakali dan dismpangi. Partai-partai yang tidak lolos ambang batas masih saja bisa melakukan manipulasi politik hukum sehingga merenkarnasi partainya untuk tetap menjadi paserta pemilu. Maka, penerapan ambang batas harus lebih tegas oleh Komisi Pemilihan Umum, disamping itu,  ambang batastidak hanya dilakukan kepada partai politik, namun larangan sebagai peserta pemilu juga waji diberlakukan kepada orang atau pengurus partai yang partainya tidak lolos electoral threshold. Meski, agar tidak bertentangan dengan hak asasi untuk berserikat dan berkumpul, maka pelarangan itu hanya diberlakukan untuk satu kali pemilu. Dengan larangan tidak hanya terhadap partai politik tetapi juga orang demikian, maka petualang politik yang membuat partai  semata untuk kepentingan sesaat akan berkurang dan akhirnya tujuan penyelenggaraan partai akan mungin diwujudkan.
            Ketiga, perlu diatur bahwa calon presiden dan wakil presiden haruslah berasal dari partai yang sama, atau keduanya adalah calon independen sama sekali di luar partai. Hal ini penting untuk menyamakan platform politik lembaga kepresidenen. Tanpa antisipasi yang cerdas tidak mustahul kedepan pemerintahan tidak hanya terbelah antara presiden dengan parlemen (divided government), tetapi bahkan sudeh terbelah secara internal diantara presiden dan wakil presidennya-salah satunya- karena perbedaan partai dan kepentingan politik antara keduanya. Aturan demikian sebaliknya ada dalam undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden.
            Keempat, perlu disegerakan lahirnya undang-undang tentang kementerian Negara yang akan membantu terciptanya kolalisi pas terbatas (minimal winning coalition) serta kabinet yang professional. Undang-undang demikian akan meminimalisir terlalu bebasnya seorang presiden membentuk dan/atau membubarkan departemen semata-mata karena ingin mengakomodasi kawan politiknya, atau membunuh lawan politiknya. Kabinet yang gemuk dan tidak efisien hasil dagang sapi politik antara presiden dengan partai politik akan terkontrol dengan jelasnya departemen-departemen apa yang sewajibnya ada.
            Kelima, undang-undang dewan pertimbangan presiden yang sudah menghasilkan para penasihat presiden harus segera bekerja untuk member masukan yang berbobot. Meskipun bobot masukan itu hanya berupa pertimbangan, namun jika kualitasnya terjaga tidak ada alasan bagi presiden untuk tidak memperhatikannya.
Perbaikan diatas sebagian besar dapat dilakukan pada level amandemen undamg-undang. Kecuali masalah calon presiden yang harus dibuka pada level aturan konstitusi. Karena monopoli pencalonan presiden oleh partai politik atau koalisi partai politik saat ini adalah materi muatan konstitusi.
Di luar pengaturan internal kepresidenan, system check and balances pada level Undang-Undang Dasar 1945 harus juga diperbaiki, itu artinya tidak hanya pada relasi presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang harus diperbaiki, tetapi Dewan Perwakilan Daerah ada baiknya diperbaiki. Dengan Dewan Perwakilan Daerah yang berdaya kontrol dan dinamisnya kehidupan internal di internal parlemen akan tarjadi, membatasi kewenangan oligarki partai yang saat ini nyaris tak tertandingi.







BAB II
PENUTUP
  3.1 Kesimpulan
Ì  System presidensial akan menjadi pemerintahan yang efektif dan demokratis bila ditopang dua hal utama :personal presiden yang baik dan desain konstitusional yang kratik.
Ì  Koalisi kabinet yang kekecilan memunculkan presiden yang sial, dan sering dimakzulkan. Sebaliknya koalisi yang kebesaran dapat menghasilkan pemerintahan yang gemuk dan sulit disatu-padukan. Karenanya, untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik kedepan sebainya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.
Ì  Koalisi kekecilan mengarah pada kabinet yang miskin dukungan politik di parlemen; koalisi kebesaran menuju kabinet yang terlalu gemuk dan lamban. Bagi rakyat, koalisi dan kabinet pas terbatas diharapakan, karena melahirkan interksi yang konstruktif antara presiden dan parlemen. Sedangkan bagi partai politik, koalisi pas terbatas juga menguntungkan. Terbatasnya jumlah partai menyebabkan jatah kue kabinet (power sharing) yang dinikmati oleh masing-masing anggota koalisi akan lebih besar.
Ì  Format ideal presiden yang efektif adalah suatu keadaan atau suatu kondisi dimana lembaga kepresidenan (dengan segala kewenangan yang dimilikinya) bisa merealisasikan platform politik dan program kerja pemerintahan secara efektif karena adanya hubungan konstruktif-bukan kolutif ataupun konfrontatif -dengan semua lembaga Negara alin, khususnya parlemen. Untuk menciptakan lembaga kepresidenan yang efektif ditengah multi partai, maka perlu dilakukan beberapa langkah rekayasa hukum yang cerdas, sekaligus tetap demokratis.
  3.2 Saran
            Dalam hal koalisi:
1.      untuk menuju pemerintahan yang efektif, bentuk aliansi politik kedepan sebaiknya diupayakan menjadi koalisi pas-terbatas.
2.      Untuk menghindari koalisi dan kabinet yang semata-mata menjadi dagangan kekuasaan, kehadiran Undang-Undang Kementerian Negara wajib ada. Kebutuhan akan regulasi kabinet makin nyata karena miskinnya etika politik para elite kita. Sebab, seandainya intergeritas politisi kita dapat diandalkan, aturan tertulis hanyalah pelengkap semata.
Dalam format ideal presidensial yang efektif:
1.      System multi partai karenanya tidak bisa dihilangkan. Yang perlu dilakukan berkaitan dengan penciptaan lembaga kepresidenan yang efektif adalah mengarahkan agar system multi partai partai itu menjadi lebih sederhana. Pengarahan dilakukan tidak dengan pembatasan tetapi dengan seleksi alam pemilu.
2.      penerapan ambang batas harus lebih tegas oleh Komisi Pemilihan Umum, disamping itu,  ambang batastidak hanya dilakukan kepada partai politik, namun larangan sebagai peserta pemilu juga waji diberlakukan kepada orang atau pengurus partai yang partainya tidak lolos electoral threshold.
3.      perlu diatur bahwa calon presiden dan wakil presiden haruslah berasal dari partai yang sama, atau keduanya adalah calon independen sama sekali di luar partai.
4.      perlu disegerakan lahirnya undang-undang tentang kementerian Negara yang akan membantu terciptanya kolalisi pas terbatas (minimal winning coalition) serta kabinet yang professional
5.      undang-undang dewan pertimbangan presiden yang sudah menghasilkan para penasihat presiden harus segera bekerja untuk member masukan yang berbobot.




[1] Tulisan ini pernah disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara , Melanjutkan Perubahan UUD 1945 negara RI 1945”,diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi(PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah RI, Bukit Tinggi, tanggal 11-13 Mei 2007
[2] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (1990) hal.17
[3] Ibid
[4] Ensiklopedia Wikipedia, http:/en.wikipedia.org/wiki/presiden diakses pada 11 Juni 2012
[5] Alan R.Ball dan B. Guy Peters,Modern Politic and govermment (6th edition ,2000) hal 201,216.
[6] Ensiklopedia Wikipedia,http:/en.wikipedia.org/wiki/presiden diakses pada 11 Juni 2012
[7] Jimmly Asshiddiqie, Presidensialisme versus Parlementarisme dalam gerak Politik Yang Tertawan: Menggagas Ulang Prinsip-Prinsip Lembaga Kepresidenan(2002) h. 42-43
[8] Ensiklopedia Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/president  diakses 11 Juni 2012.
[9] Ball dan Piters, n 6, hal. 62
[10] Nigel Bowles,Government And politic of the united states (1998) hal. 98
[11] Manan, n 3, hal. 1-2
[12] Alrasid, n 11, hal.12;bowles, n 28,hal.98.
[13] Bowles, n 28, hal. 98.
[14] Paparan dibawah ini berasak dari Denny Indrayana,Effective Presidential, Minority Presidential, Majority Presidential, Kompas 13 Mei 2004
[15] William Lidde, Leadership and Culture in Indonesian Politic (1996) hal.17
[16] Scott Mainwaring dan Mattew S. Shugart,Presidentialsm and Democracy in Latin America (1990)
[17] Andrew ellis,’The Indonesian Constitutional Transition : Conservatism or fundamental Change’(2002) 6, Singapore Jurnal of International and Comparative Law.
[18] Arendt Lipjhart,Pattren of Democracy (1999)